Cerpen Nailiya Nikmah JKF: Rindu Rumpun Ilalang
“Ayolah...kita bermain di padang ilalang. Sebentar...aja.”Aku suka ilalang. Tidak semata-mata karena kesederhanaan yang ditampilkannya seperti awenku Bakumpai tapi juga karena hal-hal misterius yang selalu menjelma di sela-sela rimbunnya. Setiap aku menatap rumpunnya yang bergoyang ditiup angin, akan terbit rasa rinduku. Rindu yang tak terbatas dan tak terbalas pada yang tak tertentu. Rindu yang tak dapat kupahami, yang selalu berubah-ubah bentuk.
Ketika aku masih berseragam putih merah, menatap rumpun ilalang di belakang rumah kami membuatku rindu Ibu. Uma yaku hantarawang kan langit. Iye melay si awan.* Begitulah kata Ayah dan Neneng. Mulanya aku percaya. Kupikir, kalau sudah lelah di atas langit, Ibu pasti akan pulang dan mencariku. Seiring berjalannya waktu, aku jadi mengerti kemana Ibu sebenarnya. Saat pertama kalin memahami makna kepergian Ibu sebenarnya, aku menangis seperti langitg menumpahkan hujan. Aku memeluk nisan bertuliskan nama Ibu. Aku merasa tak ada lagi harapan bertemu Ibu. Aku menyesali perjalanan waktu. Kadang aku berpura-pura belum mengerti dan memaksakan diriku untuk tetap menganggap Ibu ada di atas langit, dan kalau sudah lelah Ibu pun akan pulang. Tapi usaha itu sia-sia. Waktu sudah mengatakan yang sebenarnya.
Lambat laun kesedihanku berkurang. Ketika aku SMP, mentap rumpun ilalang membuatku tersipu-sipu dan tersenyum sendiri. Aku tidak tahu mengapa di sela-sela rimbunnya kutemukan wajah Aldi. Aldi adalah ketua kelasku. Aldi adalah teman laki-laki pertama yang memujiku. Dia bilang aku manis. Saat itu kunyatakan padanya bukankah Lala lebih cantik? Lala adalah anak tercantik disekolahku. “Cantik dan manis itu tidak sama. Manis itu tidak membosankan “kurang lebih begitu yang dikatakan Aldi. Lalu aku merasa rumpun ilalang menarik tanganku dan mengajakku menari. Hanya itu, tak ada sesuatu yang berlebih . sesederhana para ilalang, sesederhana itulah kerinduanku.
Aku terlanjur mencintai ilalang dibelakang rumah kami. Sampai-sampai ketika ayah memaksaku melanjutkan sekolah ke Marabahan, aku sempat berontak. Aku ingin di Tabukan. Neneng sama saja, ia bilang sekolah di Marabahan lebih bagus. Aku tak ingin jauh dari makam ibu- alasan ini dipatahkan Ayah. Kata Ayah Tabukan-Marabahan tidak terlalu jauh. Tapi aku tak ingin berpisah dengan ilalangku. Kusaksikan rumpun ilalangku menunduk sedih. Dan betapa kecewanya aku, sesampainya di Marabahan ternyata Ayah sudah menyiapkan Ibu baru untukku.
Kekecewaanku tak bertahan lama. Ibu baruku yang juga awen Bakumpai dan masih ada ikatan kerabat dengan Neneng sangat pandai mengambil hatiku (aku agak heran juga, mengapa Ayah yang berdarah Jawa tidak mencari istri sesukunya). Selain itu, aku menemukan rumpun ilalang yang baru! Ketika menatap rumpun ilalang itu, seperti biasanya terbitlah rasa rinduku. Pertama kali yang kurindukan adalah rimbun ilalang di Tabukan!
Kesibukan di bangku SMA membuatku jarang menatap ilalang berlama-lama. Aku anggota Pramuka, PMR, KIR, OSIS, pokoknya semua organisasi aku ikuti. Ayah sampai memperingatkanku agar tidak melupakan belajar. Peringatan Ayah kujawab dengan prestasi. Aku selalu juara kelas. Lalu tibalah hari itu. Hari prmbagian jurusan di kelas tiga. Aku dipanggil ke ruang BP.
“Kema, apa benar kamu memilih jurusan IPS?”Tanya bu Ida.
“Ya, Bu.”Jawabku.
“Kamu yakin?Tatapanya mencoba mencari kepastian.
“Sangat yakin”
“Ibu tidak ingin kamu salah pilih dan menyasal di kemudian hari,Nak”Guru BP ku meredakan nada bicaranya.
“Kema sudah memikirkannya sejak kelas satu,Bu” Ujarku menutup sidang tak resmi bdi ruang BP.
Berdengunglah seisi sekolahku. Ayah dipanggil ke sekolah. Semua orang seakan-akan tak rela aku masuk jurusan IPS. Aku heran, apakah pemisahan IPA-IPS sama dengan pemisahan pintar dan tak pintar? Kudengar di kota lain malah ada jurusan Bahasa. Berhubung tidak ada, ya sudah kupilih IPS. Yang jelas aku tak minat di IPA.
“Kema sayang, mengapa harus memilih IPS? Kamu mampu di IPA, Nak” bujuk Ayah.
“Kenapa harus IPA, Yah?” balasku. Ayah tak menyahut. Perundingan berakhir dengan kemenanganku.
“Tapi, Kema... kalau kau di IPA, kita akan tetap bersama. Aku ingin kita sekelas. Dayat rekan sekelompokku setiap kali praktikum ikut-ikutan membujuk.
“Memang kenapa kita harus harus sekelas?” Tanyaku polos.
“Aku hanya ingin kita sekela. Itu saja”. Dayat ghelagapan. Ia seperti penjahat tertangkap yang menyembunyikan barang bukti.
Aku tak puas. Kutatap matanya. Ia melengos. Benar kata pepatah, mata adalah jendela hati. Kalau ingin kejujuran lawan bicara, tataplah matanya.
“Tak ada alasan yang logis kan?” ucapku senang karena mematahkan argumen Dayat.
“Cinta kadang-kadang tak ada logika**” gumam Dayat.
“Apa? Kau bilang apa, tadi?” tanyaku.
“Cinta!” Dayat balik menatapku tajam. “Yaku mancintai ikaw! Bawi”***
Detik berikutnya aku yang tak berani menatap matanya. Dayat? Cinta? Kenapa kata-kata itu begitu tiba-tiba datangnya? Tiba-tiba aku ingin mengulang seluruh praktikum di laboratorium. Tiba-tiba aku ingin Ibu BP memanggilku dan melakukan sidang ulang. Tiba-tiba aku ingin Ayah mendebatku lagi. Aku berlari menerjang rumpun ilalang. Aku ingin ada yang menjelaskan ketiba-tibaan ini. Aku menatap rumpun ilalang. Oh, sungguh kacau rindu yang diterbitkannya. Mula-mula terselip wajah Dayat, lalu ini’ Aldi, lalu...apa-apaan ini, aku merindukan para perempuan Bakumpai uang sedang berdendang menumbuk padi dengan halu di Tabukan. Terakhir ada awan putih di langit. Itu pasti Ibu! Kutanya ilalang itu. Mereka tak memberiku jawaban lain. Ilalang itu membiarkanku pada pilihan pertamaku.
***
Keindahan rumpun ilalang terakhir kunikmati seminggu menjelang pernikahanku. Di sela rimbunnya tak ada lagi wajah Aldi, Dayat atau siapa pun. Ya..sejak mengikuti kajian intensif di kampusku, aku menatap rumpun ilalang sambil menyebut asma-Nya dan aku tak pernah lagi menemukan wajah-wajah nonmahram terselip di sela rumpun ilalangku. Biasanya yang kurindukan adalah Ibu, Ayah, Neneng dan sahabat-sahabatku di kelompok kajian pekanan. Di sela rimbunnya waktu itu, kutemukan wajah calon suamiku, memperkuat hasil istikharahku. Sejak itu ilalang-ilalang itu berganti sosok anak-anakku yang lincah dan aktif.
“Ayolah ...kita bermain di padang ilalang. Sebentar...aja.”
Lalu hari ini, anak-anakku merengekkan ilalang. Sama seperti aku dulu, mereka tak kalah gilanya daripadsa aku dalam urusan ilalang. Sebenarnya aku agak takut dan ragu. Hampir lima tahun aku tak lagi menatap rimbunan ilalang sekhusyuk dulu. Apakah ilalang itu marah padaku? Apakah mereka juga semakin tua sepertiku? Aku memberanikan diri membawa anak-anakku ke sebuah padang ilalang. Kedua balitaku berteriak kegirangan. Kupejamkan mataku beberapa saat. Pelan-pelan kubuka kedua mataku...Oh, tidak! Di sela rimbunnya kutemukan wajah seorang laki-laki. Bukan, ia bukan ayahku. Suamiku pun bukan. Aku tak percaya. Wajah itu...
“...merupakan gambaran hidup dan kehidupan... di dalamnya ada realitas...substansinya harus kita pahami...”
Aku terngiang-ngiang kalimat-kalimatnya yang dulu pernah menghipnotisku. Meski terpotong-potong, kenangan yang ditampilkannya menerbitkan kerinduan yang sangat besar. Ini pasti gara-gara perbincanganku dengan Mitha seminggu lalu. Mitha begitu antusias bercerita tentang dia padaku.
“Dia sekarang sudah berubah. Tidak seperti dulu lagi. Kamu pasti terpesona” ucap Mitha sungguh-sungguh.
“Kenapa terpesona?” tanyaku.
“Penampilannya sekarang seperti idolamu dulu” jawab Mitha.
“Idolaku? Siapa?”
“Osama bin Laden!” Mitha terbahak lalu berlari meninggalkanku yang mulai tertusuk rindu.
Tergesa ku kemasi anak-anak. Aku ingin segera pulang. Kerinduan ini menakutkanku. Tapi sayang, kerinduan yang diterbitkan ilalang itu terbawa sampai ke kamarku dan menjadi topik perbincanganku dengan suami setiap mamal.
“Apakah kau pernah bertemu dengannya baru-baru ini??” aku menanyakan lelaki itu pada suamiku. Lelaki yang juga pernah dikenal olehnya.
“Kenapa kayu menanyakannya terus?” Tanya suamiku.
“Aku... merindukannya”lirihku.
Mata suamiku membesar. Tapi hanya beberapa detik. “Kalau begitu, kau temui saja dia!”
“Tidak mungkin. Tidak ada alasan yang sangat penting untuk bertemu dengannya”keluhku.
Setelah itu ia tersenyum. “Nanti kalau aku bertemu dengannya, akan kuceritakan bagaimana keadaannya sekarang. Yang jelas, dia sudah berubah”
Begitulah berbulan-bulan aku ditikam kerinduan yang terbatas. Maka, belangsarlah aku ketika mendapat pesan singkat di ponselku. Pengirimnya tak jelas siapa. Sepertinya pesan yang diteruskan dari pengirim lain. “EsokSeminarPmbcrxDF” DF adalah inisial laki-laki itu. Aku penasaran, apa yang akan dipaparkannya tentang sastra setelah perubahan habis-habisan yang ia lakoni?
“Pokoknya, besok aku ke kampus. Wajib” begitulah gayaku kalau meminta izin pada suami. Untunglah suamiku tidak terlalu sulit dimintai izin. Ia sangat memahami kecenderunganku pada dunia sastra. Aku sibuk menata hati. Ada gemuruh yang tak bisa kusunyikan. Ketika menapaki anak tangga gedung tempat seminar berlangsung aku nyaris terjatuh saking gugupnya. Di anak tangga terakhir, sebelum sampai di pintu masuk, aku menarik nafas. Aku tak ingin kelihatan kacau di hadapannya. Nanti kalau bertanya apa ya? Gumamku dalam hati.
Betapa terkejutnya aku ketika tak menemukan sosoknya di forum itu. Sepertinya ia sengaja tak ingin menghadiri acara. Aku menelan kecewa. Tapi kekecewaan ini tak sama dengan kekecewaan ketika aku kehilangan Aldi dan Dayat. Bukan, ini bukan pencarian yang berakar dari romantisme konyol karena untuk urusan romantisme aku sudah ada ikatan perjanjian dengan-Nya. Laki-laki itu adalah orang yang sangat kuhormati. Orang yang pernah memberiku pengajaran dan pendidikan tentang sastra. Orang yang pernah meminjamiku buku langka-yang rela mengopikannya karena kerapiannya mengarsip pustaka. Dia adalah dosenku.
Aku manuruni anak tangga dengan hampa. Kuterabas rumpun ilalang. Kupejamkan mataku lalu perlahan-lahan kubuka. Kulihat rindu itu masih terselip di sela rimbunnya.
(Assalamu’alaikum yaa Ustadz)
*Ibuku pergi di langit, ia tinggal di langit. (Bahasa Bakumpai)
**Cuplikan lagu Agnes Monica
***Aku mencintaimu, Gadis!
Sumber:
Nikmah, Nailiya. 2010. Rindu Rumpun Ilalang. Banjarmasin: Tahura Media
http://nailiyanikmah.blogspot.co.id/2012/12/rindu-rumpun-ilalang_28.html
0 komentar: