Cerpen HE. Benyamine: Deras Ternyata Rindu Mengalir
: AdindaKetika hujan itu, kau menatap tanpa binar, hanya linangan yang merembes sesaat aku mengatakan badai telah menetap dalam dadaku, kau genggam tanganku bukan karena mendengar apa yang telah kuucapkan, tapi rindumu, ya rindumu bagai gemuruh yang terdengar saat kau menutup kedua telingamu dengan kedua tanganmu. Aku menatap rindumu: hujan ini rasanya.
Malam menahan tetes deraimu, teramat singkat gerimis saat ini, kau tak sanggup kusembunyikan, lebih deras ternyata rindu mengalir dari sumber batinku yang lepas menggenang di kelopak keterpejamanku.
Mendung menyapu langit, kau mungkin tak tahu rinduku bagai matahari yang terus bersinar meski terhalang kabut dan gelap, kedua telaga di wajahku meluap seketika sebelum mendung itu melambai pada langit saat kau sembunyi dalam lamunanku.
Selalu saja angin bergerak menjauh meski yang mendekat tak berbeda, kau datang bagai rintik yang tertahan, dan bunga itu tak sempat menatap pagi ketika semerbaknya melamunkan rinduku mengikuti jejak angin yang membawanya ke luasan yang berdinding. Hanya senyummu yang mengusap ikatan aliran rintik-rintik di mataku.
Selalu saja embun melepaskan wujudnya ketika tersentuh mentari, melayang tak berbayang, biar rindu menemu peraduan, sepasang telaga meluap bagai mengikuti jejak bayanganmu yang tertelan limpasan hujan. Kau tersenyum melintas di deraian gerimis, aku mulai menyeka penghalang pandang yang menderas; hujan terkurung mimpi
Selalu saja terik mentari menemukan deraian air di sekujur tubuhku, ketika kau menyembunyikan kulitmu dari sengatan tatapanku, gemuruh di dadaku membasuh sengatan terik mentari meski silaunya menyembunyikan genangan di pelupuk mataku, kau terus diam seraya mekarkan payung, entahlah apa kau menemukan kegelapan untuk terus sembunyi dari sengatan mataku.
Selalu saja mendung menahan tetesan, kau menahan kerinduan dari rasa jauh, menggenang di lubuk dalam dada, aku tak mengenal tempat sembunyi, sehingga riak yang menyeruak di kelopak mataku tiada lain rindu yang mengalir ketika guntur membuyarkan rasa terdekat denganmu. Mendung tetap bertahan, aku mendahuluinya setetes demi setetes yang hangat.
Selalu saja berkilau daun-daun mendapat sentuhan lembut mentari, kau mungkin tidak pernah tahu selalu bersamaku, sungai rindu dalam diriku mengalir tenang, meski embun lebur di pelupuk ketika sentuhan lembut mentari mengingatkan pagi kembali datang.
Selalu saja hujan sembunyikan hangatnya mentari, kau nampak cerah dengan tatapanmu, segera kusembunyikan derasnya aliran sungai rindu di kalbuku, itu hanya kutahu ketika menemukanmu tersenyum, namun rintik jatuh di pipiku tak mampu kubendung ketika petir mengagetkan bahwa itu kau yang ada di hatiku.
Selalu saja beban langit ringan setelah hujan, sementara kau diam tiada beban dalam hatiku, meski setelahnya sungai meluap mengalirkan rinduku di bawah langit cerah, tetes-tetes hangat keluar bendung kelopak yang berkedip penuh harap
Selalu saja mendung menunda cerah, kau menderu tanpa bicara yang memacuku terjaga akan kehadiranmu, saat itu aku sedang tak ingin membuka mataku yang membendung badai hatiku, berkaca-kaca mataku menatap mendung tetap menyembunyikan rinduku dengan sekuat daya ketika khayalan tak lama berlalu tentang kau.
Selalu saja bintang menghibur gelap, dan kau menghapus batas rindu ketika seketika berada di sampingku, padahal hujan badai masih tersisa rinai di mataku yang mengalir meluapkan sungai kerinduan dalam hatiku, sedangkan aku hanya duduk bersandar di dinding teras dengan mata terpejam dalam gelap tanpa bintang yang menghibur.
Selalu saja kau hadir seperti angin, jalan yang kau pilih tak terduga, gerimis seakan memberimu sentuhan syahdu, sedang aku menatap rentetan tetes bersama rindu yang melayang lembut dalam hatiku, lalu tak terduga kau melambai mengusik lamunanku dengan mata berembun.
Selalu saja senja mengejar gelap, kau tak berjarak rindu hingga aku yakin melepas jeratan perpisahan, dan membiarkan lahar dalam hatiku berderai di pelupuk bagai embun yang dideraskan hujan dengan gemuruh, namun tiada gelap rinduku yang tersimpan di hati
Selalu saja rembulan menatap gelap, kau tak pernah sembunyi rindu walau sekedip, meski kilat mengalihkan perhatianku tetap saja hujan datang tak terduga, menetes perlahan menyusuri rona mukaku yang terjaga dari lamunan.
Selalu saja gemuruh dadaku tumpah lewat pelupuk, ketika rindu menggodaku sedang kau bermain hujan, dan sungai terus mengalir tambah deras sementara aku menyeka rinai hangat yang tersisa dari kebisuanmu.
Selalu saja kau lenyap bak embun yang tersentuh mentari setiap pagi, meski mendung menghalangi, dan hangat batinku mengiringi dengan tetesan mendahului hujan yang belum datang. Kau ternyata tak sulit ditemukan, lamunanku penuh rindu tak diatur waktu pagi itu saja.
Selalu saja rindu tersisa pelangi, ketika kau selesai menari dalam hatiku kemudian pamit tanpa menitipkan rindu, begitu tenang arus sungai ketika itu, bendungan telagaku dengan binar syahdu lebih cepat meluap mendahului gemuruh langit yang melepas rinai, sungai itu menderas sedangkan aku berteduh dengan rindu
Selalu saja kau diam, rindu ini menderas, ketika kelopak terbuka mengira kau berderai hadir maka tumpahlah genangan yang terbendung lebih dari rintik itu.
Sinar mentari menyapa hangat pagi ini, kukira kau menyebut namaku, mengapa gerimis di mataku tak menghentikan rindu pada sinar matamu yang telah menampakkan pelangi. Aku terus memeluk kau dalam hujan jiwaku.
Ketika hujan berhenti, rindu ini tak berhenti, tetap hangat tetes dari mataku manahan kepergian bayanganmu dalam lamunanku.
Hujan tak meninggalkan sesal, melepaskan ikatan begitu saja, hanya aku yang terkurung menanti kau menghentikan derasnya angin membawa awan. Kau terus mengejar mimpi, sedangkan hujan mulai manyapa kelopak mataku ketika mimpi itu terhenti sedangkan kau masih belum beranjak dari tempatmu.
Hujan saat itu seakan butiran kemilau rindu, kau curahkan sesukamu, itu rindumu, dan kau menyatukan tawa, hujan, dan kebeningan yang hangat dari tatapanmu saat kulepaskan tanganmu. Ketika mentari saat ini menyengat, itu rinduku, kemarau ini tak mengeringkan rinduku — senyummu! Wajah rinduku, ribuan lesung pipit.
Banjarbaru, 18 Desember 2015
Sumber:
https://borneojarjua2008.wordpress.com/2016/05/17/deras-ternyata-rindu-mengalir/
0 komentar: