Cerpen Syafiqatul Machmudah: Sebuah Mata, Sejuta Sesal
Mata itu menerorku terus menerus. Entahlah, aku tak tahu di mana kesalahanku hingga mata itu selalu menganggapku musuh bebuyutannya. Aku sudah terlalu lelah untuk lari dan berlari, sepertinya kekuatanku untuk melangkah sudah berada pada titik nol.Yah, terlalu lama rasanya jika aku terus-terusan menghindar dengan cara seperti ini. Aku takut ketika mata itu terus saja memelototiku, mata merah yang selalu merah seperti haus dengan darahku. Saat ini pun mata itu terus saja membuntutiku seperti bayangan. Tidak siang, tidak malam, terus saja tanpa lelah seperti menggerogoti setiap persendianku, menjadikan aku lemah tanpa tenaga dan hanya bisa berlari sejauh-jauhnya untuk menghindarinya.
Mata itu mengejarku, menjadikanku seperti buronan, mengejar-ngejarku dengan nyala marahnya. Sungguh aku tak tahu apa yang telah aku lakukan sampai mata itu terus saja memburuku. Saat ini aku telah merasa berlari sampai jarak yang telah jauh dengan mata itu. Napasku tak karuan, denyut nadiku tak teratur, seperti dentuman musik rock, mencekikku dan menahan pernapasanku, tapi langkahku tak jua kuhentikan.
Langkah ini terus saja berlari, berlari dan berlari, walau dalam keadaan yang sangat lemah sekalipun. Rasa haus dan lapar yang mendera begitu hebat tak jua kuhiraukan, aku seperti tubuh kosong yang hanya punya rasa takut. Aku tak tahu rasa takut yang seperti apa itu, perasaan yang selalu ingin menjauh dari mata itu, perasaan yang ingin menghindar.
Rasa takut yang menekanku begitu dahsyat, yang apabila aku pikirkan bisa membuat jiwaku perih, teriris-iris tak karuan, luka yang pedih. Entahlah, takut yang seperti apa itu? Perasaan yang selalu menghipnotisku untuk selalu merasa bersalah, tak membiarkanku tersenyum sedikit pun. Perasaan yang selalu ingin menendangku, ingin mengeluarkan darahku, ingin memotong-motong setiap bagian tubuhku... Ya, takut yang seperti apa itu?
Mata itu, entahlah, sudah sejak kapan begitu kuat menatapku. Hidupku yang semula berjalan teratur, hancur dibuatnya. Cinta, kesedihan dan amarahku berantakan tak karuan. Kosong, jiwaku yang kini telah kosong, hanya mengelana, berjalan dan berlari untuk menghindarinya. Aku telah teramat takut.
Mata itu telah begitu lama rasanya tak jua mau berhenti dan berteman denganku, teman. Kapan aku mulai bisa memikirkan untuk berdamai saja dengan mata itu! Atau aku sudah gila dan tidak waras lagi sehingga menganggap mata itu mau berdamai dan mengakhiri semua ini. Tak mungkin...Ya, tak akan pernah mungkin. Memikirkannya saja telah membuat bulu tengkukku bergidik. Tapi di mana kesalahanku?
Langkahku terus saja berlari, meninggalkan jejak-jejak malam yang tak kukehendaki. Seluruh tubuhku telah basah dibanjiri oleh keringat, keringat dingin yang tak meninggalkan apa pun, hanya bau yang kurang enak dan basah yang tak karuan. Kakiku terus saja melangkah, melalui gelap, tanah, kubangan, lumpur, rumput liar, batu, ya...
Semua terlewat begitu saja, tak ada yang berharga sedikit pun, yang tersisa hanya bekas luka, goresan yang perih dan kalut yang entah keberapa jumlahnya. Langit masih saja keruh, bulan tak jua nampak, bintang hanya tersisa begitu kecilnya. Tapi aku sama sekali tak berharap apa pun pada semua itu, karena kuyakin tak ada yang bisa menolongku, untuk terlepas dari mata itu. Bahkan semua orang yang kulalui, semua jenis wajah yang terlalui, semuanya, tak ada yang bisa menolongku, tak ada yang bisa membantuku.
Aku hanya bisa berlari, menjauh dan berusaha bersembunyi dari mata itu, tapi sampai sekarang tak jua aku temukan persembunyian yang aman. Semua sudut telah aku lewati, tapi tak satu pun yang bisa luput dari mata itu.
Saat ini, tanpa aku sadari mata itu telah tepat berada di depanku. Kaget yang luar biasa, aku panik, tak tahu harus kemana lagi. Angin yang berhembus perlahan berubah garang, bak angin topan yang tak sopan, seperti mencabik tubuhku. Aku mencoba menghindar, berlari ke arah hutan di seberang tempatku berdiri.
Kulihat mata nanar merah menatap setiap sudut, menjelajahi bagian per bagian hutan tempatku bersembunyi, mencari sosokku. “Apa yang kau harapkan dari aku...?!” Aku berteriak tak karuan, tapi sia-sia, suaraku tenggelam oleh gemuruh angin.
Mata itu semakin ganas, warna merahnya berubah menjadi sangat merah, merah darah. Yah...Setetes demi setetes darah itu mengalir. Mata itu seperti bergolak, biji matanya bergerak, berputar seperti angin puyuh. Mata itu sepertinya sudah mencium di mana keberadaanku. Sebentar saja ia telah menatap lurus ke arahku. Aku terkesiap, tak tahu harus melangkah ke mana lagi. Tubuhku terasa kaku, seperti kehilangan tenaga untuk bergerak. Aku biarkan saja mata itu mendekatiku perlahan.
Mata itu mulai berjalan ke arahku menyebarkan aroma darah yang amis. Kututup hidungku, tapi penciumanku seperti pernah mencium bau yang khas itu, entahlah, tapi di mana. Mata itu terus saja mendekatiku. Tubuhku terasa lunglai. Ingin rasanya aku pingsan dan tertelungkup agar mata itu mengira aku telah mati, setidaknya saat ini aku telah mulai berharap. Tapi tetaplah hal itu hanya harapan, karena tubuh ini seperti bukan milikku lagi, tak kuasa lagi untuk kuperintah. Semakin dekat, mata itu telah semakin dekat. Aku semakin terpojok. Seluruh inderaku seperti lumpuh.
Akhirnya mata itu telah persis berada sejengkal dari tempatku berdiri. Ia memandangku, memandangku begitu kuat, tak bergerak, sepertinya tak mau melewatkanku sedetik pun.
Darah itu pun semakin lama mengalir semakin banyak, jatuh membasahi bumi. Rasa takutku mulai memuncak. Tapi sungguh, tubuhku telah lumpuh total. Aku tak bisa berbicara, mendengar gemuruhnya, mencium baunya, tangan dan kakiku seperti dibelenggu. Jantungku seperti berhenti berdetak, tapi aku belum mati. Tubuh ini terasa ringan, melayang, dan sakit yang teramat. Mata itu menatapku. Tak ada belas kasihan, tak ada sedih tak ada bahagia, hanya terlihat pedih dan perih yang teramat. Mata itu mulai memandang setiap bagian tubuhku, meneliti satu per satu seperti mencari sesuatu, tapi aku tak tahu apa.
Kemudian mata itu mengeluarkan cahaya yang entah berwarna apa, warna yang tak karuan, tapi cahaya itu begitu menyilaukan pandanganku. Hanya dengan hitungan detik cahaya itu telah memenuhi seluruh bagian hutan. Pepohonan yang hijau dalam gelap berubah bercahaya. Cahaya itu pun semakin menyilaukan dan menyebarkan aroma kamboja, wangi yang mengerikan. Bulu kudukku berdiri dengan teratur seperti merapat menutup setiap pori-pori tubuhku. Kunikmati saja cahaya itu, yah, mungkin ini kali terakhir aku bisa menikmati cahaya terang seperti itu.
Cahaya itu semakin lama semakin terang, membentuk sebuah bayang menyerupai tubuh-tubuh manusia, semakin nampak, semakin terbentuk. Cahaya itu kini seperti layar. Entahlah, mata itu seperti ingin menunjukkan sesuatu. Manusia yang berlari kesana-kemari, barang-barang berserakan tak karuan, tubuh-tubuh yang hancur berkeping-keping, di mana? Kapan? Tubuhku yang sedari tadi terasa ringan kini berubah menjadi berat seperti menahan berton-ton batu. Kepalaku sakit yang teramat. Aku seperti pernah melihat semua itu, tapi di mana. Tolong! Tolong!
***
23 Mei 1997
Tepat hari Jumat. Jumat, yah, Jumat...
“Die, kamu nda ngikut jalan, nih? Buruan gih, kita cabut. Asyik kan, rame-rame bareng!”
Terdengar suara Roni begitu jelas di telingaku, mengejutkan tidurku yang indah. “Gila, jangan teriak-teriak, dong! Iya, iya, tungguin aku mandi dulu, yah!” sahutku sambil melemparkan bantal ke wajahnya. Hari itu kami memang sudah janjian untuk ikut kampanye, itung-itung tidak ada kerjaan di rumah.
Aku segera masuk kamar mandi. Tak kuhiraukan lagi ocehan Roni yang tak karuan. Kubayangkan hari ini kami akan berada di jalan seharian. Yah, seharian teriak-teriak menghabiskan suara dengan tujuan yang tak jelas. Yah, cuma ikut nampang doanglah. Lagian, yang penting kan acara rame-ramenya itu.
Setelah semua beres, aku, Roni dan beberapa orang pemuda yang tidak kukenal segera berangkat. Bendera-bendera partai dan segala aksesoris kampanye telah komplit kami siapkan, tapi, yah, tanpa tujuan. Hari ini kami sepakat memakai kaos warna kuning, seragam dengan segala warna aksesoris partai yang kami dukung untuk hari ini. Sekadar informasi, kami, aku dan Roni, memang setiap hari selalu berganti-ganti warna kaos di setiap kampanye. Maksudnya, sebenarnya tidak ada partai yang kami dukung dengan setia.
Hari ini keadaan jalan terlihat sangat ramai. Banyak sekali orang yang antusias mengikuti kampanye, dari anak-anak sampai para manula turun ke jalan. Aku dan Roni begitu percaya dirinya bergaya di depan kap mobil yang telah kami hiasi. Sangat berbahaya, memang, tapi itulah; saat-saat seperti ini urusan keselamatan diri masuk nomor sepuluh, yang penting kami bisa rame-rame dan menikmati suasana hari ini.
Saat ini kami berada di seputar Jalan Kayu Tangi (H. Hassan Basry). Kami berputar-putar mengelilingi daerah itu dengan berbagai gaya berani, yang akan membuat orang terperangah. Dari gaya berdiri di atas kap mobil dengan kedua tangan tidak berpegang pada apa pun, sampai berjoget mengiringi musik yang kami stel keras-keras. Saat itu jam menunjukkan pukul 12 siang. Matahari telah berada di atas kepala kami, tapi tak kami hiraukan sedikit pun. Aku pun telah melupakan kegiatan rutinitas jumatan (sholat Jumat) yang sering aku lakukan.
“Kamu nggak sholat Jumat, Die?”
“Males. Lagian, lagi rame gini, Ron. Apalagi, katanya subsidi buat kita besar, nih, he-he...”
“Aku sih terserah kamu aja.”
Kami meneruskan perjalanan ke jalan besar, arah tujuan kami tepatnya akan berhenti di depan salah satu plaza yang terbesar di kota kami (Mitra Plaza). Saat ini jumlah anggota kampanye yang bersama kami sekitar 200-an orang. Semua anggota kampanye dari kelompok lain akan berkumpul tepat di depan plaza tersebut.
Kami melewati setiap masjid dengan perasaan yang tidak bersalah sedikit pun. Kami pun tak segan berteriak-teriak di depan masjid di saat orang sedang mengikuti khotbah Jumat. Kulihat orang-orang menggeleng ketika kami lewat. Aku tahu bagaimana perasaan mereka, tapi itu memang mauku, yah. Aku menganggap diriku hebat karena berani untuk berontak dari kebiasaan seperti itu, berontak dari dogma-dogma ajaran ayahku yang sangat menyebalkan. Aku merasa bangga dengan hal ini.
Saat ini kami telah berkumpul dengan anggota lengkap, yang lainnya mungkin akan menyusul beberapa jam lagi. Semua berkumpul seperti satu saudara. Saling bercengkerama satu sama lain dan memamerkan aksesoris yang didapatkan dan yang dimiliki saat ini.
Di depan plaza kulihat orang sangat ramai, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Mereka sepertinya dari daerah lain yang berkunjung ke Banjarmasin dan memanfaatkan momen ini. Anak-anak bermain dengan senangnya di salah satu ruang bermain yang memang dipersiapkan untuk mereka, sedangkan ibu mereka sibuk memilih barang-barang yang akan mereka beli dengan teliti.
Aku dan Roni berjalan-jalan mengisi waktu untuk melihat-lihat baju di lantai dua plaza tersebut. Kami memang orang yang terhitung sangat jarang untuk berjalan-jalan ke tempat yang seperti itu, karena sebagian besar waktu kami hanya diisi untuk kuliah dan bermain musik. Kami punya kelompok band dan sudah sering manggung di kota-kota lain. Walaupun kami bukan band tenar, tapi siapa sih yang tak kenal kami.
Aku dan Roni tidak terlalu tertarik untuk membeli barang-barang itu. Timbul niatku untuk membuat sedikit kekacauan di tempat itu. Malam tadi aku memang membaca buku tentang kehidupan seorang sniper, seorang yang awalnya tidak memiliki keberanian sedikit pun hingga terkenal sebagai orang yang sangat penakut; sampai akhirnya menjadi orang yang memiliki keberanian yang sangat dahsyat hingga menjadi sniper yang selalu dipakai orang untuk membunuh orang-orang penting di negaranya.
Tapi sniper itu memiliki kepribadian ganda. Pada pagi hari ia menjadi orang biasa yang sangat baik, penakut dan agak bloon; sedangkan ketika malam ia menjadi seorang sniper. Malam merupakan alam lain bagi sniper itu, matanya akan berubah seperti seekor kucing yang menyala-nyala. Aku sangat tertarik dengan cerita itu, sampai berharap bisa menjadi seperti sniper itu. Hebat, menurutku.
Aku hampir membayangkan aku menjadi salah satu bagian dari sniper itu. Keberanian timbul dalam hatiku, memenuhi otakku dengan pikiran-pikiran jahil untuk mengikuti sosok khayalanku. Mataku jelalatan melihat potensi yang bisa aku lakukan.
Kulihat Roni sedang terlibat pembicaraan dengan seorang anggota kampanye seperti kami. Penampilan orang itu terbilang cukup mengesankan. Orang itu juga membawa koper yang entah berisi barang apa, tapi sepertinya sangat penting. Roni terlihat serius sekali berbicara dengan orang itu, sedangkan teman-teman kami yang lain telah banyak yang meninggalkan plaza ini dan kembali beratraksi; rencananya mereka akan berkumpul lagi di sebuah lapangan bola di kota kami untuk menghadiri dan mendengarkan orasi dari anggota partai yang segera akan naik kursi menjadi wakil mereka.
Aku menunggu Roni dengan agak kesal, karena hampir setengah jam ia berbicara dengan orang yang sama sekali belum kukenal itu. Akhirnya, orang itu meninggalkan Roni sambil menyerahkan koper tersebut kepadanya. Roni tersenyum dengan puas dan segera beranjak menemuiku.
“Die, kamu mau uang banyak, nggak?”
“Emangnya aku nda normal? Yah, maulah.”
“Nih, ada job!”
Roni membuka sedikit isi koper, terlihat tumpukan uang yang jumlahnya perkiraanku sebesar 200 jutaan.
“Gila, Ron! Kamu dapat dari mana?”
“Ini bukan punyaku. Kita cuma dapat 10 % dari ini. Tugas kita hanya mengantarkan uang ini kepada orang yang disuruh Bapak tadi, dan selesai.”
“Gitu aja?”
“Iya. Cepat, kita nggak punya waktu, Die.”
“Eh... Tau nggak, Ron. Aku punya rencana bakar ini plaza.”
“Ehm, he-he...”
Aneh, wajah Roni tak mencerminkan ketakutan sama sekali ketika aku mengemukakan pendapatku. Ia hanya tersenyum, seperti menyembunyikan sesuatu.
“Die, senang kamu punya kesamaan dengan aku, he-he...”
“Hah? Kamu nggak bercanda?”
“Nggak. Itu dah lama. Yah, agak sadis, memang, tapi kita kan punya hak untuk menjadi manusia yang agak gila. Aku bosan, Die, jadi orang waras, ha-ha...”
“Hah... Ron, kayanya kita memang gila.”
“Agak psikopat, gitu, he-he...”
Kami berjalan menuju lorong plaza yang sepi karena toko-toko yang berada di sekitar tempat tersebut sedang tutup. Di sana kami bertemu dengan beberapa orang berpakaian gelap dan berpenutup wajah. Agak aneh, memang, tapi jujur aku merasa bergetar, jantungku berdegup cepat. Yah, aku menikmati suasana seperti itu.
Roni berbicara dengan orang-orang itu. Jumlah mereka sekitar 10 orang, pakaian mereka sama, perawakan mereka pun hampir sama, tinggi besar.
Roni segera menyerahkan koper itu. Seorang pria menyambut koper tersebut dan membukanya. Sepertinya ia menghitung jumlah uang tersebut, mengambil beberapa lembar dan menyerahkannya kepada Roni. Mereka segera pergi dari tempat itu sambil mengucapkan terima kasih. Aku dan Roni pun segera beranjak dari tempat itu.
“Lumayan, Die. Dapat dua juta.”
“Hah? Cuma gitu kita dapat uang sebesar itu? Emangnya mereka siapa, sih?”
“Oya, aku belum cerita. Mereka itu yang akan mewujudkan keinginan kita.”
“Hah? Jadi, serius?”
“Ya, Die. Lah, kok kamu jadi pucat gitu?”
“Aku... aku gila, tapi sekarang kan banyak anak-anak dan wanita?”
“Kenapa? Kita kan memang nggak waras? Ha-ha!”
Sumpah, walaupun punya niat seperti itu, aku bukan orang yang nekat dan segila ini. Aku hanya ingin melakukan kejahatan kecil saja.
“Kenapa kamu, Die? Ayo, cepat. Plaza ini akan hancur, tinggal seperempat jam lagi.”
“Terus, kita mau apa, Ron? Lari?”
“Wah, kita masih harus...”
Suara Roni tertahan.
Kami melihat segerombolan orang berlari cepat ke arah kasir dan counter-counter, sambil begitu beringas mengambil barang-barang yang ada di plaza tersebut. Ada yang mengambil setumpuk pakaian, alat-alat rumah tangga, TV, radio dan sebagainya. Kulihat ibu-ibu, anak-anak dan pegawai yang mayoritas perempuan berteriak histeris.
Di lantai satu kudengar letup tembakan. Aku tidak tahu ada apa sebenarnya. Roni menarik tanganku dengan cepat, mengajakku segera berlari menuruni eskalator. Kulihat beberapa orang satpam terbujur kaku, terluka parah. Anak-anak menangis tak karuan.
Parah. Aku terlalu kagum dengan keadaan itu dan tidak tahu harus melakukan apa. Yang bisa kulakukan hanya berlari, ya berlari.
Suara ledakan besar mengejutkan kami. Pintu-pintu di sekitar kami tertutup dengan otomatis. Semua tegang. Sepertinya tingkat yang paling atas akan segera runtuh. Kacau, semua kacau. Tempat itu seperti kena gempa. Ruangan tersebut sudah gelap gulita, membuat semua orang menjadi panik dan histeris.
Tanganku terlepas dari Roni. Suara ledakan itu terdengar lagi. Kami terkurung. Tak ada yang bisa keluar. Satu-satunya yang kupikirkan hanya menyelamatkan diri, karena aku masih ingin hidup.
Terlihat olehku ada seberkas cahaya, sepertinya cahaya lampu kecil. Kudekati cahaya itu. Ternyata cahaya itu berasal dari mainan senter seorang anak perempuan kecil. Aku lihat ia menangis meratapi mayat seorang perempuan yang terbujur kaku.
Kurampas seketika senter kecil dari tangan anak itu. Kami saling berebut dan yakinlah bahwa tenaganya teramat kecil untuk mempertahankan barang miliknya tersebut. Kutendang kakinya. Tanpa kusadari, aku menendangnya teramat keras hingga ia terjungkal. Seketika tubuh anak itu dijatuhi sebuah benda aneh yang aku yakin begitu berat. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Ia berteriak minta tolong. Suaranya begitu menyayat hati.
Tapi aku tahu, aku tak akan memikirkan untuk menyelamatkannya. Aku hanya ingin segera pergi dari tempat itu. Napasku tersengal-sengal, tubuhku kaku tak karuan, akhirnya aku pingsan.
***
Satu bulan kemudian...
Aku terbangun dari sadarku. Kata saudaraku, aku koma. Padahal luka-lukaku tidak serius. Tapi semua dokter bingung, aku tetap tak sadarkan diri. Entahlah, aku bersyukur mata itu hanya mimpi. Mata itu, mata anak itu, yang memanggilku. Aku tak bisa berpikir lagi. Sesal menggerogoti jiwaku. Airmataku pun tak terbendung lagi.
Maafkan aku. Walaupun aku tak tahu siapa namamu, tapi aku pernah berbuat kesalahan padamu. Roni, temanku, ditemukan meninggal dengan kondisi sangat mengenaskan. Maafkan aku, dik...
Catatan:
terinspirasi kejadian 23 Mei 1997, Jumat Kelabu, Banjarmasin
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 29 Mei 2005
Alfianti, Dewi, dkk. 2008. Nyanyian Tanpa Nyanyian: Kumpulan Cerita Pendek Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Tahura Media
0 komentar: