Cerpen Khoiriyyah Azzahro: Sampe’ Lom Plaiy
Denting sampe’1) sayup terdengar. Merambat cepat di senyap malam. Menelusup lesat ke bilik lamin2). Tiap petikannya diiringi gemerisik ilalang berdesir ditiup angin. Siapakah gerangan pemetik sampe’ berdenting mendayu di gulita malam ini?“Dyang, ikaq3) sudah lihat tamu dari kota?” tiba-tiba Ka’ Luaq hadir di pintu lamin. Tanya ucapnya menyentakku, menghamburkan jalinan nada-nada tinggi sampe’ dalam birama ruang benak.
“Mereka sungguh dermawan, Dyang! Mereka akan buatkan jalan beraspal untuk desa kita”
Aku tersenyum mendengarnya. Kuraih gagang jendela dan membukanya. Klik!
Denting sampe’ lantang terdengar. Menggayut manja pada angin malam. Menyeruak lesat bersama dingin. Menerpa wajah dan leherku. Menggoyangkan uleeng4) manik dansapa’i5) beludruku. Aduhai, siapakah pemetik sampe’ yang alunannya mendayu di kala dingin temaram ini?
“Siang tadi, Kepala Adat meminta Ka’ menemani mereka melihat-lihat Laas Wehea6) esok”
Aku terdiam mendengarnya. Kurangkai kembali nada-nada tinggi sampe’ pada birama ruang benak.
“Dyang! Napa ikaq muha penyenguk tu?7) Pantas dingin sekali malam ini!” tiba-tiba Ka Luaq telah di dekatku. Kedua tangannya menggenggam helai-helai rumput panjang, daun pisang dan mandau8) kecil. Kedua alis di dahinya tertaut, raut wajahnya berkerut-kerut.
“Eh.. Jan9), Ka’!” tergeragap kuraih kembali gagang jendela dan menguncinya rapat.
“Sudah pukul tiga. Tuduu10), Dyang! Lom Plaiy11) besok akan lebih melelahkan dari hari ini. Bukankah ikaq harus bantu Mina12) Lenyiei membuat lemang13)?” Ka’ Luaq mulai menyila pada lantai lamin. Dengan cekatan, jemarinya meraut batang rumput panjang menggunakan mandau.
“Ka’ masih harus menyelesaikan tepa14) ini. Besok sudah tak ada waktu. Tuduu, Dyang!”
Denting sampe’ lamat terdengar. Merambat cepat di senyap malam. Menelusup lesat ke ruang dengar. Petiknya ditingkahi gemerisik ilalang bak ansambel orkestra alam. Siapakah pemetik sampe nan mendayu di gulita malam ini? Mengapa jalinan nadanya terdengar begitu lirih dan sendu?
Perlahan, Kutarik selimut panjang ke sekujur tubuh. Duhai Sang Pemetik Sampe’, teruslah dentingkan sampe’-mu. Bawalah diriku menari menuju nirwana serupa burung enggang15)nan elok…
***
Wajah Hepui16) memerah menahan getir. Bulir-bulir kristal menyeruak dari pelipisnya. Berpadu dengan air matanya. Melesak-lesak berkejaran. Tangannya gemetar mengenggam mandau tajam yang baru diasahnya.
“Dyang, anakku…“ bergetar namaku disebutnya.
“Indu17) amat menyayangimu! Indu tak bisa penuhi perintah Dohton Tenyei18) di mimpi itu, Nak!”
Aku tergugu. Tak tahu bicara apa. Kutatap sekelilingku. Tampak Apang19) dengan genangan airmata
dan raut penyesalan yang tak jua pergi dari wajahnya.
Kuraih jemari ringkih Hepui dan lengan lemah Apang, “Indu… sebagai Hepui, Indu tak boleh lemah. Apang… yakinkanlah Indu tuk segera melaksanakan perintah mimpi itu padaku!”
Indu menggeleng lemah “Tapi, Long Dyang… tak mungkin Indu mengorbankanmu, Nak!”
Wajah Hepui menjelma pucat. Bulir-bulir kristal menderas dari pelipisnya. Bercampur dengan airmatanya. Melesak-lesak berkejaran. Tangannya gemetar menggenggammandau tajam yang baru diasahnya.
“Sial! Mengapa semua ini harus menimpaku?!” rutuknya.
Aku tergugu. Tak mengerti berkata apa. Kupandangi sekitarku. Tampak Mina Lenyiei dengan wajah tirus yang terpancar sejak seminggu lalu. Ibu dari sepupuku itu terlihat semakin ringkih dan lemah. Ah.. pasti beliau telah lama menahan lapar dan dahaga.
Ada dada ceking Beow, perut busung Hat Huvang, mata cekung Hivan Deoh, dan wajah pucat Ka’ Tekla Liah. Para sahabat masa kecilku itu pasti turut menahan lapar dan dahaga. Entah sampai kapan semua ini? Mengapa kemarau panjang ini tak jua berkesudahan? Musim petik belum lagi, sudah tiba musim tanam. Apa yang dapat kami tanam, bila tak ada yang kami tuai dari panen sebelumnya? Kemarau panjang ini hanya menciptakan malam-malam penuh igauan di tidur Hepui.
Kubelai jemari ringkih Hepui, “Indu.. Bukankah Indu ingin melepaskan desa kita dari derita kelaparan ini? Maka, laksanakanlah segera, Indu!”
Indu menatapku tajam “Dyang.. Mengertilah! Indu tak bisa, Nak! Indu tak sanggup!”
TRANGG!! Tiba-tiba mandau di tangan Hepui terlepas. Sengal-sengal nafas dari mulutnya. Menggema-gema berpantulan. Matanya menatap nanar sekeliling. “O.. Dohton Tenyei! TIDAAAK!!!”
***
“Hosh! Hosh! Hshsh…” nafasku tersengal. Hilang timbul satu persatu.
BRAKK!! Pintu bilik kecilku terbuka. Ka’ Luaq hadir tergesa di sana. “Dyang!! Ikaq napa?”
“Jan! Cuma mimpi, Ka’! ” nafasku masih tersengal. Hilang timbul satu persatu.
Ka’ Luaq meletakkan telapak tangannya pada pelipisku.
“Dyang! Ikaq sakit!” Tergesa Ka’ Luaq meraih secarik kain di tumpukan pakaianku. Membasahinya dengan sisa air di cawan dan meletakkannya pada pelipisku.
“Sebaiknya, hari ini ikaq istirahat saja di lamin. Ka’ akan katakan pada Mina Lenyiei bahwaikaq tak bisa bantu membuat lemang hari ini” lurus Ka’ Luaq menatapku.
Kubalas tatapannya dengan rasa sedih yang tiba-tiba hadir. “Jan! Akei sayi20), Ka’!”
Maafkan Aku, Ka’! Kaulah satu-satunya keluarga dan harta yang kumiliki semenjak ketiadaan Indu dan Apang. Tapi kini, Aku hanya akan membuat Kau malu. Ah.. bodohnya diriku ini!
Kulepaskan kain basah di pelipisku. Menguatkan diri beranjak dari dipan dan menggapai sisa buah
pis21) di meja. Tiba-tiba.. Kepalaku bak keliling yang berputar-putar. Perutku bak pusaran yang teraduk-aduk. Aku terhuyung di ambang bilik lamin. Mual itu terasa kembali “Wueekkkk…”
Tergesa Ka’ Luaq berlari ke arahku. Mencoba menopang tubuhku.
“Dyang! Ikaq napa? Ikaq ni benar-benar sakit?” kepanikan amat nampak di wajah Ka’Luaq.
Bergegas Kutuju gerbang lamin. Meninggalkan Ka’ Luaq dengan wajah penuh tanya dan rasa penuh cemas. Maafkan Aku, Ka’! Aku tak dapat menjaga diriku…
Rasa mual makin menjadi tatkala langkahku tiba di tepi Sungai Wehea. Udara pagi masih teramat segar, riak air masih terpercik berbinar. Gemericiknya meningkahi tarian daunjahap22) yang merimbuni kokohnya puluhan naq jengea23) di tepi sungai.
Benakku melaju pada keramaian empat puluh hari nan lalu. Kala seluruh warga bersorai menyaksikan puluhan perahu hias yang berdatangan dari hulu desa. Dari naq jengea,perahu-perahu itu bak malaikat yang turun dari Laas Wehea, surga hutan lindung Kami. Ia ‘memapah’ pulang orang terkasih Kami. Ia ‘memanggul’ hasil jerih terbaik Kami. Perahu-perahu hias itu dipenuhi berton-ton padi, sayur-mayur, buah-buah segar, hingga buah pisberbau menyengat dan rotan kotok24) bersulur.
Namun, hanya satu yang kutunggu. Seraut wajah sendu yang menghapuskan seluruh sepiku. Seraut wajah sendu yang membangkitkan seluruh harapanku. Wajah sendu yang tersembul diantara perahu-perahu hias itu. Wajah sendu Ledan.
Kala itu, empat puluh hari di awal Lom Plaiy, wajah sendu yang selalu hadirkan sejuk sanubariku itu kupandang dalam-dalam. Luapan rindu menggebu di atas hasrat dan keringat, datang tiba-tiba. Kala itu, empat puluh hari di awal Lom Plaiy, wajah sendu yang selalu hiasi palung hatiku itu kupandang dalam lekat. Luapan nafsu memburu di antara nafas dan desah, hadir seketika. Amai Biooq25)… Ampunilah Aku!
“Ka’ Dyang!” Seseorang memekikkan namaku sembari berjingkat melintasi dahan jahap.Hivan Deoh? Gawat! Tak biasanya sepupu perempuanku itu turun ke sungai di pagi hari begini. Kuciduk air sungai lalu kubasuhkan pada wajah. Cepat! Jangan sampai Ia mencurigaiku!
“Ada apa, Hivan?” tanyaku sambil menahan rasa mual yang tiba-tiba kembali hadir.
“Ka’ Dyang, hari ini.. ikaq sibuk?” Hivan balik bertanya padaku. Sepasang belaong26)-nya berkilat diterpa cahaya mentari pagi.
“Sibuk? Bukankah hari ini semua perempuan akan sibuk? Kita akan memasak banyaklemang”
“Eh.. oh.. maksud Akei…“ kalimat Hivan terhenti. Pandangannya lekat tertuju padaku.
“Ka’ Dyang, Ikaq pucat! Ada apa? Sakit kah?”
Aku tergeragap. “Jan! Hanya masuk angin” dustaku. Tergesa kuraih buah pis, lalu melemparnya ke permukaan sungai. Riak segera menyambut dan melarutkannya ke hilir.
“Kenapa buah...”
“Jan kei boee27)!” kupotong kalimat Hivan sembari mengibaskan jemari di depan penciumanku.
Semoga Hivan tak curiga padaku…
Hivan menoleh ke kanan-kiri. Tergesa Ia berbisik padaku. “Akei sutai ikaq28)! Rahasia!”
Belum sempat kutanyakan maksud ucapannya, Hivan telah menarik cepat lenganku. Terseok kuiringi langkahnya menuju semak-semak di dekat eweang29). Dari sela rerumputan panjang, terlihat Ngesea Egung30) telah berdiri kokoh di sana.
“Hosh.. hosh.. Ada apa, Hivan?” tanyaku terengah pada Hivan.
Hivan menarik nafas panjang sebelum berkata “Dengar, Ka’! Ini rahasia! Malam tadi, Akeilihat tiga lelaki bertamu ke rumah Ka’ Tekla Liah. Mereka berbicara tentang batubara, timah, dan...” kalimat Hivan terhenti. Tubuhnya makin merangsek ke arahku. “Mereka berbagi uang yang banyak!“ bisik Hivan gusar.
Seketika tenggorokanku tercekat erat “Ikq.. Ikq… Ikaq pasti salah lihat! Ikaq pasti salah dengar!”
“Jan! Akei tak salah dengar, Ka’! Akei tak salah lihat! Ka’ Ledan juga di sana”
DEERR!! Bagai petir menyambar ubun-ubun, Aku terperanjat tiada kepalang. Amai biooq… Benarkah itu? Untuk apa Ledan bertamu ke rumah perempuan itu? Siapa sesungguhnya dua orang lelaki itu? Adakah semua ini berhubungan dengan cerita Ledan terdahulu?
Sungguh tak kan kulupa, kala suatu hari Ledan bertutur padaku tentang angan dan ambisinya tuk menemukan batu bara dan timah yang konon dikandung Bumi Wehea. Menurutnya, kemakmuran akan cepat dirasakan desa ini, bila pepohonan, lahan, seluruh kekayaan Laas Wehea dikelola orang-orang kota.
Barendeng31)!! Sampai kapan pun, Laas Wehea tak boleh diobrak-abrik sesiapa pun dengan alasan apa pun! Itu titah leluhur! Titah Dohton Tenyei!
“Ka’ Dyang.. tadi Akei lihat Ka’ Luaq bersama orang-orang asing. Siapa mereka?”
“Tamu dari kota, Hivan! Mereka yang akan membuatkan jalan beraspal untuk desa kita. Desa kita akan lebih baik nantinya. Mereka sungguh berbudi kan, Hivan!?” Aku berujar penuh kegirangan.
“Jan!” ucap Hivan setengah berteriak. Matanya melotot tajam padaku.
“Mereka ke sini bukan untuk itu, Ka’ Dyang! Mereka akan mengambil Laas Wehea!”
Rasa girangku seketika menguap. Lenyap.
“Lihat!” telunjuk Hivan tertuju pada benda yang amat besar, tepat di belakang eweang.
“Kemarin, orang-orang asing itu merubuhkan pepohonan di perbatasan desa dengan benda itu. Apa mereka juga akan merubuhkan pepohonan Laas Wehea dengan itu?” geram Hivan.
“Kata Ka’ Luaq, itu eska.. es - ka - va - tor” terbata kusebutkan nama aneh benda itu.
Hivan menggeleng-gelengkan kepalanya “Ka’ Dyang, benda itu.. orang-orang itu.. harus segera pergi dari desa ini! Bila tidak, kita akan menanggung segalanya kelak!”
Aku tercenung. Sanubariku dihinggapi gelisah tak terkira. Duhai.. Amai Biooq! Jangan biarkan Aku menjadi munafik teragung di desa ini…
***
Denting sampe’ sayup terdengar. Merambat cepat di pekat malam. Menelusup lesat ke bilik lamin. Petikannya makin samar terbaur tabuhan jatung utang32) dan pukulan genikng33) membahana dari tanah lapang. Engkaukah pemetiknya? Untuk siapa alunan nada itu Kau persembahkan? Untukku-kah?
“Dyang, napa ikaq hinih34)? Semua orang telah berkumpul di lapangan. Tumbambataq35) akan segera
Disajikan!” ucapan Kak Luaq menyentakku, menghamburkan paduan harmoni dentingsampe’, tabuh jatung utang dan gaung genikng dalam ruang dengar.
“Lekaslah, Dyang!” Hampir saja kakiku tersandung saat Kak Luaq menggamitku. Sekejap, Aku telah berada di tanah lapang yang di penuhi warga desa. Sekelompok penari membenahi letak topi bulu burung enggang mereka. Anak-anak menatap sambil bergelayut manja pada lengan indu mereka. Hat Huvang tersenyum menggoyang-goyangkan kuping panjangnya. Beow mengusap-usap rimbai36)-nya yang tampak kusut.
Tapi... dimana Hivan Deoh? Mengapa Ia tak tampak?
BLAMM!! Lampu petromak besar dinyalakan. Kaki-kaki besar dan kecil, tubuh-tubuh lemah dan kekar, perempuan-lelaki, semua berduyun mengelilingi cahaya besar di tengah lapangan. Tabuhan jatung utang mengawali gerak tangan ke depan-belakang lentik-gemulai. Pukulan genikng mengiringi langkah kaki berjingkat-menggeser berputar-menghentak.
“Ka’ Dyang!” tiba-tiba Hivan telah di dekatku. Tubuhnya berlenggok lincah seiring irama.Tapung37) di kepalanya indah sekali. Serasi dengan uleeng-nya.
“Leki jan Ikaq fetavo38), Kak Dyang! Ikaq sudah sehat?”
Aku menggangguk dan tersenyum sambil melenggak-lenggokkan tubuh.
“Baguslah kalau begitu. Tadi, seluruh warga telah memutuskan siapa pemimpin embos min39) esok”
“Oya? Siapa? Pasti Ka’ Tekla Liah!” tebakku.
“Jan! Tapi ikaq!”
Deg! Aku terperanjat. Tarianku terhenti. “Apa? Mak-sud ik-aq…”
“Ya! Ikaq, Ka’ Dyang! Ikaq-lah perawan desa yang Kami hormati. Sudah sepantasnya bilaikaq yang memimpin embos min kali ini”
Amai Biooq! Bagaimana ini? Aku tak boleh memimpin barisan suci itu.
“Tapi, bukanlah Ka’ Tekla Liah lebih dewasa dariku? Mengapa bukan Ia?”
Tarian Hivan ikut terhenti. Ditatapnya wajahku lekat. Dicengkramnya lenganku erat. “Semua perempuan selalu mendambakan memimpin embos min. Mengapa ikaq menolak, Ka’ Dyang?”
Ah.. Harus bagaimanakah Kujawab tanya itu? Haruskah kini Kuungkapkan aib diriku?
Sunyi tiba-tiba memenuhi jiwaku. Suara tetabuhan jatung utang dan pukulan genikng sirna di lorong benak. Hanya denting sampe’ yang terdengar. Mendayu merdu iramanya. Menelusup lesat ke bilik dengar. Tiap petikannya menghanyutkan rasa. Tiap dentingnya melarutkan jiwa. Lamat kurasa gerak tangan kakiku tak lagi beraturan, pandang mataku kian samar dan benakku kian mengembara. Duhai Sang Pemetik Sampe’… Segeralah bawa daku ke nirwanamu!
***
Wajah Hepui memerah menahan amarah. Bulir-bulir kristal menyeruak dari pelipisnya. Beradu sengit dengan airmatanya. Di tangannya terhunjam mandau tajam. Tepat ke arahku.
“Long Dyang! Keparat!! Kau nodai kesucianmu dengan pemuda itu!” nafas Hepuimemburu.
“Telah Kukorbankan Engkau demi perintah Dohton Tenyei. Tapi Kau? Kau hinakan Aku dengan ulahmu! Kau biarkan mereka menjarah hutan kita! Menjarah tubuhmu!”
Aku tergugu. Tak tahu bicara apa. Kutatap sekelilingku. Riuh dan gaduh penuh. Wajah-wajah penuh benci, nanar memandangiku. Mulut-mulut penuh sorak, caci memakiku.
“Long Dyang! Kau seharusnya menjaga Kami! Menjaga hutan Kita! Kau tlah Kukorbankan tuk menyelamatkan desa dari kesengsaraan. Mengapa Kau mengkhianatiku? MengkhianatiDohton Tenyei!”
Aku tergugu. Tak sanggup berkata apa. Kutatap sekitarku. Ramai dan sorak permai. Wajah-wajah penuh pilu, mereka yang menyayangiku. Apang, Ka’ Luaq, Biooq Kepala Adat, Hivan Deoh, Hat Huvang, Beow, Mina Lenyei dan… Ledan!
Wahai, Ledan! Kemarilah! Tolonglah Aku! Katakan pada Hepui… pada mereka semua… Aku tak sehina yang mereka kira. Aku tak mengkhianati sesiapa pun. Tak jua Amai Biooq…
Aku hanya tergugu. Mengapa Ledan diam saja di sana? Tak didengarnyakah rintihanku? Kala jemari kiri Hepui mulai menyingkap sapa’i beludruku. Membiarkan udara dingin mememapar kulitku.
Ledan, O.. Ledan! Cepat kemarilah! Katakan pada Hepui, pada mereka semua. Janin ini suci adanya. Begitupun dengan Kau dan Aku. Juga Laas Wehea. Akh! Hanya beberapa batang pohon dan sedikit batubara. Tak mungkin hutan itu merana.
Aku masih tergugu. Mengapa Ledan tiada berlaku? Tak dirasanyakah kegundahanku? Kala lengan kanan Hepui mulai terangkat tinggi di hadapanku. Memamerkan mandau tajamnya yang berkilat. Siap menghunjamiku.
Terdengar lirihnya “Bersiaplah, Long Dyang! Ya.. Dohton Tenyei…. Berkatilah!!“
Ledan, O.. Ledan! Cepat cegah Indu! Aku tak ingin seperti Long Dyang Yun yang mati konyol di tangan ibu kandungnya sendiri. Katakan Ledan! Bukan Long Dyang Yun penyebab kemarau dan kelaparan itu. Tapi mereka, orang-orang kota pembawa benda aneh itu. Mereka yang telah memporakkan Laas Wehea. Mereka yang telah memporandakan hutan kita!
Aku makin tergugu. Mengapa Ledan? Mengapa Indu? Mengapa Aku? Dan lengan kananHepui kian tertuju padaku. Memamerkan mandau tajamnya yang berkilat. Siap menghunjamiku.
“Oo.. Dohton Tenyei… Terimalah pengorbananku ini!
KRESS!! “Aaaakhhhh!!”
***
Denting sampe sayup terdengar. Mendayu lesat ke penjuru nirwana. Merambat cepat ke birunya angkasa. Petikannya hilang tertelan lengkingan perempuan. Siapakah yang meratap di pagi ini?
“Dyang… Bangun, Dyang!” samar suara dan wajah Ka’ Luaq membayang di pelupuk mataku.
“Syukurlah ikaq sadar, Dyang!” terdengar lembut suara Mina Lenyei. Di sampingnya berdiri Hivan Deoh, Biooq Kepala Adat dan Ka’Luaq. Ahh.. Hanya kalianlah yang selalu ada di saat Kubutuhkan.
Tolong… Jangan Kalian hinakan diriku! Jangan Kalian tinggalkan diriku!
“Mina, Akei mohon.. Hivan atau Ka’ Tekla Liah saja yang memimpin embos min. Jangan diriku!”
Dahi mina berkerut menatapku curiga. Namun, Ia tetap berkata “Baiklah, Dyang! Ikaqistirahat saja di sini. Luaq, Hivan, Apang.. sebaiknya kita pergi. Biarkan Dyang beristirahat dahulu”
Tiada yang berucap. Ka’ Luaq mendekat, mencium keningku, lalu pergi. Diikuti oleh Hivan dan Biooq Kepala Adat, Saat Mina Lenyei hendak beranjak pergi, Kugenggam erat lengannya.
“Ada apa, Dyang?”
“Mina, maafkan Akei! Pasti mina sudah…” airmataku mulai turun.
“Ya, Dyang. Hanya perawan desa yang boleh memimpin embos min. Katakan… siapa yang melakukannya padamu? Siapa ayah janin itu?”
Amai biooq.. tolonglah Aku! Haruskah kuungkapkan aib ini? Aku tak sanggup menjawabnya.
“Baiklah! Tak apa bila ikaq tak ingin mengatakannya. Tapi… “
Mina Lenyei mendekatkan wajahnya kepadaku. “Segeralah berkemas, Dyang! Esok pagi sebelum embos min, Mina temani ikaq menuju hutan perbatasan. Di sana ada sebuahpuduk40) yang masih bagus tuk ditempati. Tinggallah di sana hingga janin itu lahir!”
Mina Lenyei mengusap jemarinya pada pelipisku. “Berlakulah seolah ikaq barendeng,Dyang! Hingga takkan ada seorang pun yang kan tahu aib ini. Berkemaslah segera!”
***
Denting sampe’ kian samar terdengar. Membumbung lesat ke angkasa. Menghilang cepat ke nirwana. Petikannya lenyap tersaput tangisan perempuan. Siapakah yang merana di pagi ini?
“Ayo, Dyang.. lakukan tugas ikaq!” bisik Mina Lenyei sambil menuntunku menuju gerbanglamin.
“AAaakh! Hentikan semua ini!!” teriakku. Tubuhku meronta-ronta. Tanganku menggapai-gapai. Kakiku menendang-nendang. Hampir saja Mina Lenyei terhempas. Dieratkannya gamitan lengannya.
Seketika puluhan mata tertuju padaku. Kata-kata terlontar untukku. Ada yang bersembunyi ke dalam lamin. Ada pula yang mengintip dari jendela. Pun yang terpana dan menggeleng-geleng saja.
“Bagus, Dyang! Teruslah! Teruslah begitu!” bisik mina kembali.
“Aaakhkh!! Hentikan membabat hutan Kami! Hentikan merusak hutan Kami!“ teriakku kembali.
Tubuhku kian kuat meronta. Tanganku kian liar menggapai. Kakiku kian hebat menendang.Mina Lenyei terkejut. Sandiwaraku teramat berani. Mataku kian awas menatap sekeliling. Itu dia! Salah satu lelaki yang pernah Kulihat pergi bersama Ka’ Luaq kala mengunjungiLaas Wehea.
Kuhempaskan tubuh sekuatnya hingga gamitan Mina Lenyei terlepas. Dengan cepat kuhampiri lelaki itu, salah satu tamu dari kota itu. “Ikaq dengar!! Berhentilah menyakiti bumi Kami! Berhentilah menghancurkan hutan Kami! Berhenti sekarang jugaaaaa!!” teriakku. Lelaki itu terlonjak tiada kepalang.
Kuedarkan pandang ke seluruh desa. Tatapku tertuju pada lamin keluarga Ledan tak jauh dari lamin keluargaku.
“Ledan!! Kemari ikaq!!” teriakku. Semua mata ikut tertuju pada lamin keluarga Ledan. Tampak sosok lelaki di balik jendela. Itu dia!
“Ledaaan!!” teriakku sembari berlari. Tepat ketika Ledan tergesa menutup gerbang lamin-nya, Aku tiba di sana. Sesaat tatapku beradu dengan tatapnya. Terpancar rona kegusaran di matanya. Segera Ia berbalik arah, berlari menyusuri rahi’41).
“Ledan.. mau kemana ikaq??” teriakku sambil menyusul langkahnya. Sebuah mandau yang terpajang di salah satu dinding bilik menyita pandanganku. Kuraih cepat mandau itu. Membuka sarungnya dan membiarkannya terhunus di genggamanku.
Ledan tiba di pintu biliknya dan tergesa menarik gagang pengunci. Terdengar dengusnya, “Hah! Sial!”. Rupanya Ia tak dapat menutup pintu itu dengan baik.
“Ha ha.. Ledan! Mau kemana ikaq?”
Ledan terperanjat mendapati diriku di hadapannya dengan mandau terhunus di genggaman.
“Tenang, Dyang! Tenanglah! Untuk apa mandau itu? Ayo.. Lepaskan mandau itu, Dyang!”
“JAN! HA.. HA.. HA…” teriakku. Tawaku menggema memenuhi lamin.
“Ikaq ni barendeng, hah?? Amai biooq… Syaitan mana yang merasukimu, Dyang?”
“Barendeng? Gila? Ha ha! Kau yang gila Ledan! Berdalih membuatkan jalan mulus beraspal tuk desa ini, ikaq bersama orang-orang itu malah merusak dan menghancurkanlaas Wehea! Munafik!”
“Bicara apa ikaq ni, heh?! Barendeng!” sinis Ledan.
“Akei sutai ate’lan42), Ledan!” teriakku.
Ledan menatap tajam mataku. Dan tiba-tiba saja Ia tertawa sejadinya. Sungguh,barendeng!
“Ha ha ha! Laas Wehea? Ha ha ha! Dyang.. Dyang.. Hanya beberapa batang pohon dan sedikit batubara. Tak kan mungkin hutan itu merana, Dyang! Tak kan mungkin!”
Hey! Kalimat itu… Ternyata, kalimat itu bukan milik Long Dyang Yun seperti dalam mimpiku. Ternyata, kalimat itu terlontar dari mulut busuk Ledan. Keparat!!
“Bumi Wehea ini milik kita, Dyang! Laas Wehea adalah surga kita! Jadi, nikmatilah saja. Tiada guna memelihara pohon-pohon itu! Lebih baik mereka kita tukar dengan kebahagiaan. Ha ha ha..”
“Dohton Tenyei memerintahkan kita untuk menjaga Laas Wehea, Ledan! Tak boleh diporak-porandakan! Ingat.. Laas Wehea adalah milik masa depan desa ini! Milik anak cucu kita!!” geramku.
“Oo.. Dyang sayang! Mengapa khawatir terhadap masa depan. Ingatlah janjiku! Jika kita menikah kelak, Kau dan Aku kan menjadi orang termakmur.. terpandang di desa ini. Apa yang Kau inginkan? Sapa’i sutera? Ulếng emas? Dengan Laas Wehea, semua itu mudah saja. Masa depan kita pasti bahagia!”
“Omong kosong! Buang saja impianmu itu, Ledan!”
“Hmm.. Kau tak percaya padaku?” suara Ledan melembut. Jemarinya menyentuh pipiku.
“Katakan.. Apa yang Kau inginkan, Dyang? Kau ingin kutemani saat diasingkan di hutan? Baiklah! Dengan senang hati..” suara Ledan melembut. Lengannya mencoba memelukku.
“Terimakasih, Ledan!” lirihku. “Tapi, Maaf.. Aku hanya ingin ikaq rasakan ini!”
KRESS!! “Aaaakhkh….” rintihan memilukan terdengar dari mulut Ledan. Pelipisnya basah oleh keringat. Tubuhnya hampir terjungkal bila saja Ia tak segera mencengkram kuat tianglamin di belakangku. Bagian perutnya mulai dialiri darah segar. Mandau itu telah Kutancapkan di sana.
Aku mulai meronta sejadinya. Mencoba melepaskan diri dari dekapannya. Kuhempaskan kaki dan tangan sekuatnya. Kugerakkan tubuh ke segala arah. Namun Ia telah mengunci gerakku.
“Akhkh… “ kembali rintihan memilukan itu terdengar. Pelipisnya makin basah oleh keringat. Tubuhnya hampir terjungkal kala cengkramannya pada tiang lamin terlepas. Lengan kirinya memegangi perutnya yang berlumur darah. Tep! Secepat mungkin Ia mencabut mandauyang tertancap di sana.
Aku masih meronta sejadinya. Mencoba membebaskan diri dari dekapannya. Hingga tiba-tiba… Sendiku bagai dijalari dingin, seluruh tubuhku bak dirambati nyeri. Sanubariku pilu. Jiwaku sendu. Hanya bagian bawah perutku yang dirayapi hangat.
“Dyang.. Hh.. Ki-ni.. “ terbata ucapannya. “Kau tak-kan… da-pat.. me-no-lak-ku. Me… ni…”
BRAAKK!! Tiba-tiba Ledan ambruk begitu saja sebelum menyelesaikan kalimatnya.
Denting sampe’ sayu terdengar. Merambat cepat di hampanya hati. Menelusup lesat di gundahnya sanubari. Tiap petikannya menambah kosong jiwa ini.
Duhai Amai Biooq… Kini, usai sudah tugasku. Kan Kukatakan pada semuanya, bahwa Laas Wehea telah aman dari pengganggunya. Hutan kami akan tetap lestari. Hutan kami akan selalu abadi. Titah Dohton Tenyei telah kupenuhi. Mimpi Hepui telah kutepati.
“Dyang! AAA…” seseorang memekik di pintu bilik. Mina Lenyei??
Oh, Mina.. Aku tak mengapa! Tak perlu menyusulku. Usahlah khawatir padaku. Kita akan segera ke hutan itu. Rencana kita kan segera berjalan sebagaimana mestinya. Aku kan berpura-pura pesakitan dan barendeng, hingga janin ini lahir ke dunia. Janin yang kan menjadi aib diriku sepanjang masa.
“Dyang… mengapa jadi begini?” Mina Lenyei berlari ke arahku. Di renggutnya sebuah kain di dinding lamin, lalu membalutkannya pada bagian bawah perutku. Mandau itu masih bersarang di sana.
“Mi - na..” suaraku tiba-tiba tercekat di tenggorokan. Pandanganku tiba-tiba mengabur. Seluruh sendiku terasa ngilu.
“Dyang!! Bertahanlah!” samar suara Mina terdengar. Suara yang lembut. Selembut belaianindu. Lamat.. dingin terasa di sekujur tubuhku, gelap tampak di seluruh pandangku. Dan denting itu?
Denting sampe’ nan sayup itu terdengar lagi. Merambat cepat di bilik dengarku. Menelusup lesat ke ruang sanubariku. Tiap petikannya diiringi isak tangis perempuan. Duhai pemetik sampe… Aku ingin segera tiba di nirwanamu…
Keterangan Istilah dan Bahasa Suku Dayak Klan Kayan Wehea, Kalimantan Timur :
1)sampe’ : alat musik petik khas Suku Dayak yang terdiri dari tiga atau empat dawai dan menghasilkan suara petikan yang khas dengan nada-nada tinggi,
2)lamin : rumah adat Suku Dayak Klan Kayan dan Kenyah yang besar ukurannya mencapai 200 meter X 25 meter,
3)ikaq : kamu, anda,
4)uleeng : kalung khas Suku Dayak yang terbuat dari manik berwarna-warni,
5)sapa’i : baju tanpa lengan terbuat dari beludru berwarna hitam atau biru tua yang diberi hiasan manik-manik dan benang emas di pinggirnya,
6)Laas Wehea : Hutan Lindung Wehea yang dahulu merupakan tanah ulayat sebelum berubah fungsi menjadi hutan lindung. Kini, Laas Wehea mulai berkurang baik luas dan jumlah ekosistemnya dikarenakan kesalahan kebijakan pemerintah masa lalu. Namun masyarakat sekitar masih berupaya melestarikan Laas Wehea,
7)Napa Ikaq muha penyenguk tu? : Mengapa Kau buka jendela itu?
8)Mandau : senjata khas Suku Dayak,
9)Jan : tidak, jangan,
10)tuduu : tidurlah,
11)Lom Plaiy : erau/pesta padi untuk mensyukuri hasil panen dan sebagai tanda penghormatan terhadap Long Dyang Yun. Legenda Long Dyang Yun merupakankisah seorang Ratu yang menyembelih Putri kandungnya sendiri karena perintah dari Dohton Tenyei dalam tidurnya,
12)mina : tante,
13)lemang : penganan khas penduduk Kalimantan (termasuk suku Kutai dan Banjar). Terbuat dari beras yang dimasukkan ke dalam bambu dan dibakar,
14)tepa : semacam baju perang yang terbuat dari daun rumput panjang,
15)burung enggang : disebut juga ‘burung tinggang’, merupakan burung cantik khas endemik Kalimantan. Gerak gemulai dan anggunnya menginspirasi Suku Dayak menciptakan tari-tarian yang berkisah tentang burung ini. Seperti Tari Gong, Tari Enggang Mandi dan Tari Tinggang Moru,
16)Hepui : ratu,
17)indu : ibu,
18)Dohton Tenyei : Dewa Penguasa Alam Semesta,
19)Apang : ayah,
20)akei sayi : aku sehat,
21)buah pis : sejenis buah petai,
22)jahap : jenis rotan besar yang tumbuh dan hidup subur di dataran tepi sungai
23)naq jengea : pondok darurat kecil di pinggir sungai,
24)rotan kotok : sejenis rotan bersulur panjang dan kecil yang difungsikan menjadi semacam tali,
25)Amai biooq : Tuhan,
26)belaong : anting-anting bulat dari logam berjumlah banyak. Para wanita Suku Dayak meyakini mereka tak cantik bila tidak mengenakan belaong,
27)jan kui baoee : aku tak suka baunya,
28)akei sutai ikaq : kuberitahu kamu,
29)eweang : tempat/bangunan pusat kegiatan ritual (semacam kuil),
30)ngesea egung : gong besar yang dipukul untuk menandai dimulainya Lom Plaiy dan kegiatan-kegiatan masyarakat lainnya,
31)barendeng: gila, tidak waras,
32)jatung utang : alat musik sejenis gendang yang panjangnya mencapai tiga meter,
33)genikng : alat musik sejenis gong,
34)napa ikaq hinih : mengapa kau di sini?
35)tumbambataq : tarian khas dayak yang dilakukan pada malam hari,
36)rimbai : rompi,
37)tapung : topi khusus perempuan yang diberi hiasan manik-manik,
38)leki jan ikaq fetavo : kukira kau tak hadir,
39)embos min : ritual membersihkan desa dari segala kesialan dan kejahatan yang dilakukan oleh para perempuan dengan berbaris satu persatu sambil memercikkan kemenyan dan membaca mantra. Pemimpin embos min haruslah seorang perawan yang belum menikah atau digauli,
40)puduk : gubuk kecil,
41)ra’hi : lorong panjang dan lebar di antara bilik-bilik lamin,
42)akei sutai ate’lan : aku bicara yang sesungguhnya
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/khoiriyyah-azzahro/sampe-lom-plaiy/156624357756558
0 komentar: