Cerpen Khoiriyyah Azzahro: Bekenjong
Perempuan setengah baya itu terus menari di atas lewang1) tipis, meski gendang danklentengan2) tak lagi ditabuh. Bulir-bulir keringat telah hadir di pelipisnya. Pada kedua tangannya tergenggam daun lenjuang3) dan lemang4) yang tak lagi utuh.Lalu entah mengapa hadir rasa sesak di dadaku. Ada panas di mataku.
Perempuan setengah baya itu terus menari di atas lewang tipis, meski semua mata memandang heran padanya. Perlahan orang bekenjong5) itu memutar tubuhnya dari ataslewang, lalu beranjak berkeliling ruangan. Di tangannya masih tergenggam daun lenjuangdan lemang yang tak lagi utuh.
Sesak makin terasa di dadaku. Panas makin menjadi di mataku.
Tapi tunggu!!
Mengapa Anisah harus membacakan ayat kursi6) itu di telingaku? Mengapa tidak pada Ira? Dan mengapa istri petinggi7) harus memegangi tangan dan mendekap tubuhku seperti ini? Hingga hanya bola mataku yang dapat kugerakkan. Menyapu pandang seluruh ruang.
Tiga orang penabuh gendang dan klentengan tiba-tiba beranjak dari duduknya. Mereka menghampiri perempuan setengah baya yang masih berkeliling ruangan sambil menari memutar-mutar tubuhnya. Gerombolan lelaki yang berdiri di depan pintu serta para perempuan yang khusuk dengan bacaan bertuliskan ‘Surah Yassin’8), mendadak terhenyak.
Sesak terus saja menusuk dadaku. Panas masih jua menjalari mataku.
Hentikan, Anisah!
Mengapa Ia masih membacakan ayat kursi itu di telingaku.
Lepaskan, Bu!
Mengapa istri petinggi makin erat saja mendekapi tubuhku?
Hey…!!
Mengapa pula tak sepatah kata pula yang sanggup kukeluarkan dari mulutku? Hanya tangan, tubuh dan kakiku yang ‘berbicara’ menggeliat, menendang, menuding, meronta… tanpa bisa kukendalikan.
Perempuan setengah baya itu masih menari berkeliling ruangan Kini, Ia menari tanpa rasa, Ia menari tanpa makna. Para penabuh gendang serta klentengan sedang berusaha memegangi tubuhnya demi menghentikan gerak tarinya.
“O.. lennaas!! Sida bekenjong kesarungan!!”9) tiba-tiba istri petinggi memekik.
Sesak menghebat di dadaku. Panas menusuk di mataku. Tapi, tetap kucoba hela nafas panjang nan berat sambil menutup penglihatan. Sejenak saja…..
***
Kubuka perlahan kedua pelupuk yang lekat pada ambang penglihatan. Silau jingga senja yang mulai kemerahan nampak di ufuk barat.
Kuhirup aroma sungai Ngayau yang semakin menyurut di akhir bulan Qomariah10). Bau tanah makin nyata di tiap hela nafas.
“Endak mendi kita?”11) tanya itu menyentak lamunku yang setengah rasa. Membuat ember kecil di genggaman kananku yang cukup berat ikut tersentak.
“Kenapa mendi sore-sore kita?”12) suara itu memaksa tatapku mencari asalnya. Terlihat pandangku seorang lelaki muda berjongkok di batang13) seberang, tak jauh dari batangyang kutuju. Tangan kanannya mengaduk-aduk air sungai dengan jahap14) panjang.
Sadaq! Lelaki itu menoleh ke arahku.
“Ndi15)! Tadi baru dari tepat mengajar. Jadi, Saya baru sempat mandi sekarang” jawabku.
Lelaki itu menatapku tanpa ekspresi. Kemudian kembali mengalihkan pandang pada arus sungai di hadapannya.
Mengapa Ia terfekur saja di sana?
Kulangkahkan kaki perlahan menuruni titian dari dahan luyaq16) yang ditumbangkan. Ada masygul dan himung17) saat dahan yang terjejaki selebar kaki itu bergoyang naik turun.
“Sida18) Ira ternyata benar!” Lelaki itu menggumam. Matanya masih terpaku pada arus sungai di hadapannya.
Kuhentikan jejakku pada batang mengapung di sungai Ngayau yang jernih berkilauan kala lelaki itu kembali berkata “Mendi di sungai sendiri. Pigi19) mengajar sendiri. Pigi milir20)sendiri. Ndi’ takut kita?” lelaki itu mengujar. Matanya masih terpaku pada arus sungai di hadapannya.
Kuterpana oleh kata-kata lelaki itu. Telah sedemikian dekat kah pergaulannya dengan Ira, rekan sekelompokku itu, hingga dengan mudah Ia mengetahui ragam kebiasaanku dari tutur ucapan Ira?
“Pigi jemben21) malam-malam sendiri, mencuci sendiri…” lelaki itu kembali mengujar. Matanya kini mengerling padaku.
Kuterhenyak mendengar oceh lelaki itu. Sedemikian mudahnya-kah Ira mengumbar kisah pada lelaki itu? Untuk sementara tanya demi tanya itu merasuki ruang fikirku saja. Karena silau jingga senja memaksaku tuk segera menuju jemben di atas batang.
Sejenak, sebelum menutup pintu jemben, kuanggukkan kepala memohon permisi pada Sadaq. Tampak tergesa, Ia beranjak dari batang.
“Kla22)!” Tiba-tiba bariton Sadaq sudah di ambang pintu jemben dan tangan kekarnya menahan pintu jemben tepat kala Aku akan merapatkannya.
Apa-apaan sih, ini?
“Ini!” Tangan kekar Sadaq lainnya terulur padaku. Sebuah kantung plastik tergenggam di sana.
Kuterima angsuran tangannya dengan rasa gamang. Tiga botol kaca berisi sirup berwarna merah, hijau dan jingga, dengan tulisan nama, rasa dan merek lokal, membuat kantung plastik itu terasa cukup berat.
“Kemayi, Lhok pigi milir. Sida bli ni buat kita semue di posko23)” lelaki itu mengunggingkan senyumnya padaku.
Meski bukan kali pertama menerima pemberian dari warga desa, entah mengapa kali ini terbersit ribuan heran dan gamang kuradakan. Mengapa Sadaq menyerahkan barang-barang ini kepadaku? Bukankah Ia bisa memberikannya di posko kelompok Kuliah Kerja Nyata kami?
“Eh … Oh?! Ya?” sisa kegamangan meninggalkan kelu pada lidahku hingga tak tahu berucap apa. Dan Sadaq, lelaki di ambang jemben itu diam saja. “Hm.. kalau begitu, tolong sampaikan salam buat sida Lhok, ya! Sampaikan terimakasih Saya dan teman-teman!”
Lelaki itu mengangguk sebelum berbalik dan melangkah menjauhiku yang masih berada dijemben. Sosoknya menghilang di balik rerumah yang berjejer di sepanjang bantaran sungai Ngayau. Dan kegamangan masih saja meliputi perasaanku.
Sadaq… dua minggu yang lalu Aku mengenalnya. Usai rapat dengan Kelompok Karang Taruna desa, Ia bersama Pepi, Lhok, dan Kechong, tiga pemuda desa Ngayau langsung mengunjungi posko kelompokku yang bersisian dengan rumah petinggi. Dan sejak saat itu, Ia dan Lhok menjadi sering bertandang ke posko.
Tak ayal dalam jangka waktu kurang dari seminggu, tersiarlah kabar bahwa Sadaq telah berhasil mengajak Ira jalan berdua. Karena di desa kecil ini, setiap tindak ulah tanduk manusia dan alam akan mudah tercium. Meski hanya sekedar jalan berdua berkeliling desa, Ira dan Sadaq telah mampu ‘menggemparkan’ seisi desa.
“Hallaahh! Jangan difikirin!! Biasalah orang desa. Aku kan cuman jalan sama tuh cowok kampung! Gak ngapa-ngapain, kok!” komentar Ira malam itu di bawah bundar benderang purnama yang memasuki beranda posko. Ditemani gelas-gelas berisi sirup warna-warni yang dititipkan Sadaq senja sebelumnya.
“Lagian tau gak? Tuh cowok basi banget! Tiap detiknya cuma ngomong dia-nya doang.Seakan-akan seluruh desa ini dia yang punya!”
Kutatapi wajah Ira yang entah mengapa tampak memerah usai berucap sinis malam itu.
“Maksudnya apa, sih?” tanyaku.
“Aduh.. Debby! Tuh cowok cuma omdo, kalle! Omong doang! Ya.. Orang kampung!”
Kutatapi lagi wajah Ira yang tampak makin memerah malam itu.
“Jangan sembarangan ngomong kamu, Ra! Orang desa itu banyak yang punya ‘ilmu’, lho!” kalimat Anisah membuat Ira tibatiba tersedak dari minumnya.
“Sumpeh, Ra! Ntar kalau kamu dipelet tuh cowok atau diguna-gunain gimana?” ucap Anisah kembali.
Kusaksikan kekeh Ira sembari menyeka mulut basahnya arena sirup warna-warni yang sedang ditenggaknya. Ujarnya sambil menatap Anisah dan Aku, “Kalian semua percaya sama omongan orang kampung ya? Udaah.. jangan coba pengaruhiku sama hal-hal aneh macam mistik gitu, deh!”
Kutengok Anisah yang sedetik kemudian juga balas menengok ke arahku. Senyap pun hadir sedetik setelahnya. Seluruh pendengaran tertuju pada kokok manuk24) yang diiringi raung koyo25) di kejauhan.
Kutatapi lagi wajah Ira yang makin memerah hingga pandangku terasa panas, dadaku terasa sesak dan semakin sesak.
“Mereka datang, Ra!”
Kudengar ucapanku sendiri yang datar dan bergetar. Sedetik kemudian kulihat kejut di wajah Anisah mendapati sosok Ira terhempas dan terlentang di dekatnya.
Kucoba dekati tubuh Ira dan sosoknya makin menggelepar dengan mata nanar menatapku. Kenapa, Ra? Ada apa? Mengapa kamu memandangku seperti itu?Kupaksakan tanya dari mulutku. Namun yang kudengar hanyalah raungan koyo di kejauhan, memekakkan telinga.
Kualihkan pandang pada Anisah yang memekik hebat. Kenapa, Sah? Kenapa kamu harus memekik? Kuulangi tanya demi tanya itu. Namun yang terdengar adalah kokokan manuk di kejauhan.
Kusaksikan kini geliat tangan dan kakiku sendiri. Lalu entah mengapa ada sesak di dadaku. Ada panas di mataku. Aku tak sanggup membuka pelupuk kedua mataku.
***
Silau neon memaksa kedua mataku terbuka. Menemukan beberapa lelaki dan perempuan mengerubungi seorang perempuan setengah baya. Membaui wangi lemang yang dikukus dengan bambu.
Perempuan setengah baya itu tak lagi menari-nari, karenanya gendang dan klentengan tak lagi ditabuh. Namun bulir-bulir keringat terus mengalir di pelipisnya. Kedua tangan dan kakinya meronta dengan meski empat orang lelaki telah memegangi mengunci geraknya.
“Kase ranam! Kase ranam!26)” ujar seseorang sambil mengangsurkan segelas air tawar. Seorang lelaki menyambut dengan tangan bergetar. Dan gelas berisi air tawar itu didekatkan pada mulut sang perempuan setengah baya.
Namun sebelum air tawar tersebut berhasil diminumkan, sang perempuan setengah baya tiba-tiba memegangi tangan lelaki itu dengan erat.
“Hi!!” teriakan dari mulut sang perempuan setengah baya, mengejutkan seisi ruangan. Air tawar yang baru saja akan diberikan padanya tertumpah setelah dicampakkannya.
“MA - NA SA - DAQ? MA - NA SA - DAQ?”
Sang perempuan setengah baya bertanya terbata.
“Sadaq hi de27)! Sida pigi milir Samarinda!” Jawaban itu muncul dari balik pintu. Sesosok lelaki menyeruak ke tengah-tengah ruangan. Lhok?!
“Dua bulan lagi Sadaq kembali dari jebe28)” ucapan Lhok di ikuti senyap.
“Maksud kita.. Sadaq melarikan diri? Sida buat orang-orang kota begini, lalu sida pigi?” Istri petinggi berkata geram. Tangannya masih erat mendekapi tubuhku.
“O lennass! Sida harus segera balik ke desa ini! Hanya Sida yang harus kembalikan bujang serinta29). Cari labu air hitam!!30)” perempuan setengah baya itu kembali berteriak. Kalimatnya yang tak lagi terbata menggema di ruangan yang dipenuhi orang-orang desa.
Namun, tak satu pun yang menanggapi ucapannya. Seluruh telinga di ruangan ini seakan ditulikan. Seluruh mulut yang ada di ruangan ini seakan dibungkam. Hanya mata mereka terpaku menatapi Lhok yang melangkah pelan ke arahku.
“Labu air hitam! Cari labu air hitam!” teriakan perempuan setengah baya itu masih jelas terdengar. Tapi, seluruh rasaku ikut terpaku menatapi Lhok yang masih melangkah perlahan ke arahku.
Lhok… ini apa? Katakan padaku ini ada apa? Kau pemuda desa yang baik. Jadi tolong katakan padaku, ada apa?Mengapa Ira, juga Anisah, bertingkah aneh setelah meminum air yang Kau berikan pada kami lewat Sadaq? Mengapa Lhok?
“Maaf, Debby! Bujang Serinta meminta Kau!” Lhok berkata lirih di telingaku.
Apa?
Lhok.. Kau tahu, tak ada Bujang Serinta! Buaya pemangsa manusia dari Sungai Kedang Kepala di ujung negeri Kutai itu hanya mitos! Legenda! Itu tak nyata, Lhok!
Kuyakin telah mengucapkan kalimat itu sebelumnya. Dan kini ucapan itu kuulang kembali sembari menatapi Lhok yang telah di samping tubuh lemasku.
Namun, tak satu pun tindakan yang diperbuat Lhok.
“Debby, Kau hi salah! Kemayi Ira carang kan pa kita…” perkataan lirih Lhok di telingaku kali ini memaksaku mengingat beberapa ucapan Ira sebelumnya.
“Alah! Orang kampung! Mana ada buaya yang dapat hidup di sungai? Apa lagi mau memakan apa saja yang jatuh ke dalam sungai. Dan hanya memakan isi tubuh dan perut manusia saja. Aneh kan!” kalimat ini memang pernah diucapkan oleh Ira ketika kelompokku baru tiba di desa ini.
Tapi.. mengapa kini harus Aku…
“Angkat wala-wala31) ke gubeng32)! Juga Sida Debby! Siapkan labu air hitam!” Lantang Lhok memerintah diikuti sigap beberapa orang.
Hey.. Tunggu!! Jawab tanyaku… Mengapa harus Aku?
Kumeronta sekuat tenaga. Namun beberapa tangan kekar segera mendekapi tubuhku. Seketika ragaku terbelenggu dan kaku. Tangan-tangan kekar tersebut mengangkat tubuhku serempak. Hingga sekejap kemudian, Aku, seperangkat kotak dari batang pinang dan bambu, lemang dan serakan daun lenjuang, serta sang perempuan bekenjong yang telah setengah baya juga Lhok dan beberapa orang lelaki, telah berada di dalam gubengbersama.
Kumerintih dan terus meronta sekuat tenaga. Hingga gubeng yang kami berada di dalamnya ini mulai oleng dan bergoyang di atas sungai.
“Tenang, Debby! Ini cuma ritual. Kau tak kan kenapa. Bujang serinta pasti lindungi kita33)” Entah mengapa tubuhku pasrah setelah ucapan lirih Lhok tersebut. Hingga akhirnyagubeng berlarut dalam pelayarannya menyusuri sungai.
Bau Sungai Ngayau yang menyurut di akhir bulan semakin tercium. Gelap malam penghias pandang tertutup hutan pedalaman Kalimantan. Dan Aku terbaring saja dalam dekap dan belenggu tangan-tangan kekar.
Tiba-tiba kurasakan langit berputar. Terdengar suara perempuan setengah bayabermamang34) mantra. Tangannya meraih wala-wala lalu menceburkan benda tersebut ke dalam sungai. Sedikit demi sedikit bagian demi bagian wala-wala tenggelam ke dalam sungai.
Kumasih mencoba meronta namun entah mengapa sekujur tubuhku terasa kaku. Kurasakan sentuhan dingin dari tangan berkeriput milik sang perempuan bekenjong, namun hanya geliat kecil yang mampu kulakukan. Perlahan tubuhku sedikit terangkat oleh dua pasang tangan kekar lelaki. Ada dingin yang menusuk kala tumitku di arahkan pada air sungai.
Perempuan setengah baya masih bermamang lirih sembari mendekapi tubuhku. Matanya berkilat kala kutatapi. Sesaat ia terdiam. Meraih daun lenjuang yang telah basah oleh air tepung tawar, lalu memerciki tubuh dan wajahku dengannya.
“Bujang serinta, buaya sungai nan gagah lagi perkasa, menunggu kita, Debby. Setelah tubuh kita tama35) ranam semue, kita harus segera keluar dari ranam, ya!?!” Perempuan setengah baya itu berbicara padaku sambil memerciki ubun-ubunku, bagian terakhir yang Ia mantra-i.
Kupaksakan membuka mulutku, namun tiada satu suara yang mampu tercipta. Perlahan, tubuhku dilepaskan hingga sedikit demi sedikit memasuki sungai Ngayau.
Kurasakan dingin basah air sungai merambati tubuhku. Gelap malam menghiasi pandangku yang tergugu dalam tanya tak mengerti. Seringai wajah tiba-tiba memantul dari raut perempuan setengah baya yang kutatapi. Wajah itu … Sadaq??
Kumeronta hebat kala tubuhku meluncur memasuki kedalaman sungai Ngayau.
Mengapa harus Aku?
Kuterus mengelepar meski air sungai telah setinggi perutku.
Mengapa harus Aku?
Maka sesaat kuterlupa bahwa tubuhku tak dapat mengapung di permukaan air sungai Ngayau ini. Kuhanya teringat bahwa program Kuliah Kerja Nyata kelompokku telah usai dan rampung. Kuhanya teringat bahwa seharusnya kini kelompokku sudah kembali ke almamater, ke kota Samarinda…. setengah bulan yang lalu.
Banjarmasin, 26 Januari 2009
Keterangan :
1) lewang: sejenis nyiru atau tampi, alat menyayak gabah/beras,
2) klentengan: alat musik yang dipukul serupa gong,
3) lenjuang: tanaman hutan yang kerap digunakan untuk pengobatan,
4) lemang: penganan dari beras ketan yang direbus dengan sedikit santan khas Kalimantan Timur,
5) bekenjong (orang bekenjong): dukun belian, dukun yang melayani pengobatan bagi orang-orang sakit, baik fisik maupun psikis,
6) ayat kursi: Surah Qur’an Al Baqoroh ayat 183,
7) petinggi: pejabat eksekutif setingkat lurah,
8) Surah Yassin: Surah Qur’an ke 36,
9) O lennaas!! Sida bekenjong kesarungan!: ya ampun!! Si dukun kesurupan!,
10) Qomariah: tahun penanggalan berdasarkan rotasi bulan, dikenal juga sebagai tahun hijriah,
11) Endak mendi kita?: kamu mau mandi?,
12) Kenapa mendi sore-sore kita: kenapa kamu mandi sore hari?,
13) batang: hamparan kayu atau batang pohon yang diapungkan di atas sungai sebagai tempat warga beraktivitas,
14) jahap: jenis rotan besar yang tumbuh dan hidup subur di dataran tepi sungai,
15) Ndi: tidak,
16) luyaq: jenis pohon kayu yang tumbuh didelta sungai,
17) himung: senang,
18) Sida: beliau/ ‘ si’:kata sandang untuk orang yang dihormati,
19) Pigi: pergi,
20) milir: pergi ke kota besar jauh dari desa,
21) pigi jemben : pergi ke kamar kecil,
22) Kla: nanti-tunggu,
23) Kemayi, Lhok pigi milir. Sida bli ni buat kita semue di posko: kemarin, Lhok pergi ke kota (jauh dari desa). Beliau beli ini untuk kalian di posko,
24) manuk : ayam,
25) koyo: anjing,
26) kase ranam: beri air (ranam: air murni dari sumur tanah, suku kutai biasa meminum air sumur tanpa melalui proses perebusan),
27) hi de!: tak ada
28) jebe: luar desa,
29) bujang serinta: buaya pemangsa manusia yang me-legenda hingga kini dan dipercaya masih ‘menghuni’ Sungai Kedang Kepala dari ujung selatan hingga Sungai Ngayau di ujung timur laut Kabufaten Kutai Timur,
30) labu air hitam: sejenis labu air yang berwarna hitam yang bagian dalamnya telah diisi bermacam-macam ramuan beracun untuk dipersembahkan kepada bujang serinta,
31) wala-wala: semacam kotak persegi bermotif khas yang di dalamnya diisi perangkat sesajen termasuk labu air hitam,
32) gubeng: perahu kayu,
33) kita: kamu/anda,
34) bermamang: mengucap mantra,
35) tama: masuk,
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/khoiriyyah-azzahro/bekenjong/109448725807455
0 komentar: