Cerpen Ali Syamsudin Arsi: Abah Aluh

17.29 Zian 1 Comments

Bulan Juli, terasa panas, apalagi sampai bulan Agustus dan September. Musim kering, kemarau, menyengat ke ubun-ubun. Tanah di jalanan mengeras, berdebu, panas. Apalagi di kiri-kanan hanya terbentang padang ilalang. Gersang yang terasa. Hanya beberapa pohon akasia, itu pun tidak lebat daunnya. Sebamban daerah panas. Bila sudah begini maka sumur di tengah padang ilalang itu pun menjadi keruh. Bahkan sudah banyak yang kering, tak berair, hilang basah, yang tinggal hanya desah.
Sebamban, daerah bermukimnya masyarakat transmigran dari daerah luar Kalimantan. Ada yang datang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok dan sedikit trans lokal. Mereka bersatu bergumul bercampur berbaur bersimpang-siur berselang-seling. Batas mereka hanyalah blok-blok. Sebamban 1 terdiri beberapa blok, tergantung asal mereka.
Apa yang kurang di Sebamban ini? Tak ada. Semua sudah tersedia. Tak ada yang kurang. Yang ada hanyalah ‘kekurangan’ saja, menurut Abah Aluh.

Abah Aluh duduk termenung sendirian di serambi rumahnya. Sepi. Abah Aluh memandang sepi. Matanya sepi. Duduknya sepi. Mulutnya sepi. Kebunnya, ladangnya, sawahnya, tanahnya, rumahnya, wc-nya, kakusnya, ilalangnya, pintu rumahnya, jendela rumahnya, semuanya sepi. Tak ada yang akan mengatakan bahwa Abah Aluh lepas dari sepi. Melilit melingkar menjerat menjebak mendekap sepi. Lagi-lagi hanya sepi. Nyanyian yang sering didendangkannya. Nyanyian malam. Nyanyian siang. Sama saja. Tak bergeser, oh Abah Aluh.
Sering Abah Aluh bergumam. Sering Abah Aluh berdebat pada diri sendiri, untuk diri sendiri. Tak apa, yang penting berkurang juga beban pikiran, walau sedikit. Dan sangat sedikit, memang. Biarlah.
Siang itu di bulan Juli. Abah Aluh seperti hari-hari yang lalu, ia duduk termenung. Tatapan matanya kosong ke depan. Dalam diamnya, ia bercakap tentang waktu dan keberadaannya.
Bagaimana keadaan anakku di Jakarta? Sepucuk surat pun tak ada. Bagaimana aku dapat mengetahuinya. Suaminya membawanya ke sana sampai sekarang tak ada berita. Berapa anak mereka sekarang. Lima tahun sudah kami berpisah. Tahukah mereka bahwa ibu yang mencintainya telah tiada. Ibunya yang selalu memanjakannya meninggal karena sedih dan menderita. Sedih karena terpisah  dengan anak tercinta dan menderita karena kehidupan yang serba kekurangan. Aku dapat membaca dari sorot mata istriku, tak pernah bercahaya, bibirnya tak pernah tersenyum, mulutnya tak pernah tertawa. Dua tahun sudah istriku meninggal, kuburnya pun tak jauh dari rumah ini, hanya beberapa langkah saja dari batas desa. Rumah ini letaknya paling ujung dari rumah yang lain. Kemudian sepi lagi. Tak ada apa-apa.
Abah Aluh. Panggilan yang akrab untuknya, karena anaknya yang tertua adalah perempuan, maka orang-orang memanggilnya dengan sapaan itu. Aluh adalah sebutan untuk anak perempuan dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar, sedang untuk anak laki-laki adalah Utuh. Abah adalah sapaan anak kepada ayahnya. Lebih akrab memang. Dan sedikit berbau daerah, tetapi itu adalah sopan untuk masyarakat desa di ‘pahuluan’ Banjar. Jadi, sebutan ‘abah aluh’ kalau diuraikan secara singkat adalah ‘ayah dari anak perempuannya’.
Ada tiga anaknya. Yang tertua perempuan dan yang kedua juga perempuan, yang ketiga adalah laki-laki.
Yang tertua namanya Noorhayati, yang kedua Noormalawati, dan yang ketiga adalah Karti Imansyah. Nama Abah Aluh sebenarnya adalah Thamrin Amrullah, almarhumah istrinya bernama Siti Salasiah.
Istrinya memang telah tiada. Ketiga anaknya juga telah meninggalkannya. Hanya sendiri. Tak ada siapa-siapa lagi. sanak saudaranya jauh, kampung halamannya jauh, ia perantau, ia petualang-nasib. Ia adalah salah seorang warga transmigrasi yang masih bertahan. Ia adalah salah seorang warga trans-lokal. Daerah asalnya adalah salah satu Hulu Sungai di Kalimantan Selatan.
Mengapa kau masih dapat bertahan di daerah seperti ini? Aku? Ya, aku. Akh, karena aku ingin dikubur di sini. Singkat sekali. Mudah sekali. Ringkas sekali. Semudah itukah jawabanku? Akh.
Mengapa kau ingin dikubur di sini? Aku? Ya, aku. Akh, karena aku tak dapat meninggalkan daerah ini. Tak dapat? Mengapa? Dan untuk apa itu semua? Bukankah aku perantau, petualang, tapi …
Tak ada tapi. Semuanya telah jelas. Semuanya telah nyata. Tunggu apa lagi. tak ada tapi. Yang ada adalah kenyataan. Kau membuat aku bingung. Tak ada yang dibingungkan sekarang
Bagaimana pun keputusan itu ada di tanganku.
Itu memang benar.
Kau tak bisa memaksaku untuk berbuat.
Itu pun benar.
Aku dapat memutuskan sendiri, tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan diriku sendiri, tentang kehidupanku, tentang masa depanku sendiri, tentang akibat yang aku hadapi sendiri. Seperti sekarang ini. Saat ini.  Yang lain tak dapat berkehendak atas diriku. Tak dapat, bahkan tak boleh terjadi, atas diriku.
Itu sangat benar. Tak ada yang dapat meyangkal. Tapi ingat. Apakah kau akan mengatakan, bahwa kau akan berbuat seperti Pak Wanto, asal Jawa Timur yang kini telah mempunyai kebun cengkeh yang subur itu, atau seperti Pak Dadang, asal Jawa Barat yang sekarang telah memiliki  pohon lada yang sekali panen cukup untuk memberi makan masyarakat daerah ini untuk satu bulan? Mereka yang gigih, yang ulet, yang sabar, yang rajin, yang tak kenal putus asa, yang selalu bersikap ‘nrimo’ pada mulanya? Yang hidup prihatin pada asalnya, pada akhirnya merekalah yang berhasil, merekalah yang kini hidup di atas batas  lumayan, merekalah yang dapat tersenyum, merekalah yang sering terdengar tawa, canda-ria, merekalah yang kini memiliki lahanmu sebagian itu. Atau seperti keluarga Pak Ketut, asal Bali yang kini telah memiliki dua buah truk dan sebuah colt serta sebuah alfa berwarna hitam yang manis? Di bulan-bulan panas begini mereka tenang-tenang saja. Tidak gelisah seperti kau. Pada akhirnya mereka jualah yang berhasil.
Sekarang kau?
Aku?
Ya. Apa yang kau harap dari kerjamu sebagai tukang, yang bekerja bila hanya ada pesanan dari orang lain, karena rumahnya sedikit rusak. Berapa upah yang kau dapat? Tak menentu. Tak ada batas yang tegas. Tak ada perhitungan yang pasti. Bahkan kadang-kadang ada yang hanya mengucapkan terima kasih, terima kasih. Lagi-lagi terima kasih. Oh, kau. Abah Aluh. Ini desa, lain kota, Abah Aluh.
Tapi kerjaku bukan hanya tukang. Aku juga bisa menjadi yang lain. Bila malam tiba, ada yang memerlukan tenagaku. Itu pun bila kau tidak lelah di waktu siangnya, sebab tenagamu hanya dapat difungsikan bila kau tidak lelah atau kecapaian. Kau memijit, memijat, mengurut, bahkan menarik-narik. Semua itu perlu tenaga yang baik, Abah Aluh. Belum lagi upah yang kau dapat, berapa? Coba hitung. Bila dalam hitunganmu itu menguntungkan, mengapa sampai tanahmu yang sebagian telah berpindah tangan? Mengapa pintu rumahmu masih ada yang bolong dan tak berpaku, mengapa jendela rumahmu selamanya tertutup kain bekas? Itu pun sarung bekas yang sering digunakan oleh istrimu dahulu. Apakah kau masih ingin dikubur di sini, di daerah ini? Entahlah. Itu semuanya karena kemalasanmu saja, apakah kau paham. Entahlah. Kau tak mengerti apa yang terjadi? Entahlah.
Abah Aluh terus membatin. Sudah lima batang rokok murahan yang dihabiskannya. Kemudian diraihnya saku bajunya yang kumal, di sana didapatnya uang ribuan lima lembar, recehan tiga keping yang besar, dan tiga keping yang kecil. Jadi uang Abah Aluh ada lima ribu empat ratus lima puluh rupiah. Hanya itu. Tak ada yang lain untuk jenis rupiah. Yang lain jenis adalah secarik kertas yang telah berisi angka-angka, nasib-nasiban, untung-untungan.
Siapa tahu. Nasib orang tak dapat ditebak. Kalau kena? …
Kalau tidak?
Ya, kalau tidak?
Biasanya banyak yang tidak.
Seperti Abah Aluh, misalnya.
Tetapi Abah Aluh keras kepala. Tak mau mengakui kalau ia kalah. Itulah Abah Aluh. Keras kepala, tetapi kalah.
Abah Aluh beranjak dari duduknya. Hari mulai gelap. Dinyalakannya lampu teplok satu-satunya di rumah itu. Untung masih ada minyaknya. Kalau tidak, gelaplah rumah Abah Aluh
Selepas waktu maghrib Abah Aluh sudah mengayuh sepeda bututnya di jalan tak beraspal. Jalan yang sunyi dan gelap. Tak ada listrik, tak ada penerangan di sini, selain lampu senter di tangan Abah Aluh. Cahayanya pun sudah redup. Mungkin lebih terang sebatang korek api yang dinyalakan daripada cahaya lampu itu. Pelan sekali Abah Aluh mengayuh sepedanya yang sudah berumur dua puluh tahun. Karatan di sana-sini. Oh, Abah Aluh.
Mudah-mudahan si Yati senang hidupnya di Jakarta. Mudah-mudahan si Wati dan Karti hidup bahagia sekarang ini, entah kemana mereka. Mengapa sampai kini tak ada yang berkirim kabar. Aneh. Sungguh aneh. Tak habis mengerti aku jadinya. Mereka tinggalkan aku begitu saja. Apa salahku. Apa dosaku. Entah. Dan biarlah.
Hanya dalam waktu dua jam uang Abah Aluh sudah habis di meja kartu. Tak ada lagi modalnya. Padahal main ‘kecil-kecilan’. Seratus dua ratus sekali pasang. Lagi-lagi sial. Apes. Jengkel jadinya.
Mengapa tak ada yang ingin dipijat malam ini? Apa yang akan aku lakukan besok? Bagaimana kalau …

* * *

Seminggu kemudian tak tampak lagi sosok tubuh yang bernama Abah Aluh. Kabarnya ia telah pergi ke kampung halamannya setelah menjual seluruh tanah yang tersisa, rumahnya beserta pekarangan yang satu hektar, yang penuh dengan ilalang dan rumput liar. Semuanya dijual dengan harga yang sangat murah. Cukup sekedar ongkos pulang dan sedikit sisa untuk bekal. Mungkin untuk usaha. Atau sekedar menunggu kesempatan kalau ada pendaftaran sebagai warga transmigrasi di lain tempat, di lain pulau.
Oh, Abah Aluh, tak berbeda jauh dengan beberapa warga transmigran lain yang bernasib sama. Pulang ke kampung halaman dengan menjual lahan yang telah didapat dengan cuma-cuma. Hanya berbekal kerja keras. Ya, hanya berbekal kerja keras belaka.
Berapa mereka yang telah menjadi Abah Aluh?
Oh, Abah Aluh.
Apakah setiap orang, seperti Abah Aluh, harus disebut sebagai pahlawan di zaman ini?

Sebamban, Juli 1991

Sumber:
SKH Mata Banua, 2014

1 komentar:

  1. Terima kasih, ini sangat membuka untuk hal literasi
    Salut

    BalasHapus