Cerpen Sainul Hermawan: Mata untuk Mama

01.27 Zian 0 Comments

Waktu itu mataku hanya mampu menangkap garis dan warna, belum makna. Aku lihat mamaku berlari menyeberang jalan, lalu hilang bersama bis yang melintas. Entah ke mana. Kemudian aku tahu, dia tak berasamaku beberapa lama. Aku tahu ada bermacam-macam perempuan mengantikannya. Aku tak ingat lagi ada berapa, juga nama-nama mereka.
Tatkala kutanya nenek, ibu papaku, dia bilang kalau mamaku mencari Arjuna yang akan mengajarinya bercinta. Mengapa tak belajar ke papa saja? Kata nenek, papa tak perlu perempuan pemuja keperkasaan, pujangga picisan, atau tikus bagi rumah tangga orang lain. Dulu aku masih belum tahu bahwa rumah tangga itu bukan rumah-rumah bertangga dalam gambar-gambar yang sering kumainkan bersama kawan, menunggu mama pulang. Tapi dia benar-benar menghilang.
“Mengapa kamu begitu senang aku mengulang-ulang cerita itu?”
“Karena kamulah yang punya cerita seperti itu.”
Perempuan itu lalu bergegas membayar apa saja yang baru saja mereka makan bersama.

“Terima kasih buat ceritamu. Semoga kamu tak bosan untuk menceritakannya besok-besok. Siapa tahu kamu punya garis cerita baru. Tuh, lihat teman-temanmu berburu pintu pagar sekolahmu yang mau ditutup. Jam istirahatmu sudah habis.”
“Terima kasih, Bu.”
Siapa dia?
Perempuan berpakaian pejabat. Cantik. Baik hati karena dia selalu membayar makananku saat aku jajan di warung itu dan kebetulan dia juga makan di situ. Sekolahku dan kantornya hanya berjarak sekitar lima bangunan di sisi jalan yang sama. Anehnya, hanya dia yang tampak berani jajan di warung kelas siswa SMP. Anehnya, dia selalu memintaku bercerita tentang mamaku yang hilang ketika mencari Arjuna.

***

Akhirnya mamaku menemukan Arjuna dan bercinta, konon, sembilan kali sehari. Perempuan-perempuan lain yang telah dalam pelukannya iri mendengar kabar itu. Mereka merencanakan makar dengan menyewa manusia-manusia tanpa jiwa untuk mencelakakan percintaan mereka. Tapi kabar itu tetap simpang siur. Ada juga yang bilang, papa membayar orang untuk menebus sakit hati dan rasa cemburunya.
Suatu ketika, ketika Arjuna bersendawa bunga dan berkata-kata wewangian abad dua puluh, mamaku lambat mengingatkannya. Sesuatu yang licin menerbangkan mereka, entah membentur apa. Arjuna memang sakti, ia tidak cedera sedikit pun. Kaki kiri mama patah. Dan Arjuna tak perlu susah-susah menunggu mama sembuh sebab bercinta adalah menu yang dapat disantapnya dari pemuasnya yang lain. Mama hanya salah seorang dari mereka yang hadir dalam hidupnya yang penuh berahi.
Arjuna menghilang ke kayangan yang lain untuk bercinta sambil berkayang dengan dayang-dayang pemuja kata-kata mutiara. Mama menghilang dari rumah sakit, entah ke mana. Dia hanya memberi kabar kepada keluarganya, tapi bukan kepada keluarga papa. Dia ada di sebuah desa, di rumah seorang perempuan berhati kapas.
Ketika luka itu mulai kering dan nyeri mulai sepi, setiap pagi ia memandang matahari yang menerobos dedaunan. Ia mencari inspirasi untuk melepaskan diri dari tongkat kayu penyanggah tubuhnya. Cinta atau nafsu yang menggebu menyuntikkan energi penyembuh dalam dosis tak terhingga. Tak sampai sebulan ia mampu berjalan tanpa tongkat meski langkahnya tak seindah dulu. Tapi Arjuna tak membutuhkan gerak yang berubah itu karena dia tikus yang lebih melihat isi daripada bentuk.
“Bu, aku tak bisa melanjutkan cerita ini. Mamaku sepertinya akan datang entah dari arah mana.”
“Ceritamu bagus, kamu pasti menjadi pemenangnya. Saya suka membacanya, meskpun ia baru berupa sketsa kasar.”
Perempuan berbaju dinas memesankan lagi es degan buat teman ngobrolnya.
“Tapi, aku tak menulisnya untuk lomba. Aku ingin ketemu, Mama.”
“Kau pasti ketemu dia jika keyakinanmu sebesar keyakinan mamamu saat berusaha bangkit dari kelumpuhan semangat, saat didera nyeri bertubi-tubi di kaki kirinya.” Remaja lelaki kesepian itu hanya diam sambil memandang kertas-kertas sketsa ceritanya.
“Apa kamu tahu seperti apa wajah mamamu?”
Dia ragu antara akan mengangguk dan menggeleng. Akhirnya dia menggeleng sebab hidup harus punya rahasia tertentu.

***

Mama tak punya kepala, meski aku tahu seharusnya dia kehilangan kaki kirinya. Aku ingin mengenalnya dari kaki kirinya saja. Tapi, apa bisa? Bukankah banyak orang di kota ini yang cara berjalannya miring ke kiri karena beragam alasan? Aku harus mengenalinya dari kepalanya, tapi bagaimana? Dan itu hanya pada awalnya ketika aku masih belum berani bertanya. Tapi kini tak ada lagi gambarku bersama mama. Entah ke mana lembaran gambar lama melayang dan berganti dengan gambarku bersama kakek, nenek, dan papa.
Aku yakin aku punya mama meski gambarnya telah musnah sebab aku manusia dan anak-anak burung-burung piaraanku semuanya berinduk. Tapi papa tak pernah tahu kalau aku telah belajar dari mereka mencari induknya ketika mereka haus dan lapar. Inikah naluri binatang piaraan? Papa memang telah sempurna mengenakkan aku kecuali untuk satu hal: dia tak pernah menjawab pertanyaanku dengan memuaskan tentang mengapa mama jatuh ke pelukan Arjuna yang telah menyengsarakannya. Apa beda papa dan Arjuna itu? Begitukah laki-laki? Akan demikiankah aku?
Tapi ini tak kuceritakan kepada ibu pejabat yang selalu menemaniku ngobrol di warung itu meski hari ini adalah pertemuan terakhirku dengannya sebab dia akan dimutasi ke kantor lain di luar kota beberapa hari lagi.
“Aku akan merindukan ceritamu.”
“Aku akan merindukan kebaikan ibu.”
Mereka sama-sama dia beberapa saat sambil sama-sama memutar-mutar sendok di gelas mereka. Mereka bisu bukan karena habis kata, hanya karena terlalu cinta. Mereka bisu bukan karena mati, hanya karena rindu: di mana mati tak punya arti.
“Bolehkah saya tanya satu hal saja, Bu.”
“Boleh. Semoga ibu bisa jawab. Kalau tidak bisa, kamu jangan marah, ya?”
“Kenapa ibu suka meluangkan waktu di warung ini dan memilih saya saja sebagai teman ngobrol?”
Mungkin hidup memang harus punya rahasia tertentu. Ibu itu memang berkata-kata tapi tak menjawab apa-apa.

***

Dia adalah ibu yang kehilangan anak sejak kabut pikirannnya tersingkap sempurna. Sebelum itu anak hanyalah senjata suaminya untuk mencincang batinnya hingga remuk seremuk-remuknya. Sebab lelaki itu merasa perempuan itu bermartabat karena dirinya yang ningrat, keturunan orang terpandang, yang berhak menendang mereka yang dianggap kurang terpandang. Dia merasa dengan mudah mendapatkan perempuan yang lebih darinya karena setiap perempuan telah dianggapnya sebagai makhluk bodoh, yang mudah tergiur oleh kekayaannya.
Tapi dia masih mengenali wajah anaknya karena dia tak pernah memotong bagian kepalanya saat kabut menelikung kesadarannya. Dia hanya yakin suatu saat ada saat yang tepat, yang akan mempertemukannya dalam banjir air mata, jika ia belum kering. Sebab, hidup harus punya rahasia. Tak seorang pun boleh melihatnya tampak cengeng ketika kangen menderanya untuk bertemu dengan buah hatinya.
Banyak yang pergi, ada yang tak kembali. Jejak ditinggalkan terhapus angin sepoi. Kubiarkan hanyut. Kuambil sirna betina nasibku. Apa guna bulan merasuk bulan, tapi putuhnya ditelan awan.... kasihku tetap perawan.
Kukatakan padanya, jika kelak dia ketemu anaknya dan tak bisa lagi menangis sebab air mata telah kemarau, aku berjanji untuk menghadiahkan sepotong gambar mata yang masih kusimpan dan penuh air. Mata itu kucuri dari satu foto yang belum teraniaya. Itu mata mama. Hanya sepasang mata.
“Hari ini aku berangkat. Ini kenang-kenangan buat kamu.”
“Wah, apa nih?”
“Karena kamu suka main bola dan menulis, ibu belikan sepatu bola dan pena. Karena kamu sudah tahu isinya, sebaiknya dibuka nanti saja, di rumah.”
“Terima kasih banyak, Bu.”
Remaja itu segera meraih tangan ibu berpakaian dinas itu. Dia sungkem tulus. Tapi ibu itu punya rahasia. Ia dingin, datar, dan menepuk pundaknya sambil berpesan agar remaja itu terus belajar, berjuang, dan menaklukkan pertanyaan yang belum terjawab.
“Bolehkah saya mengajak ibu bertukar pikiran lewat telepon kantor ibu yang baru?”

***

Dia adalah mamaku yang kini hilang setelah memberiku sepatu dan pena. Di dalamnya terselip fotoku bersamanya, tapi dia masih punya kepala. Orang-orang di kantornya yang dulu tak ada yang tahu dia dimutasi ke mana. Lebih tepatnya, mereka tutup mulut. Aku tak harus mencarinya karena kini mungkin waktu yang tak tepat baginya untuk mengakui kembali aku sebagai anaknya. Inikah rahasia orang dewasa? Sandiwara kelas tinggi bagiku yang masih meraba makna cinta. Kini aku tak hanya mengenal garis dan warna tapi juga mulai mengerti makna rahasia. Karenanya, aku percaya pasti ada saat yang paling tepat baginya untuk kembali menemuiku seperti caranya menemuiku di warung itu. Cara yang tak pernah aku duga.
Papaku juga tak perlu tahu kalau aku sudah tahu siapa mamaku sebab dia akan membawaku ke psikiater dan menganggapku tak waras. Aku jadi tahu bahwa waras berarti berbohong. Kata papa, kewarasan semacam inilah yang membuat dirinya bermartabat, bergengsi. Aku, mama, papa memang waras, tapi aku tahu kami dusta. Apa mama juga menyadarinya?

Banjarmasin, 3 Maret 2005

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 24 April 2005
Hermawan, Sainul. 2009. Mata untuk Mama. Banjarbaru: Scripta Cendekia
http://www.oocities.org/ejabudaya/cerpen_mata.html

0 komentar: