Esai Tarman Effendi Tarsyad: Tentang Puisi Lingkungan Ali Syamsudin Arsi
Ali Syamsudin Arsi salah seorang penyair yang produktif. Puisinya telah terbit baik dalam beberapa kumpulan secara tunggal maupun dalam beberapa antologi secara bersama. Salah satu antologi puisinya yang terbit bersama Gusti Indra Setyawan, Masdulhak Abdi, dan Taberi Lipani yaitu Duri-duri Angin Tebing (2015). Dalam antologi tersebut Ali Syamsudin Arsi menyertakan puisinya sebanyak dua puluh tujuh judul.
Khusus dalam antologi tersebut, satu hal yang tampaknya perlu dicermati sehubungan dengan puisi Ali Syamsudin Arsi yaitu cukup dominannya puisi yang berkenaan dengan lingkungan. Untuk itu coba baca misalnya puisi Ali Syamsudin Arsi yang berjudul “Orang-orang Pedalaman” (2015:11) berikut:
ORANG-ORANG PEDALAMAN
“Kami tersingkir dari pucuk daun,” bisiknya dengan suara
hampir tak terdengar namun sangat terasa getir dan bergetar
hebat ketika masuk menusuk melalui daun telinga merambah
ke lorong syaraf dan otak menerimanya sebagai pengaduan
paling memilukan
“Kami kehilangan suara,” lanjutnya pula
hutan bergelombang dari daratan bukit memandang sapuan
tipis di awan-awan angin mengantarkan sejuk hutan
bergelombang bunyi kecipak gerisik air di lumut batu-batu
terasa hanyut dalam suasana purba belum tersentuh deru
mesin penumbang pohon kenangan pun menyeruak di jejak
telapak kaki telanjang meresap rasa dingin sedingin-dingin
embun hutan sedikit berkabut di pucuk daun
lantas mengapa harus ada yang tersingkir dari pucuk daun
sedang pucuk daun selayaknya menikmati dingin embun
lantas mengapa sebuah suara kehilangan gelombangnya
sementara suara selayaknya tetap menempati keheningan
cuaca
“Cuaca alam kami pun telah ditaburi racun,” mereka semakin
sulit harus menapak jejak di bukit yang mana karena dataran
bukit sudah kehilangan pijaknya
orang-orang pedalaman semakin terkepung jauh ke dalam,
“Perampasan pun kian tersusun, tersusun dalam kepompong
waktu,” melantangkan suara yang sangat kehilangan,
kehilangan gema di hutan bergelombang, hutan kita
/asa, banjarbaru, februari 2015
Puisi di atas jelas berkenaan dengan lingkungan, terutama lingkungan bagi orang-orang pedalaman. Penyair mengemukakan bahwa orang-orang pedalaman semakin terdesak, terdesak dari lingkungan tempat tinggal mereka, terutama dari lingkungan hutan. Untuk itu secara beruntun penyair mengemukakan apa yang diucapkan oleh orang-orang pedalaman seperti “Kami tersingkir dari pucuk daun”, “Kami kehilangan suara”, dan “Cuaca alam kami pun telah ditaburi racun”. Hal tersebut terjadi, menurut penyair karena orang-orang pedalaman semakin kehilangan hutannya. Bahkan penyair mengemukakan “orang-orang pedalaman semakin terkepung jauh ke dalam”.
Masih puisi yang berkenaan dengan lingkungan, puisi Ali Syamsudin Arsi yang berjudul “Sebelum Angin Membadai” (2015:24) juga mengemukakan mengenai lingkungan, terutama berkenaan dengan kerusakan lingkungan karena lahan (tanah) yang sudah tak lagi menumbuhkan pepohonan. Lahan telah menumbuhkan “pohon kawat”, “pohon besi”, dan “pohon batu”. Lahan yang seharusnya ditanami (ditumbuhi) dengan pepohonan, tetapi justru lahan dewasa ini (sudah banyak) ditanami (ditumbuhi) oleh berbagai bangunan yang terdiri dari kawat, besi, dan batu. Sementara itu menurut penyair orang-orang tak kuasa mencegahnya, “sekuat apa genggam telapak tangan/semua jemari lunglai tak bertulang’. Bahkan menurut penyair “orang-orang (hanya) tengadah ke langit biru/(dengan) mata dan bibir (yang) semakin kelu”.
SEBELUM ANGIN MEMBADAI
sekuat apa genggam telapak tangan
semua jemari lunglai tak bertulang
humus tanah semakin tumbuhkan
pohon kawat pohon besi pohon batu
daun-daun bertebaran di kering-kering
semakin menukik ke ceruk terdalam
semakin tebing gemetar berdentam-dentam
orang-orang tengadah ke langit biru
mata dan bibir pun semakin kelu
/asa, banjarbaru, februari 2015
Selain lingkungan yang berkenaan dengan hutan dan lahan, lingkungan yang berkenaan dengan sungai juga mendapat sorotan Ali Syamsudin Arsi. Melalui puisinya yang berjudul “Sebelum Sungai Meradang” (2015:28) tampak penyair mengungkapkan mengenai “sungai (yang meradang)” dengan gemuruh dan arus derasnya.
SEBELUM SUNGAI MERADANG
alam hanya di antaranya
atas kuasa segala kuasa
penanda
simak dan baca
atas tanda segala tanda
tulis dan bicara
atas rimba raya belantara
sungai yang meradang adalah gemuruh pijar semua tanda
sungai yang meradang adalah arus deras di gelegar merah mata
sungai yang meradang adalah kepal tangan racun cuaca
“Selayaknya lorong-lorong melepaskan bendung di bucah-buncah”
ucap arus dengan sorot mata berpijar
“Selayaknya lepaskan pasak di tebing-tebing patah”
ucap kepal di atas semua kepala
/asa, banjarbaru, februari 2015
Jika dicermati pada puisi di atas, ternyata ada beberapa ungkapan yang tidak begitu jelas dikemukakan keterkaitannya. Misalnya pada bait pertama, ungkapan antara “alam” dan “rimba raya belantara” dengan “sungai (yang meradang)” tidak begitu jelas dikemukakan keterkaitannya. Begitu pula dengan bait terakhir, ketika penyair mengemukakan mengenai “Selayaknya lorong-lorong melepaskan bendung di bucah-buncah” dan “Selayaknya lepaskan pasak di tebing-tebing patah” secara langsung juga tidak begitu jelas dikemukakan keterkaitannya dengan “sungai (yang meradang)”.
Sebuah puisi mengenai sungai, yang tampak padu dalam pengungkapannya dapat disimak misalnya pada puisi “Sungai Masa Lalu” karya Ahmad Fahrawi (2011:5). Melalui puisi tersebut penyair mengemukakan mengenai sungai sebagai tempat bermain pada masa kecil dengan segala keceriaan. Akan tetapi melalui puisi tersebut penyair mengungkapkan sungai sebagai tempat bermain pada masa kecil akhirnya hanya menjadi masa lalu. Lebih-lebih karena sungai tersebut sudah menyempit dan sudah tak lagi layak sebagai tempat untuk bermain.
SUNGAI MASA LALU
sungai masa lalu, di tubuhnya melintang jembatan bambu
sungai belakang rumahku, lubuk dalam misteri bisu
sungai kota kecil, lanting permandian pohon lua di tepian
dari hulu perahu-perahu dikayuh, jala dilabuh
dari hulu biji-biji para larut, bocah-bocah berebut
dari hulu berbugil mengikut alir
keriangan menghilir
sungai masa lalu
sungai rindu
bocah melempar batu ke lubuk dalam
riaknya yang terbayang adalah kenang
sungai masa lalu, parit keruh masa kini
perahu-perahu kehilangan tambatan
ikan-ikan kehilangan lubuk
bocah-bocah kehilangan rebutan
mampatnya air di dulu, longsornya tanah-tanah tepian
sungai kota kecil menghiliri kemajuan
Martapura, 1982
Terlepas dari hal tersebut di atas, berbeda dengan puisi “Sebelum Sungai Meradang” sebagaimana dikemukakan sebelumnya, yang beberapa ungkapannya secara langsung tidak begitu jelas dikemukakan keterkaitannya dengan pokok permasalahan, yaitu mengenai “sungai (yang meradang)”, dua puisi Ali Syamsudin Arsi yang berjudul “Sebelum Reruntuh Tebing” (2015:22) dan “Sebelum Duri Menusuk Tebing” (2015:22) berikut yang ditulis pada tanggal yang sama, 4 Februari 2015, justru memperlihatkan pengungkapan yang kurang lebih sama. Meskipun judulnya berbeda, tetapi apa yang diungkapkan pada dasarnya kurang lebih sama.
SEBELUM RERUNTUH TEBING
memang sangat tidak terasa
runtuhan demi runtuhan
tebing tinggi datar berkelok menurun tajam
sangatlah jauh turun menajam
semakin lama semakin jauh
semakin menajam
menusuk-nusuk semua mata
menatapnya seakan semua biasa saja
di bibir curam
orang-orang dalam wajah cemas dan buram
/asa, banjarbaru, 4 februari 2015
SEBELUM DURI MENUSUK TEBING
tajam semakin
engkau derapkan telapak kaki
di rapuh bongkah batu
gemuruh semakin
engkau menderu segenap suara
di bising racun cuaca
tebing-tebing dalam rencana runtuhnya
orang-orang berwajah buram semakin kelam
/asa, banjarbaru, 4 februari 2015
Satu hal yang juga perlu dicatat, selain kedua puisi di atas memiliki ungkapan yang pada dasarnya kurang lebih sama, juga ada ungkapan yang seharusnya tidak perlu diulang. Misalnya pada puisi “Sebelum Reruntuh Tebing”, pada bait pertama ungkapan “tebing tinggi datar berkelok menurun tajam/sangatlah jauh turun menajam/semakin lama semakin jauh/ semakin menajam”, tampak terasa berlebihan. Ungkapan tersebut akan lebih padat kalau (misalnya) diungkapkan menjadi “tebing tinggi menurun tajam/semakin lama semakin menajam”. Sementara ungkapan “menusuk-nusuk semua mata”, kata ulang “menusuk-nusuk” juga terasa berlebihan, karena sudah diikuti dengan kata “semua”. Oleh karena itu larik tersebut cukup dikatakan (misalnya) “menusuk semua mata”.
Begitu pula dengan puisi sebelumnya, misalnya pada puisi “Sebelum Sungai Meradang”, terutama pada ungkapan:
atas kuasa segala kuasa
penanda
simak dan baca
atas tanda segala tanda
tulis dan bicara
Pada ungkapan di atas juga tampak terasa berlebihan. Pada ungkapan tersebut terutama pencantuman kata “penanda”, tidak seharusnya ada, karena pada larik berikutnya penyair sudah menyatakan “atas tanda segala tanda”. Sementara ungkapan antara “simak” dengan “baca”, seharusnya “baca” dulu, baru “simak”. Ungkapan antara “tulis” dengan “bicara”, lebih lazim digunakan ungkapan antara “tulis” dengan “ucapkan”. Selain itu biasanya mengenai “kuasa” lebih tepat jika diikuti dengan “tulis dan ucapkan”, sementara mengenai “tanda” lebih tepat jika diikuti dengan “baca dan simak”. Kemudian ungkapan “rimba raya belantara” juga terasa berlebihan. Kalau sudah dinyatakan “rimba raya”, tidak seharusnya diikuti dengan “belantara”. Bahkan larik “atas rimba raya belantara” andai dihilangkan juga tidak mengapa, karena ungkapan “rimba raya belantara” sudah termasuk dalam “alam” pada larik pertama. Dengan demikian ungkapan pada bait pertama tersebut akan lebih padat andaikata dikemukakan menjadi:
alam hanya di antaranya
atas kuasa segala kuasa
tulis dan ucapkan
atas tanda segala tanda
baca dan simak
Selain beberapa ungkapan di atas, yang juga perlu dicermati pada beberapa puisi Ali Syamsudin Arsi, yaitu mengenai hubungan antara ungkapan yang satu dengan ungkapan lainnya. Misalnya pada puisi “Sebelum Angin Membadai”, ungkapan “humus tanah semakin tumbuhkan/pohon kawat pohon besi pohon batu/daun-daun bertebaran di kering-kering”, tentu saja dapat menimbulkan pertanyaan. Kalau dikatakan “humus tanah semakin tumbuhkan/pohon kawat pohon besi pohon batu”, apa mungkin “daun-daun bertebaran di kering-kering”, karena “pohon kawat pohon besi pohon batu” tidak memiliki “daun-daun”. Sementara ungkapan “semakin tebing gemetar berdentam-dentam”, seharusnya “semakin gemetar tebing berdentam-dentam”. Selain itu, ungkapan “mata dan bibir pun semakin kelu”, juga menimbulkan pertanyaan, apa mungkin “mata semakin kelu”, kalau “bibir semakin kelu” mungkin saja terjadi.
Begitu pula pada puisi “Orang-orang Pedalaman”, ungkapan “Cuaca alam kami pun telah ditaburi racun,” mereka semakin/sulit harus menapak jejak di bukit yang mana karena dataran/bukit sudah kehilangan pijaknya”, tentu saja juga dapat menimbulkan pertanyaan. Jika “cuaca alam telah ditaburi racun”, biasanya (misalnya) berkaitan dengan pernapasan, karena udara yang dihirup sudah beracun. Kurang tepat tampaknya jika dikatakan hubungan antara “cuaca alam yang telah ditaburi racun” dengan “semakin/sulit harus menapak jejak di bukit yang mana karena dataran/bukit sudah kehilangan pijaknya”. Sementara itu, ungkapan “yang mana” pada larik terakhir tersebut tidak seharusnya ada.
Terlepas dari beberapa hal tersebut di atas, puisi Ali Syamsudin Arsi yang mengemukakan segala sesuatu yang berkenaan dengan lingkungan, baik yang terhimpun dalam Duri-duri Angin Tebing maupun dalam kumpulan atau antologi lain, tentu saja sesuatu yang memang menarik untuk dinikmati. Semoga.[]
Daftar Pustaka:
Arsi, Ali Syamsudin, dkk. 2015. Duri-duri Angin Tebing. Banjarbaru: Penerbit Scripta Cendekia.
Fahrawi, Ahmad. 2011. “Sungai Masa Lalu.” Dalam Ahmad Fahrawi dan M. Rifani Djamhari. Pendulang, Hutan Pinus, dan Hujan. Banjarbaru: Penerbit Framepublishing, Bantul, DIY, bekerjasama dengan Dewan Kesenian Kota Banjarbaru.
Tarsyad, Tarman Effendi. 2014. Tentang Puisi Penyair Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Penerbit Scripta Cendekia.
Sumber:
Media Kalimantan, 20 September 2015
https://webscripta.wordpress.com/2015/10/05/tentang-puisi-lingkungan-ali-syamsudin-arsi/
0 komentar: