Cerpen Miranda Seftiana: Sekuntum Melati Ibu
Aku mengenal ibu sebagai perempuan yang ceria. Dia sering tertawa, meski aku tidak benar-benar mampu mengeja apakah karena gemar saja atau dia memang sedang bahagia. Satu hal yang pasti, banyak lelucon yang sedatar papan sekali pun mampu memantik gelaknya. Persis seperti bocah usia di bawah lima tahun yang menganggap anjing tercebur ke kubangan lumpur bukan sebagai masalah, melainkan ajang bermain air dan sabun. Pekerjaan menyebalkan bagi sebagian orang dewasa karena mesti mengulang aktivitas yang sama padahal bisa dilakukan sekali saja dalam seminggu.
Tapi aku suka ibu. Suka melihat sudut bibirnya yang tertarik nyaris mencapai tulang pipi. Suka melihat retinanya yang coklat mengembun seperti daun ketika pagi hari. Segalanya lebih menarik. Tentu. Daripada kau melihat sepasang bahu yang berguncang atau lima jari yang membekap mulut dengan rapat. Aku tidak suka itu dan mungkin ibu juga begitu.
“Kana, ambilkan arang dan sekam!” suara Ibu merambati udara. Beradu deru mesin alkon yang melewati sungai Pangambangan di belakang rumah kami.
Aku yang sedang memandangi buah-buah rambutan bergegas menuju teras. Di sudut tempat yang menjadi transisi antara pekarangan dan pintu rumah tergeletak sekarung kulit padi yang telah menghitam, juga beberapa bungkus arang yang biasa digunakan untuk membakar ayam atau ikan. Ibu meletakkan di sana, di tempat teduh oleh bayangan dahan belimbing wuluh. Sengaja katanya, agar tidak mengganggu estetika. Karena menurut kepercayaan ibu, sesuatu yang kotor mesti dirahasiakan sebagaimana yang dilakukan Tuhan terhadap kesalahan manusia.
Aku tidak berani membantah. Sepanjang hidup pun tak pernah menganggap ibu salah, terlebih jika sudah melibatkan Tuhan. Bapak juga begitu. Dia tidak suka mendebat ibu. Paling tidak, demikianlah yang kutahu sepanjang kebersamaan mereka sebagai orangtua. Meski dalam kesehariannya, lelaki dengan kumis melintang di antara hidung dan katup teratas bibir itu berbeda minat dengan ibu.
Bapak lebih suka tanaman yang bisa dimakan, terlepas dalam kondisi mentah atau setelah diolah. Oleh karena itu, di halaman ini kalian bisa melihat perbedaan keduanya yang kentara. Jika ibu memilih menanam sepasang bunga kertas, putih dan merah sebagai gerbang, maka bapak memilih menanam mangga di halaman depan. Bila ibu lebih suka menumbuhkan bunga sri gading untuk mengawetkan pupur basah—bedak berbahan tepung beras dan air—yang biasa dipakainya tatkala menjajakan kembang barenteng dengan jukung hawaian, maka bapak condong menanam sepohon belimbing wuluh di seberangnya.
Bapak suka menyantap ikan goreng, pepes, dan bakar dengan belimbing wuluh yang dicampur irisan cabai serta bawang merah. Lantaran demikian, hampir tak sekalipun buah bercitarasa asam sepat itu sempat menghujam tanah. Bapak akan lebih dulu memetiknya tak lama setelah bakal bunga menjelma buah. Ia akan menyusunnya ke dalam toples kaca, menyiram dengan larutan garam, lalu menyimpan di rak gantung sekitar dapur. Sepanjang tahun kalian bisa melihat deretan toples kaca berisi belimbing wuluh lunak dan berwarna kecoklatan. Bapak suka itu, ia tidak pernah bosan, tak mau digantikan. Kami menyebutnya jaruk balimbing tunjuk.
Selain belimbing wuluh, bapak juga menaruh perhatian istimewa pada pohon rambutannya. Sekali dalam seminggu ia akan memupuk akar rambutan yang menyembul ke permukaan dengan gula. Setiap pagi, sesuai menyesap teh panas buatan ibu, ia akan menyiramkan sisanya ke pokok rambutan itu. Kupikir tidak bisa benar-benar disebut sisa, sebab bapak seperti sengaja menyisihkan tehnya lebih banyak untuk akar rambutan. Pada masa berbunga, bapak akan lebih sering melakukannya.
Ibu tidak pernah keberatan gula sakarnya berkurang setengah kilo setiap minggu. Seperti bapak yang juga tidak pernah marah simpanan arang untuk membakar dan memepes ikan berkurang demi anggrek milik ibu. Sudah kukatakan, mereka nyaris alpa dari berbantahan.
***
Bapak tidak suka bunga. Aku tahu. Ibu tentu lebih tahu. Tapi bapak adalah lelaki manis seumpama rambutan jenis batukan yang tumbuh di pekarangan kami. Konon menurut cerita bapak, rambutan ini tidak bisa dipisahkan daging buah dan bijinya. Kalian hanya bisa menikmati dengan cara mengemut hingga rasa manisnya menyisakan hambar. Meski seperti tebu, rambutan ini tidak boleh terlalu banyak disantap karena bisa menyebabkan batuk. Bisa jadi inilah muasal nama batukan yang disematkan pada jenisnya.
Manisnya bapak bukan dengan kata cinta. Seumur kebersamaan dengan mereka, aku tidak pernah mendapati keduanya bertukar panggilan sayang, jelingan menggoda pun tidak. Ya, paling tidak, itulah yang kudapati dari teras hingga dapur. Selebihnya barangkali menjadi rahasia yang disimpan berdua oleh bapak dan ibu.
“Kenapa Ibu memanggil Bapak dengan sebutan Bapaknya Kana, bukan kanda atau sejenisnya?” usutku suatu waktu.
Ibu sedang merangkai kuntum melati dan kelopak mawar dengan sebuah jarum dan benang dari serat pelepah pisang ketika aku bertanya begitu. Maka dilepaskan segala kegiatan ke atas sebuah talam—nampan berbahan kuningan. Ibu menatapku lama, tersenyum sesamar benang serat pelepah pisang.
“Itu cara menyapa pasangan yang dicontohkan Penghulu Zaman,” ucap Ibu lalu kembali menusuk kuntum melati dengan jarum yang tajam. Aku meringis ngilu menyaksikannya, terlebih saat giliran kelopak mawar yang lubangnya kentara.
“Bu, ini kembang barenteng ya?”
Dia menggeleng kecil. “Ini kembang nagasari.”
“Bukankah kembang nagasari semestinya menggunakan melati yang masih kuncup?”
Tunjukku pada kuntum-kuntum semerbak yang telah mekar sempurna. “Kalau begini lebih mirip kembang barenteng untuk ziarah.”
Ibu tidak menyahut, ia hanya memandangiku dengan nanar. Aku balik menatap mata ibu, menelusuri kebohongan dari retina secoklat air rawa. Tidak ada dusta di sana. Hanya rahasia yang terlampau dalam untuk diselam.
***
Senampan ketan berhias nanas merah yang dibentuk bagai kepala merak telah tersaji di depan pelaminan yang berhias arguci. Di sekeliling ketan itu terselip daun pisang yang dilipat kerucut. Lalu di atas ketan putih yang dimasak dengan santan berderet-deret irisan telur dadar tipis membentuk gelombang. Kami menyebutnya lakatan hadap-hadap. Sajian wajib di hari pernikahan perempuan Banjar.
Pada kiri dan kanan pelaminan berdiri kambang sarai—hiasan kertas berwarna-warni yang dililit ke lidi—yang ditancap pada vas kuningan. Kuning, merah, dan hijau menjadi warna dominan. Kuning bermakna sakral, merah terselip makna kejujuran, sedangkan hijau berarti sejuk. Itu kata pahiasan—perias pengantin tradisional Banjar—yang kini sedang berusaha menyematkan kembang nagasari pada galung. Bunga ini istimewa, dikumpulkan oleh bapak dan dirangkai oleh ibu.
“Beruntungnya suamimu, jujuran sapambari tapi mendapat melati yang masih kuncup,” komentar pahiasan sembari mengangkat surai nagasari.
“Memang ada apa dengan melati yang masih kuncup?”
Perempuan jelmaan yang menuju senja itu menepuk kedua pundakku. Dia menunduk, kami bertatapan sesaat di pantulan cermin meja rias yang dihadiahkan calon suamiku sebagai tanda kesanggupannya memenuhi syarat antaran tikar kalambu; mengisi kamar mempelai wanita dari teras hingga langit-langitnya.
“Melati yang kuncup pertanda kau masih dara,” bisiknya membuat rambut halus di sekujur tengkukku meremang.
Mataku memicing tajam ke sudut dinding kamar. Di sana, foto pernikahan bapak dan ibu terpajang, belum dipindahkan ketika pahiasan meminta kamar mereka menjadi kamar pengantin. Sebab ukuran kamarku yang sempit untuk tukang rias dan perlengkapannya masuk. Mendadak anganku berterbangan.
Melati pada surai nagasari ibu yang telah mekar, akta kelahiranku yang hanya memuat satu nama orangtua, ibu yang lebih suka menyatukan kelopak bunga yang telah tercerabut dari kuntum, bapak yang sering mengumpulkan bunga ranggas tapi sejujurnya lebih suka menumbuhkan taman yang bisa ia makan. Aku sadar sekarang, mereka bukan selalu sepaham, melainkan hampir tak pernah bercakap kecuali perihal anak. Adakah seluruhnya kembang barenteng ibu; rangkaian bunga yang dibawa orang berduka pada pemakaman orang tercinta?
Sumber:
Kompas, 09 Juli 2017
https://lakonhidup.com/2017/07/09/sekuntum-melati-ibu/
0 komentar: