Cerpen Fajriah Amini: Sejuta Serapah Sajak Sampah

19.58 Zian 0 Comments

Aku tak berharap banyak, tak harus selalu melihat senja petang hari, tak harus memeluk gerimis atau menyapa kunang-kunang malam sunyi. Karena berkali-kali aku berpaling dari mereka. Ah,,, aku tak ingat berapa kali telah kulupakan senja, sepuluh, seratus, atau bahkan seribu rupa senja? Entahlah, tidak segalanya dapat kuperhitungkan. Begitu juga dengan gerimis, meskipun aku begitu mengaguminya namun ada waktu-waktu tertentu yang tak kuharapkan kehadirannya sehingga mulutku telah lancang mengeluarkan bebarapa serapah secara terang dan kusampaikan begitu saja padanya. Yah, aku benar-benar tak berharap banyak, dengan diberikan anugerah berupa rasa untuk merasakan dan mengagumi ini pun telah cukup bagiku. Begitulah diriku, karena aku adalah aku, aku yang tak selalu ingin dijabarkan. Bagiku, penjabaran, penjelasan, ataupun pemaknaan tak selalu serupa dengan objeknya.
“Hmhhh...” Napasku semakin berat. Kantuk begitu dekat menyapa dan biarlah ia semakin mendekat, lebih dekat, dan aku akan memenuhi isyarat lelah dengan merebahkan tubuhku beberapa waktu.

***

Hari ini, yah, memang hari ini. Hari yang tidak ingin kubanyangkan. “Benarkah ini?” tanyaku pada cermin yang tetap saja membisu, cermin yang tidak pernah menjawab tanyaku. “Huh!!! Hanya buang-buang waktu saja bertanya padamu yang tak pernah menjawab tanyaku, jangankan menjawab, menghiraukan kata-kataku barang sedetik pun tak pernah. Sejak kedatanganmu ke kamar ini, sejak itu pula keinginanku tuk memecahkanmu. Dasar cermin tak berguna!” teriakku.
Aku semakin kacau setelah membaca sms itu. Sebuah pesan darinya yang ingin mencoba menjelaskan duduk perkara yang sedang kami hadapi. Sepertinya ia semakin tidak mengerti diriku yang takkan mungkin memahami sebuah penjelasan. “Ada apa dengan diriku? Ada apa dengan dirinya?” lagi-lagi aku bertanya pada cermin bisu yang tetap konsisten memainkan perannya sebagai bisu. Tentu saja tidak ada jawaban.
Langkahku kali ini teramat berat karena tidak menyertakan satu hal. Aku tidak membawa kesiapan untuk menemuinya atau lebih tepatnya mereka. Namun, inilah waktu yang telah ia tentukan, pertemuan yang ia atur secara sepihak, hari ini tepatnya. Aku ragu, tetapi kakiku terus berjalan menuju tempat yang telah ia tentukan. Sebuah tempat yang menyimpan banyak kenangan antara aku dan dirinya, namun sekarang akan menjadi kenangan antara aku dan mereka.
Entahlah apa yang kupikirkan atau memang hal ini telah kurencanakan sehingga aku berada di tempat ini satu jam lebih awal dari yang ia janjikan. Mungkin karena aku ingin menikmati beberapa kenangan, sendiri, hanya diriku dan tempat ini agar aku dapat merasakan suasananya lebih jelas, suara angin, percikan air danau yang mulai mengering, dedaunan, bebatuan, rerumputan yang tak lagi hijau seperti halnya ketika aku bersama dirinya, serta suara ilalang musim kemarau. Suasana ini seperti mengikuti kata hatiku yang terombang-ambing sehingga enggan melihat masa lalu ketika aku begitu percaya pada sebuah rasa. Hal itu kutulis dalam sebait puisi untuknya, ketika rasa itu ada. Tetapi sekarang, puisi hanyalah sebuah puisi. Biarlah puisi kumaknai hanya sebagai puisi. Puisi yang tidak berarti apa.

Jika mencintaimu karena kata, kadang kata ‘kan menjadi dusta
Jika mencintaimu karena rupa, usia ‘kan lunturkan pesona
Jika mencintaimu karena harta, terkadang,,,
ku inginkan cakrawala yang kutahu kau tak kuasa membelinya dengan harta
Jika mencintaimu karena tutur prilakumu, kebaikanmu padaku
Aku tak sanggup membaca rasa pada hati manusia
Karena aku mencintaimu atas cinta yang ditanamkan dalam dada ini
Anugerah dari Sang Pemilik Cinta...

***

“Kali ini aku benar-benar keliru mendengarkan isi hati. Rasa yang kulontarkan ternyata salah alamat. Lelaki yang selama ini kukagumi tidak berbeda dengan banyak lelaki di luar sana yang mampu menduakan rasa,” kataku pada sebatang pohon yang sedari tadi kusandarkan bahuku padanya.  Namun, aku tidak begitu yakin apakah pohon tersebut dapat mengerti apa yang kurasa. Toh, aku tak berharap pohon tersebut menjawab percakapan ini.
“Huhhhh...” keluhku membuka percakapan, kali ini kupaksakan dedaunan tuk mendengarkan. “Perempuan itu, aku tak tahu siapa dirinya. Kupertanyakan apakah ia masih seorang perempuan dengan hati seorang perempuan? Jika iya, mengapa sebagai seorang perempuan ia begitu tega melakukan ini padaku. Tidak tahukah ia bahwa hati seorang perempuan tak pernah ingin diduakan?” kutatap tajam di antara ranting dedaunan itu, tetap bergeming. Dan akhirnya akupun diam, mengikuti suasana yang kurasakan semakin tak menentu.

***

Detak-detak waktu terus terdengar. Aku mulai terbiasa pada suasana ini bahkan semakin menikmatinya. Sendiri dan diam. Aku hela napasku dan kutarik napas dalam-dalam. Seketika itu juga kulihat dua siluet manusia dari kejauhan berjalan ke arahku. Tak disangkal lagi, lelaki yang dahulu kukagumi dan perempuan itu. Setiba mereka di hadapanku, kami semua terdiam seolah meleraikan hal-hal yang berkecamuk dalam lamunan masing-masing.
Apa yang harus dilontarkan, apa yang harus dinyatakan, apa yang harus ditanyakan, dan apa yang harus dijawab? Sudahlah, aku telah muak dengan semua ini. Akui sajalah kesalahan kalian, gerutuku dalam hati.
Aku memalingkan wajah dari mereka. “Emmm... Aku sangat menyesal” ucap lelaki itu memecah suasana yang teramat beku. “Hubungan ini ternyata akan berakhir dengan cara seperti ini. Aku benar-benar sombong. Kukira aku telah cukup hebat tuk menjaga perasaanku. Ma’afkan aku!” pinta lelaki itu. “Aku hanya ingin membantumu dengan menjadi seorang pendengar ketika kau mulai letih menjalani hidup, itu saja. Namun, aku tak sehebat seperti yang kubanyangkan, tak mampu menjaga perasaanku. Semua ini salahku.”
“Sudahlah! Aku semakin tak mengerti dengan penjelasanmu.” aku mulai angkat bicara. “Tak ada yang perlu dijelaskan. Semuanya telah aku saksikan dengan mata ini dan menjadi semakin jelas bagiku.”
“Tenangkan dirimu! Dan dengarkanlah alasannya!” ucap perempuan itu dengan suara lembut disertai sesungging senyum yang ia lontarkan ke wajahku. Tentu saja kubalas senyum itu dengan tatapan lekat, penuh amarah. Sebuah senyum yang kumaknai sebagai senyum kemenangannaya karena ia telah memenangkan hal ini, menjadi seseorang yang dipilih sebagai bagian dari kehidupan seorang lelaki yang kukagumi.
“Kau tak mengerti!” sambung lelaki itu.
“Yah,,, memang, perempuan tolol sepertiku ini memang tak pernah dapat mengerti. Dengan ketololan inilah aku mengagumimu, mencintaimu. Cinta yang tolol! Tapi, aku tetap memandangmu sebagai orang yang baik, karena kau adalah seorang lelaki yang penuh perhatian dan pengertian. Seseorang yang kukira dapat memehamiku. Tapi ternyata, aku salah,” tuturku diiringi tetesan air mata. Huhhh... aku tak boleh mengangis di hadapan mereka.
“Sekarang kau dengan dirinya.  Tahukah kau bahwa aku takkan pernah bisa berbagi rasa. Dengan cermin pun aku enggan berbagi rasa apalagi dengan perempuan lain. Dan kau, kau pasti mengerti perasaan ini. Perasaan seorang perempuan yang tak pernah ingin diduakan.”
“Semua ini salahku dan tak ada hubungannya dengan dirinya. Dengarkan aku! Sebenarnya bukan dirinya yang menjadi orang ketiga dalam hubungan ini. Dirimulah yang perlahan-lahan memasuki hubungan kami, menjadi orang baru. Aku dan dirinya telah lama menjalin hubungan, jauh sebelum kehadiran dirimu. Kemudian, beberapa waktu yang telah lewat aku bertemu denganmu dan ketika itu aku menganggapmu seperti teman lainnya. Tak ada sesuatu yang berbeda. Namun, secara perlahan-lahan ketika kau muntahkan cerita hidupmu padaku, aku mulai merasa ada sesuatu dalam dadaku, perasaan itu. Dari waktu ke waktu perasaan itu semakin tak kumengerti dan mengacaukan pikiranku,” jelasnya dengan wajah penuh rasa bersalah.
“Sementara dirinya,” sambil menoleh pada perempuan itu. “Ia tetap setia mendampingiku, menguatkanku tanpa banyak bertanya apa yang sedang terjadi dengan diriku. Ia tetap percaya padaku. Walaupun pada akhirnya ia mengetahui hubungan kita. Ia tetap dapat memaafkanku dan ia pulalah yang memintaku menyelesaikan semua ini dengan kepala dingin. Semua salahku yang tak dapat menjaga perasaan ketika kau memintaku mendengarkan ceritamu, bersimpati padamu. Aku hanya ingin membantumu dengan menjadi pendengar ketika kau berhadapan dengan kehidupan. Namun, kita salah dalam memaknai hal itu, menjadi perasaan yang tak kumengerti. Dan aku sadar, hingga detik ini pun aku tetap memilihnya.”
“Maafkan aku,” pintanya dengan suara lembut yang sepertinya memang berasal dari dalam hati.
Sekarang aku benar-benar tak dapat menahan air mata ini. Aku telah lancang menafsirkan keadaan yang sebenarnya aku hanya memenuhi inginku tuk menjadi satu-satunya yang benar dalam masalah ini. Aku hanya menunduk, tak ada kata yang dapat kulontarkan selain satu kata, secara terbata-bata, “Ma..ma...af.” Kali ini hanya itu yang dapat kukatakan. Perempuan itu, mendekat dan mendekapku.
Dalam dekapan itu ada sesuatu yang terlintas dalam pikiranku bahwa apa yang kita pikirkan tak selamanya adalah suatu kenyataan. Apa yang kita pikirkan tak selamanya sama dengan apa yang kita harapkan. Apa yang kita pikirkan tak selamanya sesuai dengan kenyataan. Dan,,, apa yang kita pikirkan, apa yang kita asumsikan tak selamanya benar.

Banjarmasin, 19 Januari 2012

Sumber:
Komunitas Penakita. 2012. Episode Luka. Banjarbaru: Mingguraya Press
Komunitas Penakita. 2014. Episode Luka. Banjarbaru: Penakita Publisher
http://bahanakurumahku.blogspot.co.id/2012/02/sejuta-serapah-sajak-sampah.html

0 komentar: