Cerpen Rismiyana: Pasar Itu Milik Ibuku
Aku senang bermain menyusun bawang merah yang tercecer dengan Anto di pasar, saat kurasakan sepasang tangan menggoyang-goyangkan kedua tanganku. Hari masih sangat pagi. Aku baru bangun, dan mataku terasa sangat malas karena sisa kantuk yang masih menggantung. Dengan malas kubuka kelopak mataku yang terasa berat.“Wan, mandi. Nanti kamu terlambat ke sekolah.” Ternyata sepasang tangan itu milik ibu. Sekarang, ia berusaha membantuku berdiri.
“Hari ini Jumat, Bu, masuknya jam 8. Jadi tidak apa-apa agak siangan...” Tapi ibu seperti tidak mendengar penjelasanku. Tangannya kini menuntunku ke ruang bawah, ke kamar mandi. Eh, bukan kamar mandi, tapi lorong kecil antara dinding rumah dan pagar tembok rumah sebelah yang kami jadikan sebagai tempat mandi dan mencuci.
Setelah menyiram badanku dengan beberapa gayung air dan sedikit bilasan sabun, aku bergegas mengenakan seragamku. Tadi aku lupa, sejak Senin lalu aku harus berjalan kaki ke sekolah. Jadi, walaupun hari ini masuk jam 8, tetap saja aku harus berangkat jam 07.15 pagi.
Aku benar-benar tidak menyukai keadaan ini. Seharusnya sepeda motor bapak tidak dijual.
Mengapa sepeda motor bapak dijual? Padahal selain dapat digunakan untuk mengantar dan menjemputku sekolah, sepeda motor itu digunakan oleh bapak untuk mengojek. Bapak kan tukang ojek. Kalau sepeda motornya dijual terus bagaimana bapak bisa mengojek?
Ya...seharusnya bapak tidak menjual sepeda motornya. Kalau sepeda motor itu ada aku tidak harus berangkat begitu pagi seperti ini. Aku juga tidak harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk sampai ke sekolahku karena bapaklah yang akan mengantar dan menjemputku.
***
Siang ini panas sekali. Walau sudah memasuki bulan September, hujan belum juga turun. Terik matahari siang ini sama seperti kemarin. Tenggorokanku terasa kering. Lututku ngilu. Aku masih belum terbiasa berjalan jauh seperti ini.
Di depan pintu rumah kulihat dua pasang sepatu bagus berjejer rapi. Siapa yang bertamu ke rumah? Pasti teman sekolah Kak Irni.
“Jadinya bagaimana, Ir? Kamu datang atau tidak di acara perpisahan kelulusan SMU kita?”
“Belum tahu, aku masih belum punya uang untuk menyewa baju adat buat perpisahan.”
“Itu bisa kita siasati. Kita bisa ngumpulin duit buat kamu.”
“Ya, Ir, kita bisa mengumpulkannya untuk kamu.”
Dugaanku tepat, dua orang anak perempuan itu adalah teman sekolah Kak Irni. Aku mengucap salam lalu bergegas melewati mereka, langsung ke loteng.
Rumah kami terdiri dari tiga bagian. Ruangan bawah hanya cukup untuk dua sofa tua yang berlobang di sana-sini yang sekarang menjadi tempat Kak Irni menerima tamunya, selebihnya didereti meja dan rak tua lapuk tempat peralatan memasak. Dan terakhir loteng, tempat kami bersama-sama nonton TV, tempat rak-rak pakaian, dan tempat bagi kami untuk beristirahat tidur.
Setelah teman-temannya pulang, Kak Irni naik ke loteng.
“Kak, kenapa sepeda motor Bapak dijual. Wawan capek jalan kaki ke sekolah.” keluhku padanya.
“Wan, sepeda motor Bapak dijual digunakan untuk beli beras dan modal Ibu jualan.”
“Jualan? Jadi, Kak, ibu akan jualan lagi?”
“Ya.”
Perkataan Kak Irni bahwa ibu akan jualan lagi membuatku merasa senang. Ibu akan jualan lagi! Hore...! Itu artinya, aku bisa ketemu Anto lagi. Kami bisa bermain-main bersama lagi. Aku juga bisa bertemu Budi anak penjual beras yang warungnya ada di pojok kanan pasar, bertemu Ima anak penjual sayur yang warungnya dekatan dengan warung mamanya Anto, dan aku juga bisa bertemu dan bermain dengan yang lainnya!
Ibu memang sudah lama tidak jualan. Sudah tiga bulan. Kata ibu, warung tempat Ibu jualan akan diperbaiki. Bahkan bukan hanya warung milik ibu, tapi seluruh pasar.
Nanti, kalau sudah diperbaiki, pasar tempat ibu jualan akan menjadi pasar yang bagus dan megah. Menurut ibu, sebutannya bukan lagi Pasar Banjarmasin, tapi Sentra Banjarmasin. Tempat itu katanya kelak akan menjadi tempat orang-orang berjualan terbesar di Kalimantan!
Membayangkan semua itu aku tidak dapat menahan senyumku. Sebenarnya dengan keadaan pasar yang dulu bagiku tidak masalah. Karena, asal bisa melihat ibu berjualan dengan tenang dan bisa bermain bersama-sama Anto, Budi dan Ima, itu semua sudah membuatku senang. Tapi, bila tempat ibu berjualan menjadi lebih bagus dan tempat kami bermain menjadi lebih luas, tentu itu akan jauh lebih menyenangkan bukan.
Tapi, tiba-tiba muncul pertanyaan di benakku. “Kak, berarti pasar tempat ibu jualan sudah selesai diperbaiki, ya?” kataku pada Kak Irni yang sedang melipat pakaian.
“Belum,” sahut Kak Irni.
Jawaban itu membuatku bingung.
“Terus, ibu jualan di mana?”
“Di pinggir jalan pakai gerobak.”
Mendengar jawaban Kak Irni kegembiraanku tiba-tiba hilang. Aku menjadi ketakutan.
“Kak, kalau ada razia, gimana? Kan jualan di pinggir jalan dilarang. Aku pernah melihat petugas-petugas berseragam mengambili gerobak pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan raya. Nanti gerobak jualan ibu bisa diambil oleh mereka.”
“Ibu jualannya jam 4 sampai malam. Jadi tidak akan kena razia.”
Perasaanku sekarang tidak tenang. Aku ingin sekali perbaikan pasar tempat ibu jualan dulu segera selesai. Aku ingin melihat ibu jualan di pasar pagi dan siang hari, bukan di gerobak pinggir jalan malam-malam. Aku juga ingin bertemu dan bermain dengan Anto dan yang lain...
***
Sudah dua bulan ibu berjualan di pinggir jalan. Sekarang, musim hujan telah tiba. Aku tidak menyangka, berubahnya keadaan membuatku tidak lagi menyukai hujan. Aku benci hujan!
Dulu aku menyukai hujan. Setiap hujan tiba, dan baru berbentuk gerimis, aku, Anto, Budi dan Ima akan berloncatan ke tepi pasar. Di sana kami melihat ke langit, berharap hujan dengan tetes-tetes air besar jatuh. Biasanya bila hujan lebat itu turun kami akan bergegas ke tanah lapang di dekat masjid untuk bermain bola. Atau kami juga bisa membuat sungai-sungai di atas tanah berpasir di belakang pasar.
Tapi sekarang... hujan selalu membuatku sedih.
Dua minggu lalu aku melihat wajah ibu sangat khawatir. Saat itu mendung, dan ibu akan berjualan di pinggir jalan dengan gerobaknya. Wajah ibu berubah muram dan sedih saat hujan benar-benar turun deras. Ibu menunda berjualan, menunggu hujan reda. Kata ibu, kalau hujan seperti itu, pembeli hampir tidak ada. Selain itu dagangan ibu akan basah. Aku telah tidur saat ibu berangkat, dan baru terjaga saat ibu dan bapak pulang, waktu itu malam sudah larut sekali.
Sejak itu, aku tahu hujan sore hari atau menjelang malam akan membuat ibu susah.
Selain itu, hujan yang turun pagi-pagi membuatku khawatir. Bapak tidak bisa mengantarku lagi. Aku tetap harus berjalan kaki ke sekolah walaupun hujan. Sepatuku dan seragamku selalu lembab dan kotor terkena percikan hujan. Padahal aku sudah memakai payung.
Dan kalau hujan turun siang-siang seperti sekarang ini, aku juga sedih. Aku kangen teman-teman. Sekarang, bila hujan seperti sekarang ini, aku hanya memandanginya saja. Tidak ada Anto, Budi dan Ima yang mengajakku bermain. Mereka sekarang di mana, ya? Apakah ibu dan bapak mereka juga jualan di gerobak seperti Ibuku?
Aku tahu, manusia tidak boleh membenci hujan. Hujan adalah ciptaan Allah. Dengan hujan, Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberi minum hewan, mengairi sungai-sungai. Manusia juga perlu air untuk keperluan hidupnya. Lagipula, membenci hujan sama saja membenci ketentuan Allah.
Ya, Allah, semoga hujan turun pada saat ibuku tidak jualan, tidak saat aku sedang berangkat ke sekolah, dan tidak siang-siang saat ingatan pada teman-teman membuatku menangis. Hujankan saja saat aku dan orang-orang sedang terlelap beristirahat...
***
Hujan masih berbentuk gerimis saat angkot yang kami tumpangi sampai di GOR. Hari ini, kami anak kelas V belajar berenang. Karena di sekolah tidak ada kolam renang, aku dan teman-teman diajak Pak Guru ke GOR.
Tapi, tunggu dulu! Rasanya aku mengenal jalan yang kami lewati tadi. Yah! Sekarang aku dapat mengingat dengan jelas. Letak GOR itu tidak jauh dari pasar, tempat ibu jualan dulu. Aku ingin sekali pergi ke sana. Aku ingin memastikan apakah tempat itu sudah hampir selesai? Aku ingin sekali ibu kembali jualan di situ.
Diam-diam, saat Pak Guru dan teman-teman sibuk berenang, aku pergi menjauh ke luar GOR. Aku tahu, pasar tempat ibu jualan dulu hanya berjarak beberapa ratus meter saja. Dengan setengah berlari, bergegas aku ke sana.
Lama kelamaan jalan yang kulalui mulai macet. Aku membayangkan, mungkin itu akibat proses perbaikan pasar. Untuk memperbaiki pasar, pasti digunakan banyak pasir dan semen. Pastilah bahan bangunan itu yang membuat jalanan macet.
Tapi dua ratus meter di depanku terbentang pemandangan yang membuatku kaget. Mungkinkah aku salah jalan? Jelas-jelas yang kulihat di depanku sekarang bukanlah pasar yang sedang diperbaiki.
Di hadapanku sekarang adalah halaman parkir yang luas dan bangunan besar dan megah. Ada banyak toko dan orang-orang hilir-mudik di sana.
Cepat-cepat aku memutar langkahku. Aku harus kembali ke GOR! Aku ingin cepat pulang dan memberitahu ibu. Ibu pasti senang kalau tahu tempatnya jualan dulu kini telah selesai diperbaiki.
***
Di rumah aku tidak menemukan ibu. Kata Kak Irni, ibu sudah pergi jualan. Memang sudah seminggu ini ibu jualan agak siang. Keluarga kami perlu uang untuk bayar uang biaya rumah sakit bapak. Dua minggu lalu bapak masuk rumah sakit. Kata dokter, bapak kena TBC. Uang sekolahku juga sudah 4 bulan belum dibayar. Semoga ibu tidak kena razia, aku berdoa sambil memejamkan mataku.
“Kak, tadi aku diajak Pak Guru berenang di GOR. Terus aku ke pasar tempat ibu jualan dulu. Ternyata, sekarang pasar itu sudah selesai diperbaiki.” Aku bercerita pada Kak Irni dengan bersemangat. Kak Irni pasti senang mendengar ceritaku.
“Kalau itu kakak sudah tahu,” jawab Kak Irni. Dan aku kaget sekali mendengarnya.
“Terus kenapa kakak tidak memberitahu ibu?”
“Ibu juga sudah tahu.”
“Kalau ibu tahu, kenapa ibu belum kembali berjualan di sana?”
“Wan, ibu tidak bisa lagi berjualan di sana. Kalau ibu mau kembali berjualan di sana, ibu harus membayar puluhan juta ke pihak pengelola pasar. Ibu tidak memiliki uang sebanyak itu.”
“Tapi kan warung di pasar itu dulu milik ibu. Mereka hanya memperbaikinya saja?”
“Wan, peraturan pemerintah sudah menetapkan seperti itu.”
Perkataan Kak Irni membuatku sedih. Kini aku tahu ibu tidak akan jualan di pasar lagi. Dan entah sampai kapan ibu akan jualan di pinggir jalan dengan gerobak. Aku juga tidak akan bertemu dan bermain dengan Anto, Budi dan Ima lagi.
Ini semua sungguh tidak adil! Seingatku, dari dulu ibuku sudah berjualan di situ. Warung itu milik ibu. Tetapi, mengapa setelah pasar itu diperbaiki ibu tidak boleh berjulan lagi di situ.
Aku harus ke kamar mandi. Di sana tidak ada yang akan melihat dan menggangguku. Aku bisa menangis di sana diam-diam dan lama.
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 30 September 2007
Alfianti, Dewi, dkk. 2008. Nyanyian Tanpa Nyanyian: Kumpulan Cerita Pendek Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Tahura Media
0 komentar: