Cerpen Muhammad Yusuf: Pesan di Dinding Lanting
Kurebahkan tubuhku diteras lanting kami. Beralaskan tikar purun dan dibuai semilir angin, aku mencoba mengusir rasa lelah dan kesalku.
Bagaimana tidak? Dari pukul setengah sembilan pagi sampai setengah dua siang, dosen yang kutunggu-tunggu untuk bimbingan penyusunan skripsi tidak kunjung datang. Akhirnya aku pulang dengan tangan hampa.
Aku sekarang sedang sendiri di rumah, sebab Ayah dan Ibu menghadiri hajatan perkawinan anak kerabat di Hulu Sungai Selatan. Bias sinar matahari yang menerpa permukaan air, tampak berkilauan laksana permata.
Deru mesin kelotok dan kapal yang berlalu lalang seakan-akan menyanyikan lagu untukku. Memang bagi kami yang tinggal di lanting, suara mesin kelotok dan kapal yang melintas, sudah kami anggap seperti nyanyian merdu.
Sudah biasa juga bagi kami, gelombang yang ditimbulkan oleh kapal dan kelotok yang berselewiran itu membuat rumah kami bergoyang-goyang dan menimbulkan suara berderit-derit. Semakin besar gelombang yang mengempas, semakin besar pula goncangan yang dibuatnya. Bunyi yang menderit-derit pun akan semakin nyaring dan lama.
Beberapa temanku yang pernah bermalam di sini, tertawa cekikikan ketika merasakan rumah lanting kami bergoyang-goyang akibat diempas gelombang. Mereka bilang seperti ada gempa.
***
Rumah lanting yang kami tempati ini sudah tergolong tua. Bahan utama rumah yang terbuat dari kayu, hampir enam puluh persen lapuk dan perlu diganti.
Ketika kumiringkan tubuhku ke arah dinding bagian depan rumahku, terbaca lagi olehku catatan kecil yang terpahat di situ. “1972 - 406”. Entah sudah berapa ribu kali aku membacanya. Dari mulai aku baru bisa membaca sampai sekarang, angka-angka itu selalu terbaca.
Menurut keterangan Ayah, rumah lanting ini memang dibuat pada tahun seperti yang tertera di dinding itu, dua tahun setelah Ayah menikah dengan Ibu. Menurut cerita ayah lagi tukang yang mendirikan rumah lanting ini adalah almarhum Kai Aman, tukang terkenal pada masa itu. Yang menjadi rahasia tidak terpecahkan oleh kami sampai sekarang adalah angka 406 itu.
Mengapa Kai Aman memahatkan angka 406 dan apa maksudnya? Kata hatiku, biarlah angka 406 itu tetap menjadi misteri.
Aku teringat. Suatu hari, saat kami sedang mengganti atap rumah yang bocor, Ayah berkata,”Rif, jika kuliahmu telah selesai, Ayah dan Ibu mempunyai rencana, kita akan pindah ke darat saja. Kebetulan langganan Ayah seorang pengembang rumah. Dia bersedia memberikan potongan harga jika ayah mengkredit rumah di sana. Rumah yang kita tempati sekarang sudah kurang layak lagi dihuni. Jika diperbaiki maka akan menelan biaya yang tidak sedikit karena harus diganti dengan bahan yang baru. Sekarang kayu-kayu sulit dicari dan terlampau mahal.”
“Mengapa tidak sekarang saja dan mengapa harus menunggu saya selesai kuliah?” tanyaku ketus.
Jujur, aku paling tidak setuju jika kami pindah ke daratan. Bukankah rumah lanting seperti yang kami tempati sekarang hampir punah? Bukankah sebuah kebanggaan jika mendiami rumah lanting?
Dengan lembut ayahku menjawab,” Sekarang hasil kerja Ayah hanya bisa untuk membiayai kuliahmu. Sebagai tukang cukur keliling, kamu tahu sendiri barapa pengasilan Ayah?”
Mendengar penuturan Ayah, aku merasa sedih dan berdosa.
“Karena keasyikan tinggal di sini, kita tidak mempunyai tanah sejengkal pun di daratan. Lagipula hak milik rumah lanting tidak jelas hukumnya karena berdiri di atas jalur sungai,” tambah Ayah menjelaskan.
Setelah sering kupikir-pikir, ternyata rencana Ayah dan Ibu memang cukup beralasan.
Ibuku juga pernah berkeluh kesah padaku,”Beberapa tahun terakhir ini, Ibu sering khawatir akan keselamatan kita mendiami rumah lanting ini. Selain cuaca yang sering tidak bersahabat lagi seperti hujan berangin kencang disertai gelombang besar, arus sungai yang sangat deras ketika air pasang serta kapal dan tongkang batu bara yang sering melintas di sini, merupakan bahaya yang bisa saja mengancam kita setiap saat.”
Aku hanya terdiam mendengar penuturan Ibu. Aku teringat, kejadian di bulan puasa kemarin, rumah lanting Amang Ijuh tetangga sebelah kanan kami, hangus terbakar akibat meledaknya sebuah kapal penarik tongkang yang sedang bertambat di lanting Amang Ijuh.
Kejadian itu hampir saja menghanguskan lanting kami pula. Untung saja Ayah dan beberapa tetangga dengan sigap memadamkan api. Setelah kejadian itu, Amang Ijuh sekeluarga pindah ke Teluk Dalam.
Kalau dua tahun yang lalu, masih ada enam rumah lanting di sini tetapi sekarang cuma tersisa dua buah yaitu lanting kami dan lanting tetangga kami, Acil Ijum yang sehari-harinya berjualan lontong ketupat.
“Wuuaaaaaah!” Aku menguap. Nyanyian burung-burung yang sesekali menukik ke permukaan sungai, ditambah angin semilir yang menyejukkan dan ayunan ombak kecil yang mengoyang-goyangkan lantingku, akhirnya membuatku tertidur.
***
Aku terlonjak dan terjaga dari tidur. Sebuah benturan keras menghantam lantingku. Lantingku tergoncang hebat. Sesaat aku cuma bisa melongo. Jantungku berdetak kencang. Setelah beberapa detik kemudian baru aku menyadari, sebuah kapal feri bermuatan pasir menabrak lambung kanan rumah lanting kami.
“ Rif, cepat bercebur nanti kamu terhimpit,” teriak Amang Alan tetanggaku dari teras dapurnya, di tepian sungai.
Aku pun dengan segera meloncat ke air. Aku berenang agak ke tengah. Karena kerasnya benturan, lantingku terdorong dan terdesak, kemudian membentur lanting milik Acil Ijum. Dua buah pilar ulin yang tertancap di dasar sungai sebagai penambat lanting kami tercabut.
Lanting kami tergeser sepuluhan meter lebih dari tempat semula. Lanting kami yang terdorong, baru terhenti setelah menabrak titian pemandian warga.
Tak ayal lagi, lanting yang telah kami huni selama puluhan tahun ini rusak berat. Salah satu batang kayu gelondongan yang menopang rumah kami terlepas membuat badan lanting kami menyeruduk ke air.
Suara Acil Ijum yang panik diiringi tangisnya terdengar menyayat hati dari dalam rumahnya. Jeritan warga di tepian sungai yang menyaksikan kejadian tersebut mengundang warga lain segera berdatangan. Aku berenang menepi menuju ke rumah Amang Alan. Aku naik ke titian. Aku dipapah oleh Amang Alan masuk ke rumahnya.
“Kamu di sini saja istirahat, biar kami yang menyelesaikan masalah ini dengan pihak kapal,” kata Amang Alan sambil menyodorkan segelas air putih. Hatiku terasa diiris-iiris.
“Bagaimana caranya menjelaskan semua ini kepada orangtuaku?” Bisik hatiku.
***
Keesokan harinya, aku berdiri terpaku di depan reruntuhan rumah lanting kami ditemani cahaya mentari pagi. Rumah lantingku kini telah rusak, separuh badannya menyeruduk ke air.
Semalam di bantu oleh para tetangga, aku mengevakuasi barang-barang yang masih bisa diselamatkan. Lantingku mengalami kerusakan hampir tujuh puluh persen. Untung saja lanting Acil Ijum tidak mengalami kerusakan berarti.
Semalam, Acil Ijum sempat berkata dengan lirih kepadaku” Kalau kalian pindah, aku juga pindah.” Aku merasa iba dengan Acil Ijum. Di usia yang sudah terbilang tua, dia hidup dan berjuang sendiri.
Tiba-tiba pandanganku tertuju lagi pada tulisan yang terpahat di dinding. Angka “1972-406” itu ternyata tidak hilang walaupun papannya telah patah. Hatiku bagai tercekat. Tiba-tiba aku merasakan sanggup memecahkan makna dari tulisan tersebut.
Hatiku berkata,”Kalau rumah lanting ini didirikan pada tahun 1972 sedangkan sekarang tahun 2012, berarti lanting ini telah berusia empat puluh tahun. Angka 40 dari 406 telah kutemukan maksudnya. Jadi angka 406 harus dipisah menjadi 40 dan 6.
Sedangkan peristiwa ditabraknya lanting kami oleh kapal bermuatan pasir itu terjadi kemarin pada tanggal 6 bulan Juni. Dalam urutan bulan pada tahun masehi, bulan Juni terletak di urutan keenam.” Bulu kudukku berdiri. Aku merinding.
“Ya Allah, inikah pesan yang terselip pada tulisan di dinding itu?” tanya hatiku. Kabut pagi yang menari-nari di atas permukaan sungai seakan-akan membenarkan analisaku.
“Rif, cepat sarapan!” Panggilan Acil Ijum dari lantingnya memudarkan lamunanku. Semalam aku tidur di lanting Acil Ijum sedangkan barang-barang kami yang selamat untuk sementara kutitipkan di rumah Amang Alan.
“Sudah kamu telepon orangtuamu dan kapan mereka pulang?” tanya Acil Ijum sembari menuangkan air teh hangat untukku.
“Saya belum sanggup menyampaikan kejadian ini, Cil.” Jawabku pelan.
Nasi hangat yang kukunyah terasa duri walaupun deru mesin kapal dan kelotok yang berlalu lalang masih tetap menyenandungkan lagu merdu untukku. (*)
Sumber:
Banjarmasin Post, Minggu, 10 Juni 2012
http://banjarmasin.tribunnews.com/topics/cerpen
0 komentar: