Cerpen Sandi Firly: Musim Berburu Telah Dimulai

08.22 Zian 0 Comments

Cerpen Sandi Firly: Musim Berburu Telah Dimulai



Membiru dan bau. Dada bolong—seperti matanya yang terbelalak kosong, tanpa jantung. Senja di kampung pinggiran hutan Meratus seketika riuh. Ini mayat kedua—satu minggu lalu juga ditemukan seonggok tubuh membusuk dengan kondisi yang sama.
”Hanya Anak Sima yang sanggup melakukan pekerjaan semacam ini,” ucap seorang kakek di tengah kerumunan warga kampung yang menutup mulut dan hidung.
Orang-orang menoleh kepada kakek berpakaian lusuh dengan jenggot panjang memutih. Tidak banyak yang mengenalnya. Sebagian hanya tahu bila kakek itu berdiam seorang diri di atas bukit. Anak Sima, itu adalah kisah usang dan bahkan sebagian hanya menganggapnya karangan.
”Bagaimana Kakek yakin ini ulah Anak Sima?” tanya seorang pemuda. “Bukankah itu dongeng belaka?”
Tatapan orang-orang beralih dari mayat—yang mulai mengundang lalat-lalat hijau besar datang. Mereka menunggu kakek bicara.

”Tidakkah kalian lihat bagaimana kondisi mayat ini?” cetus kakek. ”Tidak ada beruang, atau binatang buas lainnya yang menyerang mangsanya seperti itu. Kalian semua pasti tahu, hanya Anak Sima yang memakan jantung manusia.”
Senyap. Semua terdiam. Saling pandang, dan seakan gelombang ketakutan berembus bersama angin senja yang dingin. Belum lagi terungkap kasus penemuan mayat seminggu lalu, kini telah ditemukan korban baru dengan kondisi sama mengenaskannya; dada bolong.
Seperti mayat pertama, mayat kedua ini juga diketahui sebagai orang asing—bukan penduduk asli Meratus atau Kalimantan. Empat lelaki membawa mayat itu dari dalam hutan. Kabarnya, mereka orang-orang proyek tambang batubara yang sedang melakukan survei di pegunungan Meratus.
Aku yang sedari tadi berada di kerumunan warga, hanya berdiri memperhatikan mayat dan mendengarkan kata-kata si kakek. Seperti orang-orang sekampung, tentu aku tidak asing dengan kisah Anak Sima, yang diyakini si kakek sebagai sosok pemakan jantung lelaki di depan kami—itu adalah kisah yang pernah diceritakan nenekku bertahun-tahun lampau.
Terlahir dari hubungan haram, dibuang ke dalam hutan. Dipelihara raja hantu, dihidupi dengan minuman darah dan daging mentah. Memendam dendam kepada manusia yang membuatnya terlahir ke dunia.
Jika kau mendengar suara tangisan bayi saat berjalan di dalam hutan, mungkin itu tangisannya. Jangan sesekali berani menghampiri dan belas kasih, jika tak ingin jantungmu direnggut dari sarangnya.
Tangisannya memilukan. Tiada sesiapa pun yang tega untuk tidak memungutnya. Ia meminta digendong. Bukan di depan, tapi di belakang. Dan kau terlambat menyadari bila ia adalah Anak Sima, sampai kau merasakan punggung dan tulang belakangmu dikerkah dan dimasukinya hingga menembus dadamu. Jantung manusia, itulah makanan kesukaannya.
Aku tidak tahu untuk apa nenek menceritakan kisah mengerikan tentang Anak Sima saat aku berumur tujuh tahun. Meski aku merasa takut, namun tidak mengurangi antusiasku mendengarkan—dan aku suka menatap mulut nenek yang memerah dan agak hitam oleh buah pinang dan tembakau yang disumpalkan di mulutnya. Terkadang aku membayangkan seperti itulah mulut Anak Sima saat mengunyah jantung manusia.
Nenek biasa bercerita saat aku hendak tidur malam, dan pelita dimatikan. Aku sebenarnya tidak suka gelap, namun aku lebih takut lagi dengan Anak Sima. Sebab kata nenek, ”Kita harus mematikan pelita, supaya Anak Sima tidak bisa melihat kita.” Dan aku percaya. Setelah beranjak remaja, baru kutahu ternyata itu hanya cara nenek untuk menghemat minyak tanah.
Kami hanya tinggal berdua di pinggiran sungai kecil, di kaki pegunungan Meratus, agak terpencil dari rumah penduduk. Bertahan dan makan dengan hasil kebun yang tak seberapa luas di halaman. Sebagian dijual sekadar membeli minyak tanah, gula, garam, dan sedikit beras.
Semenjak kecil aku telah akrab dengan parang, kapak, sumpit, dan tombak—empat senjata yang kugunakan untuk menebas ranting, semak, memotong kayu, sekaligus juga berburu. Aku terlatih dan ahli menggunakan keempat senjata itu. Semakin mahir, semakin kutahu kami akan lebih mudah bertahan hidup.
Tombak dan sumpit senjata yang paling kuandalkan—tidak hanya untuk mendapatkan ikan di sungai, tapi juga berburu babi, pelanduk, atau menjangan di dalam hutan. Hewan buruan yang sudah terperangkap dalam pandanganku, jarang sekali lolos dari mata tombak atau sumpit beracunku. Satu lagi keahlianku yang layak dipuji, menguliti hewan malang itu dengan kapak tajam.
Di dalam hutan aku kerap bertemu para penebang pohon. Aku tidak menyukai keberadaan mereka. Mesin gergaji yang bising membuat hewan buruanku terus menjauh. Terkadang aku bahkan diusir karena dianggap mengganggu, atau dikhawatirkan tertimpa pohon yang dihembalangkan.
Aku sering melihat beratus-ratus gelondong kayu memenuhi Sungai Amandit, yang ketika musim air naik, batang-batang kayu itu dihilirkan entah kemana. Namun kelak aku tahu batang-batang itu menuju Sungai Barito di Kota Banjarmasin, pintu keluar menuju Laut Jawa, tempat pabrik-pabrik yang berdiri di sepanjang tepi sungai mengeratnya menjadi papan-papan atau balok-balok. Cerita semacam itu kudapatkan bila aku sekali waktu turun ke pasar.
Setelah bertahun-tahun, dan aku beranjak remaja, sudah tak kulihat lagi batang-batang kayu gelondongan di sungai. Hutan Meratus pun tidaklah selebat waktu aku kecil dulu. Para penebang kayu dengan gergaji mesin sudah digantikan orang-orang asing lainnya dengan penampilan lebih rapi. Mereka keluar masuk hutan untuk menandai tanah yang mengandung batubara.
”Meratus akan ditambang.” Begitu bisik-bisik di pasar yang kucuri dengar dua pekan ini.
Itu juga menjawab keherananku mengapa orang-orang asing belakangan sering mondar-mandir tak terlalu jauh dari tempat tinggalku, menunjuk-nunjuk ke banyak penjuru angin, termasuk pondokku. Aku mengamati mereka dari muka pintu sambil mengasah mata tombak, atau mengoleskan serbuk racun di mata sumpit.
Seperti kebencianku kepada para penebang pohon waktu kecil, aku telah memupuk kebencian yang sama kepada orang-orang asing itu setelah nenekku menceritakan sebuah rahasia yang telah lama dipendamnya.
Nenekku belum lewat satu bulan lalu mati. Sebelum napasnya berhenti, dikisahkannya tentang ayah ibuku dengan linangan airmata. Tetapi aku tidak menangis, kisah itu justru membuat kebencianku kepada orang asing berubah menjadi nyala api amarah. Sejak itulah aku merasa bahwa hidupku sesungguhnya baru saja dimulai, dengan pekerjaan yang telah menunggu dan mesti kutuntaskan—beberapa memang telah kubereskan.
”Bila kalian tidak ingin bernasib sama dengan teman kalian ini, juga mayat teman kalian sebelumnya, sebaiknya jangan pernah kembali lagi ke hutan sana,” ucap si kakek kepada empat lelaki asing. Satu di antaranya tampak sibuk dengan telepon genggam, sepertinya mengabarkan kepada seseorang entah di mana agar membawa mobil jemputan untuk mayat.
Aku masih berdiri di antara warga, dengan mata tetap awas kepada empat lelaki asing yang sedang mengurus mayat temanny .a. Kuperhatikan lekat-lekat wajah mereka, entah, aku seperti mencoba mencari seseorang yang tidak pernah kukenal namun ingin sekali aku mengenalnya.
”Jika memang benar ada Anak Sima di dalam hutan, siapakah yang telah dengan tega membuang bayinya ke sana, Kek?” tanya seorang ibu muda.
”Aku tidak tahu. Tapi pasti orang dari luar kampung kita ini,” cetus si kakek, lalu pergi meninggalkan kerumunan, juga empat orang asing pekerja proyek tambang yang masih menunggui mayat temannya.
Bila orang kampung masih kebingungan dan bertanya-tanya benarkah di hutan sana ada Anak Sima, tidak halnya dengan diriku. Aku tahu persis apa yang telah terjadi. Dan cerita si kakek tentang Anak Sima yang merenggut jantung orang asing, sepenuhnya adalah benar.
Tentu saja aku tidak akan memberitahu orang kampung tentang kebenaran peristiwa itu. Kecuali di antara mereka ada yang tahu kisah seperti yang dikisahkan nenek kepadaku sebelum ia mati; kisah gadis Meratus dengan kekasihnya, orang asing penebang kayu, yang kemudian menghilang setelah ia hamil. Menanggung malu, menanggung buah cinta terlarang, sampai akhirnya melahirkan bayi laki-laki. Tetapi ia, yang terus-menerus dirundung kesedihan ditinggal kekasih lelaki asing, tak kuat bertahan karena kehabisan darah dan tenaga saat melahirkan.
”Itulah mengapa kita hanya hidup berdua. Ayahmu sama dengan kakekmu, adalah lelaki pengecut yang pergi dan menghilang begitu saja,” ucap Nenek. ”Tetapi, sebentar lagi kamu tinggal sendiri. Jadilah anak yang pemberani. Dan jangan pernah percaya dengan orang asing.”
Sejak itu, aku lebih rajin mengasah parang, kapak, tombak, dan anak sumpit beracun. Musim berburu telah dimulai. Tetapi kali ini untuk memberi makan jiwaku yang lapar dan ganas.[]



Sumber:
Kompas, 16 Desember 2018
http://kliping-cerpen-kompas.blogspot.com/2018/12/musim-berburu-telah-dimulai.html

0 komentar: