Cerpen Hajriansyah: Menjemput Seno

20.27 Zian 0 Comments

Hari ini aku bangun lebih dini. Kupandang keluar lewat kisi-kisi di atas jendela, langit masih gelap. Kupasang telinga belum kedengaran suara orang mengaji, atau tarhim yang menandai akan subuh. Aku bangun segera karena pagi ini ada janji menemani Bu Nunung menjemput Seno.
Kira-kira sebulan sebelum ini,

Aku menghubungi Ka Intan, minta hubungkan ke Seno ingin mengundang dia—jadi narasumber—ke Banjar. Tepatnya ke Banjarbaru. Lebih tepatnya lagi, Kantor Pustarda Banjarbaru yang mau ngundang dia sebagai pembicara literasi. Lebih spesifik lagi, Bu Nunung yang mengundang.
Aku jadi ingat Seno karena beberapa bulan yang lalu Ka Intan mengajak aku ke Palangkaraya. Katanya dia mengundang Seno di bulan Mei itu bicara tentang sastra.
Seno Gumira Ajidarma, nama itu memang sangat populer di kalangan pembaca karya sastra, terutama cerpen. Dia semacam legenda hidup. Sangat populer karya-karyanya, tapi sangat jarang tampil di kalangan sastrawan sendiri. Beberapa pengagumnya, katakanlah seperti Sandi, bahkan hampir tidak akrab dengan figurnya secara langsung. Kecuali sekali, kata Sandi, ia pernah melihat Seno bicara waktu di Jakarta. Itu pun sebatas memandang dari jauh. Padahal karyanya siapa yang tak pernah baca, sering dijadikan model awal pengalaman menulis cerpen. Padahal di Kalimantan Selatan, sastrawan Jakarta… eh mainstream, mana sih, yang popular, yang belum pernah diundang bicara. Dan terutama, dengan rutinnya Aruh Sastra Kalimantan Selatan selama 12 tahun terakhir.
Aku sendiri sebenarnya bukan orang yang senang memuja-puji sesiapa yang berselancar di arus besar. Hanya kupikir, sparing-partner itu perlu. Dan kalau bisa harus yang lebih gagah dalam karya dibanding kebiasaan kita. Kalau sekadar orang yang mau plesiran di kampung orang mending tak usah. Kalau sekadar mendengar ujaran-ujaran klise, apalagi diimbuhi moralitas normatif, mending tak usah. Mengundang orang yang sangat produktif semacam Seno itu “sesuatu”, kalau mau belajar lebih lagi. Dan karena itu-lah aku tawarkan namanya ke Bu Nunung, ketika ia minta saran siapa yang ingin diundang oleh sastrawan ke (Pustarda) Banjarbaru. Nama Seno menarik menurutku. Lebih-lebih sosoknya yang soliter dan asketis, menurut Ka Salim, makin membuatnya tambah menarik.
Dari Ka Intan aku pun terhubung ke Seno. Kami ber-sms-an dan kemudian chatting lewat WhatsApp. Di sisi yang lain komunikasi dengan Bu Nunung juga makin intensif, seperti dikejar-kejar deadline yang berlari seperti angin limbubu. Cepat sekali, tahu-tahu sudah oke semua.
Awal hari yang cerah,
Pagi-pagi sekali aku mandi di luar kebiasaanku. Pakai shampoo yang botolnya berwarna hijau muda. Ketika anak-anak berangkat sekolah diantar ibu mereka, berbarengan itu aku memacu pajero tuaku ke arah Banjarbaru. Melewati terminal belok kiri, melintasi pintu gerbang kota yang biasa kupandangi saat senja dari teras rumahku. Untunglah boncenganku telah teratasi.
Sebelumnya Supri menghubungi ingin bareng ke acara hari itu. Aku sungkan menolak. Kukatakan akan berangkat pagi sekali, karena harus turut menjemput ke bandara, kedatangan pertama dari Jakarta. Dan, Bu Nunung hanya mengajak aku—meskipun nantinya aku tahu ia juga mengajak Sandi. Beruntung Sugi menghubungi beberapa waktu sesudahnya bahwa ia juga akan datang, bersama rombongan Gusduriannya, dan tentu saja bersama Supri. Bersama si kembar juga tentunya. Sugi hanya menanyakan arah pasnya Kantor Pustarda Banjarbaru yang belum pernah dikunjunginya. Maka lapanglah napasku. Selapang laju pajero tuaku pagi itu.
Sampai mendekati Gambut kuambil hape. Maklum menjelang hari-H ini komunikasi dengan Bu Nunung tidak seintensif sebelumnya, aku hanya ingin memastikan di mana kami akan bertemu sebelum ke bandara. Sebelah tangan memegang stir, sementara tangan yang lain menggenggam hape menunggu jawaban lewat inbox. Melewati Gambut belum lagi ada balasan. Aku khawatir ada perubahan jadwal dan tempat, meski sebelumnya Bu Nunung sudah memastikan kami akan bertemu di kantornya baru meluncur menuju bandara. Masalahnya, pesan terakhirnya, Seno akan datang pukul 08.35 wita. Sementara jam tanganku sudah menunjukkan pukul delapan kurang sedikit, apa sempat ke kantor pustarda lalu meluncur balik ke arah bandara?
Kutelpon, Bu Nunung tak juga mengangkat hapenya.
Aku makin khawatir dengan waktu.
Melewati bundaran pesawat tua, lalu landasan pacu yang dipagar di sisi kiri, tak ada juga balasan di kotak pesan. Tepat di depan arah belok ke rumah Sandi, aku menelpon lagi. Tak berselang lama ada suara di seberang sana,
“Ya, ya…”
Karena nadanya seperti tak mengenal suaraku aku lantas bilang, “Ini Hajri, Bu!”
“Iya, ya…”
“Bagaimana, Bu, saya sudah lewat bandara!”
“Ya, iya…”
“Jadi tak saya menemani Ibu menjemput ke bandara?”
“Iya, lah! Aku konsekuen aja. Kan, aku sudah bilang menjemput sama Hajri!”
“Siapa tahu ndak jadi…”
“’Kan kubilang sama Hajri!”
“’Trus, ulun ke mana ini?”
“Ke kantor ajalah dulu. Aku lagi dandan ini, nanti Hajri sampai kantor aku pas selesai dandan juga ini.”
“Oke, ulun ke kantor pian ini, lah…”
“Iya!”
“Oya, tadinya aku ngajak Sandi, tapi katanya tak bisa ikut. Isterinya….”
Ya, tadi aku sempat menghubungi Sandi juga untuk memastikan kami akan bertemu di acara. Katanya ia tidak bisa ikut menjemput, meski sebelumnya aku sempat heran, siapa juga yang mengajak dia—baru kemudian aku paham setelah telpon Bu Nunung. Penyakit asma Atikah lagi kambuh, dan agak berat. Makanya hari sebelumnya Sandi juga tak bisa ikut ke Pelaihari mengurus ASKS, karena harus menjaga isterinya. Tapi ia memastikan akan datang ke acara idolanya.
Kantor Pustarda masih sepi. Setelah parkir aku agak bingung mau menuju ke mana, tak ada tanda Bu Nunung sudah di kantornya. Kulihat beberapa karyawan perpustakaan sedang berbincang di sisi gedung, di parkiran sepeda motor. Agak sungkan, aku langsung menuju kantor utama, tapi kulihat pintu kaca tertutup dan plang putih kecil bertulisan “Tutup” masih belum dibalik, bergantung di sisi dalam. Aku menuju orang-orang yang berkumpul dan menanyakan Kepala kantor. Bu Nunung belum datang, kata salah seorang di antara mereka.
Belum lama berselang aku menyalakan rokok, Toyota Rush putih mengkilap dengan plat merah DA 751 RA masuk melintas pagar. Aku langsung menyambangi mobil baru yang pernah kulihat penampakannya di dinding fesbuk Bu Nunung itu. Ketika kaca kiri depan terbuka kulihat Bu Nunung tersenyum masih memegang gincu. Di sisi kanannya sopir baru yang belum pernah kulihat sebelumnya, Ardi namanya—kalau tak salah ucap.
“Ayo, kita langsung ke bandara saja. Sudah hampir waktunya.”
“Ya, Bu.” Aku masuk, mobil langsung melaju.
“Hapeku baru diganti, Hajri. Yang sebelumnya, ini…” katanya sambil menunjukkan android bermerk Samsung dengan bungkus silikon, “rusak. Baterainya drop, padahal sudah diganti. Hape baru ini belum menyimpan nama-nama yang terdaftar di hape sebelumnya. Makanya tadi aku sempat diam, begitu bicara baru aku kenal suaramu. Gara-gara ini juga aku sempat enggak enak sama Seno, waktu dia japri di WA minta carikan alamat temannya, dan tidak kujawab. Aku enggak tahu siapa yang mengubungi itu, namanya saja tak ada. Setelah sempat kupindah sebentar kartunya ke hape lama, eh baru aku sadar itu Seno. Ya, aku minta maaf dan segera menyuruh Ardi menyarikan alamat temannya Seno di Taman Gembira Timur nomor 13 itu…. Eh, Sandi tak bisa ikut, isterinya kena asma.”
“Iya.”
“Hari ini apel bersama di awal bulan, di kantor walikota mestinya. Setelah itu biasanya jajaran kepala SKPD dan kepala bagian rapat, tapi kutinggalkan. Penting menjemput Seno. Ini kan juga tugas kantor. Tugas daerah!”
“Iya, hehehe…”
Blablablabla… “Ardi, cepat sedikit, ini kayanya terlambat kita!”
“Aku tadi dandan. Ini juga bingung mau pakai tutup kepala warna apa, makanya aku bawa beberapa… eh tahunya, di laci dasbor kata Ardi sudah ada yang warna hitam, yang kucari sebelumnya.”
“Hehehe”
“Kita ini langsung ke anjungan, VVIP Room. Soalnya aku takut terlambat kalau lewat jalur jemputan biasa, makanya aku pesan rumah banjar itu.”
“Ooo!”
Dalam percakapan beberapa waktu sebelumnya Bu Nunung memang menyampaikan keinginannya menjemput Seno secara khusus. Langsung ke depan pesawat, katanya. Kubilang, tak usahlah. Seno ini orangnya biasa aja, dan tidak biasa diperlakukan secara khusus begitu. Jemputan biasa saja. Bu Nunung waktu iya saja, malah dia senang katanya, tidak perlu anggaran tambahan artinya. Tapi pas hari-nya kami memang harus lewat jalur khusus, kata Bu Nunung. Karena, dia perlu cepat. Maklum pagi sekali, agak ribet dengan persiapan rumah dulu sebelum berangkat kerja. Dan ia takut kami terlambat, yang artinya tak enak bagi Seno—katanya. Aku sih oke saja, pada akhirnya.
Menaiki tapak-tapak tangga ke anjungan VVIP Room Bu Nunung langsung menuju meja penerima tamu disambut perempuan berjilbab yang sempat bingung dicecar Bu Nunung. “Aku sudah menghubungi… siapa itu namanya, yang biasanya nyopir ke pesawat?” “Beni, Bu, staf penjemputan.” “Ya, ya, dia.” Bu Nunung langsung mengambil hapenya, menyerahkannya kepada Ardi, menyuruhnya telpon Beni menyampaikan kami sudah di Rumah Banjar. Aku sendiri langsung menuju barisan sofa dengan anyaman akar rotan. Duduk sendiri sebentar mengambil napas.
Ternyata kami masih punya waktu minum kopi yang disediakan perempuan muda penerima tamu. Nanti katanya Beni akan datang saat pesawat sudah landing. Saat ini ia masih apel di barisan AURI sana.
Beni datang menyapa kami dengan gayanya yang kaku. Ia hanya bilang pesawat landing, lalu keluar lagi mengambil mobil jemputan memutari Rumah Banjar, menunggu kami di depan teras yang menghadap parkiran pesawat kecil dan helikopter. Kami naik minibus eksklusif yang tempat duduknya ditata seperti di dalam limousine.
Tepat di depan pesawat kami lihat orang-orang sudah turun dan menuju bus jemputan umum ke ruang kedatangan. Beberapa sudah di dalam bus. Bu Nunung menunggu di bawah pesawat, aku mencoba mengenali dari luar orang-orang yang sudah berjejalan di dalam bus. Tak ada di sana, sepertinya. Aku berbalik ke arah pesawat, dan sekira beberapa langkah sesudahnya kulihat seorang lelaki tinggi berbaju hitam dengan rambut peraknya yang tergerai sebahu di belakang Bu Nunung. Aku memberi isyarat, dan segera menghampiri.
“Mas Seno, saya Hajri,”
“O, ya” katanya pendek dengan senyum yang sangat tipis. Bu Nunung juga segera menyalaminya.
Sempat-sempatnya Bu Nunung memanggil Ardi dan menyuruhnya memoto kami bertiga.
“Wah, istimewa sekali ya,” kata Seno. “Kaya pejabat aja.”
“Iya mas, Bu Nunung takut kami terlambat tadi.”
“Iya Pak Seno, soalnya pagi ini sibuk sekali. Saya takut kami terlambat kalau lewat jalur umum.”
“Baru kali ini saya seperti ini, hehehe.”
“Iya, saya juga baru sekali ini menjemput langsung ke pesawat. Kalau bukan karena Bu Nunung…”
Memasuki rumah banjar kami duduk lagi di sofa. Bu Nunung minta secangkir kopi buat Seno. “Kita santai di sini dulu sebentar.” Padahal itu hanya strategi mengulur waktu, karena Bu Nunung sempat telpon Diah—stafnya, dan katanya peserta belum banyak yang datang.
Waktu baru menunjukkan sekitar pukul 09.00 wita. Kami ngopi dan merokok di ruang eksekutif. Bu Nunung minta Ardi mengeluarkan sejumlah buku karya Seno. “Saya minta tandatangan duluan ya, Pak Seno. Ini titipan anak saya.” “Iya, hehehe.”
Kukira Seno orang yang sangat terbuka. Meski tampaknya lebih banyak diam dan agak dingin dengan sedikit senyum, ia tidak perlu berpikir untuk melayani orang-orang. Begitu juga nanti kulihat di Aula Pustarda, saat selesai sarasehan dan orang-orang mengerumbunginya, ia dengan enteng melayani siapa saja yang mau berfoto dan minta tandatangan. Tidak banyak bicara dan langsung bersikap melayani bagaimana maunya orang-orang.
Bu Nunung kembali menelpon Diah, memastikan situasi di aula saat itu. Baru setengah ruangan yang datang, katanya berbisik kepadaku. “Kita santai aja dulu.” Aku mengingatkan lebih baik kami meluncur ke Taman Gembira Timur.
Waktu di mobil menuju bandara sebelumnya Bu Nunung menceritakan, Seno dipesani temannya untuk memotokan rumah masa kecil temannya. Untuk itu ia minta tolong Bu Nunung dua kali mencarikan rumah itu. Kupikir, loyal juga orang ini untuk temannya, mau repot-repot untuk yang sekadar itu. Setelah menghabiskan secangkir kopi, Ardi memacu mobil yang kami tumpangi.
Malam sebelumnya sekira pukul sebelas Ardi mutar-mutar di sekitar kolam renang Idaman. Mencarikan rumah pesanan Seno. Ia bolak-balik di sekitar kolam renang, dari sebelah timur ke selatan lalu ke barat, memutar lagi, mengkhidmati setiap nomor rumah. Kadang berhenti mendekati pagar untuk sekadar memastikan ada nomornya, memoto lalu balik lagi. Sampai-sampai, katanya, ada orang yang memperhatikannya dengan sangat serius. “Mungkin saya dikira maling, Bu. Kan sudah hampir tengah malam, apalagi kompleknya sepi. Wah, saya jadi tak enak sendiri, lalu cepat-cepat kabur dari tempat itu. Hehehe.”
“Sekarang nama jalannya sudah berubah, Pak Seno, sudah bukan lagi Taman Gembira. Tapi kata orang-orang, memang ini tempatnya.” Bu Nunung menjelaskan saat kami turun dari mobil di samping plang Jalan Salak itu.
Pagi itu asyik sekali. Kami seperti anak-anak yang tengah bermain-main. Foto sana, foto sini. Seno memoto, Ardi memoto. Seno memoto rumah, Ardi memoto Seno dan memoto kami. Hampir setiap rumah yang kami kira itu nomor 13, difoto Seno, juga difoto Ardi. Sisi timur, sisi selatan, lalu sisi barat, semua yang di ujung perempatan difoto. Bu Nunung tunjuk sana, tunjuk sini, arahkan ke sana, arahkan ke sini, memanggil Ardi, menyuruhnya ke sana-sini. Ardi lari ke sana, lari ke sini, foto Seno, foto kami, periksa nomor rumah sana-sini. Tak ada nomor 13.
Yang ada hanya nomor 10, 12, dan 14. Semuanya yang di posisi hook jalan, karena memang begitu arahan dari teman Seno: rumah paling pojok nomor 13. Dan, tak ada! Sementara mereka saling berkejaran aku berjalan santai mengikuti di belakang sambil merokok. Kadang-kadang tertinggal jauh, kadang sok tahu ikut menunjuk-nunjuk rumah. “Yang ini sepertinya nomor 13,” kataku. “Soalnya yang di sebelahnya nomor 12.” Setelah didekati ternyata nomor 14. Bu Nunung menyapa yang ada di rumah, menanyakan nomor yang dicari. Orang yang di rumah juga tak tahu. Mungkin itu, mungkin yang di sana, katanya. Tapi itu jalan Taman Gembira Barat. Seno berjingkat-jingkat di sisi plang nama Taman Gembira di sisi barat daya kolam renang. Ardi memotonya, lalu memoto kami yang seperti orang tengah survey proyek jalan.
“Sudahlah, Bu. Ini cukup.” Pungkas Seno. Aku pun lega. Waktu di pergelangan tanganku sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh. Sudah lewat dari jam yang tertera di banner undangan kegiatan. Bu Nunung masih ingin mencari sebentar lagi, aku bilang padanya agak berbisik, “Bu, ini sudah lewat jamnya.” “Oya, oke deh!”
Kami memasuki ruangan yang telah penuh orang-orang. Acara dimulai tanpa banyak basa-basi. Bu Nunung tadinya bilang tak usah pakai sambutan, tapi Sainul yang sudah siap menjadi moderator meyakinkannya, “antarkanlah Bu, biar sepatah-dua kata.”
***
Langit yang terang menumpahkan hujan yang cukup deras.
Aku, Sandi, dan Bu Nunung duduk di sofa ruang tengah. Masing-masing menghadapi secangkir kopi. Di tangan, sebatang rokok mengepulkan asap. Tiba-tiba Seno membuka pintu ruangan yang ber-ac dari dalam. “Kok, saya ditinggalkan sendiri?” katanya sambil tersenyum. “Kami kira Mas Seno ingin istirahat sebentar memejamkan mata.” “Hehehe, enggak-lah. Nanti sekalian tidurnya di pesawat saja.” Kami berbincang lagi, Sandi bertanya mewawancarai, aku bertanya tentang ke-habib-an Seno. Ia tertawa.
“Iya, makam ayah saya dibangun lebih besar sekarang, dan diziarahi. Habiiib…,” katanya.
Tak lama Beni datang menjemput. Kami mengantarkan Seno sampai menaiki minibus.
“Jumpa lagi, Mas. Nanti cerita ya, tentang Kuntao yang menginspirasi cerita silat Nagabumi!”
“Hehehe, iya….”


Sumber:
Media Kalimantan, Minggu, 11 September 2016
http://www.readzonekami.com/2016/09/cerpen-hajriansyah-menjemput-seno.html

0 komentar: