Cerpen Sandi Firly: Kisah Ganjil Seorang Penggali Kubur
Karena kisah makam keramat seorang penggali kubur yang kudapatkan sore itu begitu memikat, malam harinya aku langsung menuliskannya menjadi sebuah cerpen dengan sangat lancar. Namun, ketika akan memasuki paragraph-paragraf akhir, aku baru sadar kalau cerpen ini atau tepatnya kisah itu – yang segera kamu baca, memiliki cacat logika.
Aku tidak akan memberitahumu di mana letak cacatnya itu, sampai nanti – setelah kamu menyelesaikan membaca cerpennya, aku akan ceritakan pertemuanku kembali dengan Pak Darman, orang tua pengurus makam yang mengisahkan kepadaku tentang Syam, penggali kubur yang makamnya dikeramatkan di kampung kecil yang namanya sebaiknya tidak perlu aku sebutkan.
Begini cerpen tentang kisah itu.
***
Siapakah yang mati hingga liang kuburnya harus digali malam-malam begini?
Kesadaran itu terletik ketika ia sudah berada di pekuburan depan mushala kampungnya. Baru kali ini ia diminta menggali kubur malam-malam. Biasanya, kalau ada yang meninggal pada malam hari, penguburan tetap dilakukan esoknya. Tapi ini berbeda. Dua sosok asing yang menemuinya meminta agar liang kubur disiapkan tengah malam ini juga, dan dengan pesan khusus; sebuah liang kubur yang nyaman untuk membaringkan tubuh.
Tangan kanannya menggenggam cangkul, dan tangan kiri menenteng ceret berisi air minum dengan sebuah ember ukuran sedang tergantung di bahunya. Walau malam cukup cerah dengan seiris bulan terang, dan bintang-bintang bagai butiran-butiran gula yang berserakan di langit bersih, Syam tetap memerlukan lampu mushala untuk meneranginya saat bekerja.
Ia memang pernah menggali kubur waktu malam. Waktu itu ada mayat yang datang dari kota jauh, dan harus segera dikubur ketika mayat tiba menjelang Isya. Ia mengira, kali ini pun mayat yang hendak dikuburkan datang dari tempat jauh.
Sambil mempersiapkan pekerjaan, agak disesalinya kenapa tidak semapt bertanya kepada dua sosok yang datang membangunkan dan memintanya menggali kubur beberapa waktu tadi.
”Syam, gali liang kubur sekarang, malam ini juga,“ ucap sosok, yang juga baru diingatnya, berwajah sangat bersih dan entah kenapa seperti bercahaya.
Sebelumnya, Syam terjaga lantaran matanya tiba-tiba seakan tertusuk bilah-bilah cahaya tajam—bersamaan ketika kedua sosok asing itu mengucapkan salam dan telah berdiri di sisi ranjang kayu tuanya. Semuanya tampak putih. Seakan kamarnya telah dibanjiri cahaya.
”Cepat bangun! Waktunya tidak lama lagi,“ seru sosok lainnya, berwajah agak masam, namun juga bercahaya. ”Dan ingat, buatlah liang kubur yang nyaman untuk membaringkan tubuh!“
Syam merasa aneh. Baru kali ini ada permintaan menggali liang kubur dengan syarat khusus seperti itu. Liang kubur hanyalah liang kubur; tak pernah ia memikirkan bahwa ada liang kubur yang benar-benar nyaman bagi nyaman. Lagi pula, bukankah mayat tak mungkin bisa merasakan liang kuburnya nyaman atau tidak?
Kedua sosok itu berbaju putih polos longgar yang seakan berkibar-kibar. Syam ingat, tubuh keduanya tampak sangat tinggi, hingga kedua wajah itu menjulang dan sulit dikenali.
Ketika ia duduk mengumpulkan seluruh kesadarannya, kedua sosok itu telah mengucapkan salam, lalu berpaling keluar dengan meninggakan kibasan angin yang sempat dirasakan Syam menerpa wajahnya. Cahaya terang menyilaukan pun seolah ikut beringsut susut mengiring kedua sosok itu. ruangan kamar kembali seperti malam-malam biasanya; lembab dan redup.
Syam tercenung. Ia masih merasa antara mimpi dan terjaga. Sayangnya, bukan mimpi. Dan Syam masih memegang kata-kata bapaknya, yang dulu semasa hidup juga seorang penggali kubur, agar jangan menolak setiap permintaan untuk membuat liang kubur.
Juga di saat badan tidak terlalu sehat, seperti dua hari ini dirasakan Syam. Ia masih ingat, dulu bapaknya tetap bekerja walau sedang batuk-batuk. ”Selama aku masih bisa berdiri, dan mampu mengayunkan cangkul, aku sehat-sehat saja. Jangan pernah menolak permintaan menggali kubur. Di kampung ini, orang hanya tahu kalau Bapaklah tukang gali liang kubur.“
Kini, sudah lima tahun lebih bapaknya wafat, dan hanya pekerjaan penggali kubur yang diwariskan kepadanya. Tentu juga sepetak kebun di halaman rumah kayu sederhana mereka, untuk keperluan sehari-hari dan dijual. Setiap pagi, sepulang salat Subuh, Syam merawat kebun yang ditanami kacang panjang, tomat, daun seledri, cabai, kacang panjang, singkong, dan sedikit jagung. Menjelang tengah hari, ia beristirahat, mandi, lantas menikmati rokok – yang ia linting sendiri, di beranda rumah ditemani secangkir kopi dan singkong rebus. Kemudian ia bersiap pergi ke mushala bila telah terdengar azan.
Syam sudah tak ingat persis kapan terakhir ia menatap wajah ibunya. Ia masih kanak-kanak ketika menyaksikan bapaknya menggali liang kubur untuk ibunya. Itulah kali pertama ia pergi ke pekuburan. Sejak itu pula ia selalu ikut bila bapaknya bekerja membuat lubang kubur. Sampai ketika tenaganya cukup kuat mengayunkan cangkul, ia turut membantu bapaknya.
Sekarang ia benar-benar telah menjadi seperti bapaknya, seorang penggali kubur. Hingga usianya mencapai empat puluh satu tahun sekarang ini. Dan masih hidup seorang diri.
Syam bukannya tak pernah berpikir untuk memiliki seorang istri. Hanya saja, setiap pikiran itu hinggap, ia teringat ketika bapaknya menggali kubur untuk ibunya berpuluh tahun lalu. Dan ia tak ingin mengulang hal itu; mengubur mayat istrinya sendiri. Tak pernah ia membayangkan, bahwa bisa saja ia yang mati lebih dulu.
Sudah satu meter tanah digalinya. Syam istirahat, meneguk air yang mengucur langsung dari leher ceret. Sesekali ia terbatuk, namun tetap memaksakan diri menyalakan rokok.
Malam masih hening, diperkirakannya sekitar pukul tiga dini hari. Langit tetap terang dan bersih.
Di tengah isapan rokoknya, Syam sayup-sayup mencium bau harum yang diyakininya menguar dari liang galiannya. Ia tersenyum. Hal ini bukanlah kali pertama dialaminya. Ini pasti orang baik yang meninggal, batinnya. Dulu, ia juga ingat, bau harum seperti ini tercium ketika menguburkan Pak Majid, penjaga mushala yang meninggal dunia di saat sedang salat.
Soal bebauan yang kadang tercium dari liang galian kubur adalah rahasia yang disimpannya sendiri. Ia merasa Tuhan sengaja memberinya keistimewaan itu karena telah membatikan diri sebagai seorang penggali kubur selama puluhan tahun.
Bukan hanya bebauan harum, ia juga pernah mencium bau busuk dari liang galian kuburnya. Dan akhirnya ia mengerti, ternyata mayat yang hendak dikubur adalah seorang yang selama ini di kampungnya dikenal sebagai preman yang suka mengganggu istri orang dan berbuat onar. Bau busuk juga pernah tercium olehnya ketika yang hendak dikubur seseorang yang mati di kamar pelacur di sebuah lokalisasi.
Mendapati kematian seperti itu, Darman, anak muda alim yang selalu menjadi muazin di mushala kampung mereka, pernah berucap kepadanya, ”Banyak orang yang mati di saat mengerjakan kebiasaannya. Semoga kita tidak dimatikan dalam kebiasaan yang buruk-buruk.“
”Seandainya kita bisa memilih cara kematian kita sendiri...,” sahutnya sambil tercenung di tepi liang galian kubur waktu itu.
”Kurasa, tanpa disadari, setiap waktu kita sebenarnya telah membuat cara bagaimana kematian itu akan datang menghampiri.“
Syam tak sepenuhnya memahami kata-kata Darman. Tidak juga mengiyakan atau membantah. Yang ia tahu, setiap yang mati harus dikuburkan, dan ia adalah orang yang bertugas untuk itu di kampungnya.
Dan malam ini ia mencium bau harum dari liang kubur yang sedang dikerjakannya. Pasti orang yang akan dikubur ini mati di saat melakukan kebiasaan baik, bisik hati Syam.
Ketika liang kubur selesai dikerjakan, Syam baru teringat permintaan dua sosok yang datang ke rumahnya agar dibuatkan liang kubur yang nyaman untuk membaringkan tubuh.
Semula Syam ragu memandangi dasar lubang yang digalinya. Ia duduk mencangkung, terayun-ayun antara mata yang letih.
Apakah liang ini sudah cukup nyaman?
Kemudian ia sadar, tak ada cara untuk mengetahui apakah liang yang digalinya memang sudah nyaman atau tidak untuk membarigkan tubuh, selain harus mencobanya. Juga didorong keinginan untuk mengistirahatkan tubuh yang penat, dan kelopak mata yang memberat.
Perlahan ia turun. Lalu pelan-pelan duduk, merebahkan tubuh, memejaman mata, dan melipatkan tangan di dada. Sembari sesekali tarikan napas panjang dengan embusan yang lembut, ia merasa liang kubur yang baru digalinya memang nyaman untuk membaringkan tubuh. Ia pun tersenyum samar dalam keharuman liang kubur yang digalinya sendiri.
Begitu Syam membuka mata, semuanya telah berubah menjadi putih terang. Seolah ia terbaring di suatu hamparan cahaya yang sangat lapang tak berujung. Sekejap kemudian, ia melihat dua sosok bercahaya kembali hadir mendatanginya. Semakin dekat. Dan Syam telah siap dengan pertanyaan yang tak sempat diucapkannya; Siapakah yang mati hingga liang kuburnya harus digali malam-malam begini?
***
Jadi, sore itu aku kembali menemui Pak Darman di mushala usai salat Ashar. Seperti kukatakan di awal, aku ingin menanyakan kejanggalan yang kurasakan tentang penggali kubur yang dia kisahkan kepadaku sehari sebelumnya – yang cerpennya baru saja selesai kamu baca.
Kuingat, wajah tuanya tampak tenang dengan senum seorang yang bijaksana ketika menjawab pertanyaanku.
”Anak muda,” katanya, entah apakah dia telah lupa namaku yang kusebutkan waktu perkenalan kemarin, ”terkadang orang hanya perlu meyakini bahwa begitulah sebuah kisah terjadi. Dan tak ingin merusaknya dengan mempertanyakan lagi bagaimana kisah itu terjadi, dari mana bermula, dan sejauh mana kebenarannya….”
Tanpa memedulikan rasa penasaranku, Pak Darman lantas pergi begitu saja. termangu aku menatap tubuhnya dalam jubah putih yang ujungnya berkibar-kibat ditiup angin sore.
Dan aku masih belum menemukan jawaban—yang menjadi cacat logika dalam cerpenku atau kisah itu; jika penggali kubur itu mati dalam liang kubur yang digalinya sendiri,lalu dari mana kisah itu didapatkan dan siapa yang bisa mengetahuinya? Bukankah penggali kubu yang mati tidak mungkin bisa menceritakan dirinya sendiri?
Tapi, akhir kisahnya memang bukan begitu.
Kepadaku sehari sebelumnya Pak Darman mengisahkan, ”Subuh itu orang-orang ramai melihat liang kubur yang seakan-akan ada begitu saja. Di dalamnya tidak ada apa pun. Liang kubur itu kosong. Akulah yang pertama kali melihat liang kubur itu sewaktu menuju mushala untuk salat Subuh. Namun semua orang tahu, tidak ada penggali kubur selain Syam. Dan tak ada yang menggali kubur sebaik itu, kecuali juga Syam. Orang-orang pun percaya bahwa yang menggali liang kubur itu ditimbun, dan semenjak itulah diyakini sebagai kuburan Syam yang lambat-laun, berpuluh-puluh tahun hingga saat ini, dianggap keramat.“
Jelas, akhir kisah dari Pak Darman, penjaga makam keramat ini, juga cacat. Bagaimana mungkin ada kisah penggali kubur Syam seperti yang kutuliskan apabila ternyata Syam tiba-tiba menghilang, dan tak seorang pun tahu keberadaannya.
Dalam perasaan ganjil atas kisah itum sekali lagi, sebelum pergi meninggalkan kampung kecil yang sebaiknya tetap tidak perlu kusebutkan namanya, aku menatap makam penggali kubur yang dikeramatkan itu. Pusaranya dipenuhi bunga rampai, serta kain kuning di atas kubahnya. Di dekatnya, yang sebelumnya luput dari perhatianku, ada sebuah kotak amal tempat para peziarah memasukkan uang.
Sampai di sini, bila tidak Pak Darman yang kamu anggap mengarang-ngarang kisa penggali kubur itu, pasti akulah yang kamu tuduh mengada-ada dengan kisah cerpenku.
Sumber:
Kompas, Minggu, 9 Oktober 2016
0 komentar: