Cerpen Jalindarussari: Lelaki di Tepi Sungai

23.02 Zian 0 Comments

Langit senja hari ini begitu cantik. Memang, terlalu hiperbolis kalau aku berkata demikian. Toh, langit senja di bulan Juni memang selalu begini. Tapi tahukah kalian apa yang membuatnya semakin terlihat cantik setiap harinya? Rasa syukur. Ya, rasa syukurlah yang membuat langit senja yang kulihat ini semakin cantik saja. Coba kalian amati dengan seksama gradasi-gradasi warna antara biru dan jingga di ufuk barat sana. Subhanallah, bayangkan jika esok kalian tak dapat melihatnya lagi. Aku rasa kalau itu aku, aku akan menangis hingga kelenjar lakrimalisku tak berproduksi lagi. Karena kalian tahu hanya pemandangan inilah yang biasanya menemaniku, yang mampu membuat hatiku tenang, karena aku tahu ia tak pernah mengabaikan…

Ditutupnya buku diary berwarna putih yang ada di tanganya sesaat setelah ia menulis di salah satu halamannya, kemudian diary itu ia masukkan ke dalam tas. Dipasangnya kembali headset ke telinganya. Alunan suara Rie Fu, penyanyi asal Jepang itu begitu indah terdengar.

Nobody know who I really am… 
I never felt this empty before… 
And if I ever need someone to come along… 
Who’s gonna comfort me and keep me strong? 

Kalimat itulah yang paling disukainya setiap ia mendengarkan lagu Life is Like A Boat ini. Dipandangnya langit barat lekat-lekat sambil mengayunkan kedua kakinya yang menjuntai di tepi jembatan. Menikmati kibasan angin tepian sungai sore hari. Menikmati senja seperti inilah yang selalu dilakukannya setiap hari.
Tetesan air hujan pertama mulai jatuh ke sungai membentuk gelombang kecil namun berada tepat di hadapan gadis itu. Nadia, gadis penyendiri itu, segera tersadar untuk mencari tempat berteduh. Ia bangkit dari duduknya dan bergegas menuju pendopo yang berada sekitar dua puluh meter dari tempatnya semula.
“Iisshhh… Kenapa harus hujan di saat seperti ini?” gerutu  Nadia sambil berlari menuju pendopo.
“Kenapa harus mengeluh di saat seperti ini?” celetuk seorang lelaki yang ikut berlari di samping Nadia. “Bukankah hujan adalah berkah dari Tuhan?” katanya lagi sesaat setelah mereka sampai di pendopo.
Nadia hanya terdiam dengan wajah bingungnya. Siapa lelaki ini? Namun Nadia hanya menyimpan semua pertanyaannya dalam hati, ia tetap saja membisu walaupun kebingungan itu sangat jelas terlihat di wajahnya.
“Aku pernah membaca sebuah legenda dari Korea tentang hujan di musim panas. Kamu tahu, itu karena apa?” lelaki itu berbalik ke arah Nadia yang berada di belakangya.
Lagi-lagi Nadia hanya diam, bahkan kini ia memalingkan wajahnya seolah-olah ia tak peduli dengan lelaki itu.
“Kata mereka, itu karena Gumiho sedang menangis,” jelas lelaki itu tanpa diminta sambil tersenyum kepada Nadia yang bahkan tak mau melihat ke arahnya. Kemudian ia duduk tepat di sebelah Nadia sambil memandang ke arah langit yang memang masih cerah.
Beberapa menit mereka hanya terdiam sambil menunggu hujan berhenti turun. Sesaat setelah hujan reda lelaki itu melihat arlojinya. “Ini sudah jam enam sore. Sebaiknya kamu pulang sebelum hujannya turun lagi. Kata nenekku kalau kita kehujanan di tengah hujan panas seperti ini, kita akan langsung sakit,” katanya lembut dan kemudian beranjak pergi.

***

Jam dinding sudah menunjuk pukul 12 malam. Nadia belum juga bisa memejamkan matanya. Ia masih memikirkan lelaki yang ditemuinya tadi sore. Kenapa ya, kok aku merasa tidak asing dengan wajah lelaki itu? 
Banyak hal yang menjadi tanda tanya di kepala Nadia. Sebenarnya beberapa hari ini dia sering melihat lelaki itu memerhatikannya atau berada di sekitarnya sewaktu di pinggir sungai. Bahkan dua hari yang lalu, saat lengan Nadia terluka akibat tergores ranting pohon yang tajam lelaki itu datang menghampirinya, dan memasangkan plester pembalut luka untuknya.
Aneh memang jika orang yang belum kita kenal sebelumnya tiba-tiba muncul di sekitar kita, dan bertindak seolah-olah dia mengenal atau bahkan dekat dengan kita. Terlebih untuk gadis penyendiri seperti Nadia.

***

Hari ini sepulang sekolah, seperti biasanya Nadia bergegas pergi ke sungai. Masih dengan seragam SMA-nya gadis itu duduk di dermaga kecil di pinggir sungai sambil memeluk erat lututnya. Ia sedang bersedih. Ia ingin menumpahkan rasa sedih. Ia menangis.
“Sebenarnya apa salahku?! Kenapa mereka selalu menindasku?!”
“Ada kalanya apa yang kita pikirkan tak seperti yang orang lain pikirkan… Dan itu wajar, karena setiap orang punya pilihannya masing-masing, bukan?” Lelaki itu tiba-tiba muncul lagi. Ia tersenyum ketika Nadia menoleh ke arahnya. “Itulah sebabnya kenapa kita harus bisa memahami orang lain. Karena dengan memahami orang lain, maka mereka juga akan memahami kita. Cobalah untuk membuka diri, katakan apa yang ingin kamu katakan kepada mereka, jangan hanya mendengarkan dan melakukan apa yang mereka perintahkan!” Lanjut lelaki itu sambil memeluk lutut, mengikuti cara Nadia duduk.
“Tapi kenapa mereka harus menggangguku? Padahal sedikitpun aku tak pernah mengganggu mereka!” Untuk pertama kalinya Nadia membalas perkataan lelaki itu.
Lelaki itu kembali tersenyum, “Itulah sebabnya kamu harus melakukan perlawanan, katakan kepada mereka bahwa kamu tidak suka diperlakukan seperti itu.”
“Aku rasa aku tak perlu mengatakan apapun kepada mereka. Mereka cukup tak menggangguku saja dan anggap aku tak ada,” Nadia membela diri.
“Bagaimana mereka bisa tau kalau itu yang kamu mau sedangkan kamu hanya diam?”
“Seharusnya mereka mengerti. Tak pernah ada seorang pun yang mau hidupnya ditindas. Bahkan orang sepertiku pun, yang mereka bilang autis, tak pernah mengharapkannya.”
“Karena semakin kamu diam, akan semakin menyenangkan bagi mereka untuk menindasmu. Apa kamu tidak lelah hidup seperti ini, tanpa ada seseorang yang bisa kamu ajak untuk berbagi?”
“Sebenarnya aku lelah…” Nadia menghela napas dan menjuntaikan kakinya di pinggiran dermaga. “Tapi aku tak punya pilihan. Aku sudah hidup seperti ini sejak dulu, dan tak pernah ada masalah. Tapi kenapa semua yang kurasakan hari ini sangat berat? Mereka memaksaku untuk mengakui bahwa yang mencuri kunci jawaban itu aku. Dan akhirnya aku mendapat teguran dari sekolah, diskorsing selama satu minggu. Apa yang harus kukatakan kepada orangtuaku? Ibuku pasti akan marah besar…” Nadia hanya bisa tertunduk lesu.
“Sudahlah Nadia… Aku mengerti perasaanmu. Aku rasa kamu juga tak mungkin berkata jujur pada ibumu tentang hal ini. Karena mungkin bisa saja dia akan menghajarmu habis-habisan.”
“Yaa… Seperti itulah… Seharusnya aku tak membuat kekacauan jika tidak ingin ibuku mengamuk kepadaku.” Nada suara Nadia terdengar sangat ketakutan.
“Begini saja, kalau menurut saranku sebaiknya kamu besok pergi ke sekolah, katakan kepada wali kelasmu yang sebenarnya. Cobalah untuk membela diri.”
“Tapi aku tak punya keberanian untuk itu.” Nadia kembali menundukkan wajahnya.
“Ayolah, Nad. Ini bukan hal yang sulit. Aku yakin kamu bisa melakukannya.” Lelaki itu menatap Nadia dengan tatapannya yang terlihat sangat bijaksana.
“Baiklah, aku akan coba.”
Nadia mengusap air matanya dengan telapak tangan, kemudian berdiri dan berjalan untuk pulang, tanpa menghiraukan lelaki yang sejak tadi berbicara dengannya.

***

Hari ini Nadia datang ke tepi sungai lebih awal dari biasanya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling tepian sungai. Di mana lelaki itu? 
Nadia tersenyum saat menemukan sosok lelaki yang mengenakan kaos berwarna biru muda itu sedang duduk di pendopo.
“Bagaimana?” tanya lelaki itu, tepat pada saat Nadia duduk di sampingnya.
“Aku rasa aku sudah lega…” Tampak sekali wajah tenang Nadia yang menggambarkan bahwa semua masalah itu sudah terselesaikan. “Banyak hal yang kuperbincangkan dengan wali kelas. Aku rasa apa yang kamu katakana kepadaku itu benar. Aku harus membuka diri. Tidak mungkin kalau aku harus hidup seperti ini selamanya. Setidaknya aku harus berkomunikasi dengan orang di sekitarku.”
“Bagus kalau kamu sudah mulai mengerti. Terus, bagaimana degan skorsingnya?”
Nadia menghela napas setelah mendengar pertanyaan itu. “Tak ada yang berubah dengan skorsing. Aku tetap saja dihukum karena kebodohanku yang mau mengakui kesalahan yang tidak aku perbuat.”
“Ya sudahlah… Anggap saja satu minggu ini sebagai liburan. Dan yang terpenting kamu sudah memiliki niat untuk berubah.” Lelaki itu tersenyum, dan senyumnya sangat manis.

***

Di hari kedua masa skorsing Nadia, ia menghabiskan masa liburannya bersama lelaki yang beberapa hari ini dikenalnya. Mereka pergi ke taman bermain. Mencoba semua wahana permainan yang ada, menikmati aksi para pesulap jalanan, menonton akrobat, mencicipi semua jajanan pasar yang dijual oleh para pedagang, membeli berbagai pernak-pernik, bahkan berfoto bersama badut.
“Aku mau foto bersama badut itu!” kata Nadia sangat bersemangat.
“Oke, berikan padaku kameranya.” Lelaki itu mengambil kamera digital yang sejak tadi dikalungkan Nadia di lehernya. Nadia tampak sangat ceria
“Ayo ke sana!” Lelaki itu menarik lengan Nadia, mengajaknya ke salah satu gerai penjual jajanan pasar.
“Bu, bakpao isi kacang hijaunya dua ya…!”
Salah satu bakpao itu ia serahkan pada Nadia.
“Makasih,” ucap Nadia diiringi dengan senyumnya yang manis.
“Enak bakpaonya? Ini kue kesukaanku lho…,” kata lelaki itu sambil menikmati bakpao isi kacang hijau miliknya.
“O ya? Ibuku sering bikin bakpao ini di rumah. Bakpao bikinan ibuku jauh lebih enak dari yang ini. Nanti kapan-kapan aku bawakan untukmu ya?”
“Dengan senang hati,” jawab lelaki itu dengan wajah senangnya.
Nadia tersenyum, diiringi dengan senyum bijaksana lelaki yang sudah membuatnya mengubah pandangan tentang hidupnya. Lelaki yang sudah membuat tiap menit yang ia lewati seperti menyala.

***

Pagi hari ini matahari bersinar sangat cerah. Secerah itu pula wajah Nadia yang penuh semangat bergegas keluar dari rumah. Dengan sekotak bakpao isi kacang hijau buatan ibunya, Nadia berjalan menuju tepi sungai. Sepanjang perjalanan dilalui Nadia dengan penuh senyum yang menghiasi wajahnya.
Sesampainya di tepi sungai, Nadia mengarahkan pandangannya ke sekeliling tepian sungai, mencari sosok lelaki yang dibawakannya bakpao hari ini. Namun lelaki yang dicarinya itu tak terlihat sama sekali.
“Hmmm… Mungkin dia belum datang, ini kan masih jam 7 pagi,” gumamnya sambil melihat arloji yang ia kenakan.
Nadia berjalan perlahan menuju pendopo dan kemudian duduk menunggu. Masih dengan senyumnya yang sesekali tampak setiap kali ia memandangi foto-foto yang ada di kamera digitalnya.
Kini jarum arloji Nadia sudah menunjukkan pukul 11 tepat. Itu artinya sudah empat jam Nadia menunggu, dan lelaki itu tak kunjung terlihat. Bahkan bakpao isi kacang hijau yang ia bawa sudah tak lagi hangat.
Ia mulai merasa gelisah dan memutuskan untuk berkeliling di sekitar tepian sungai, mencari lelaki itu. Dengan sekotak bakpao yang ada di tangannya Nadia terus berjalan di sekitar tepian sungai, namun lelaki itu tak juga terlihat. Akhirnya Nadia memutuskan untuk menunggu di dermaga.
Seperti biasa, Nadia duduk di tepian dermaga dengan menjuntaikan kakinya ke sungai. Dipandanginya sekotak bakpao isi kacang hijau yang ada di pangkuannya. Bakpao itu sudah dingin. Diambilnya handphone yang ada di dalam tas. Sambil bersandar di tiang dermaga, dipasangnya headset ke telinga. Matanya ia pejamkan. Sebuah lagu berjudul When You Believe dari Mariah Carey dan Whitney Hauston yang mengalun mengisi ruang dengarnya.

***

“Neng! Bangun, Neng! Neng! Bangun!!!” Seorang bapak berusaha membangunkan Nadia.
Nadia membuka matanya perlahan dan terkejut dengan kehadiran seorang bapak yang sejak tadi mencoba membangunkannya.
“Ada apa, Pak?” tanya Nadia sambil melepaskan headset yang ada di telinganya.
“Ini, si Eneng udah lama tidur di sini. Sekarang sudah jam empat sore Neng,” jelas si Bapak yang masih menenteng sapu dan bak sampah kecil di tangannya itu.
“Maaf, Pak. Saya ketiduran,” ucap Nadia sambil tersipu malu.
“Si Eneng. Kalo ngantuk ya tidur di rumah atuh. Kalo di sini kan bahaya, Neng. Takut ada yang ngejahilin,” kata bapak itu dengan logat Sundanya yang kental.
“Sekali lagi maaf, Pak. Saya lagi nunggu orang. Bapak lihat nggak laki-laki tingginya sekitar 175 cm, putih, rambutya pendek, agak ikal?”
“Yah, si Eneng. Laki-laki yang kayak gitu mah banyak berkeliaran di sekitar sini. Emang namanya siapa, Neng? Kali aja bapak kenal.”
Nadia hanya terdiam. Ia baru menyadari kalau selama ini ia sama sekali belum mengetahui siapa nama lelaki itu.
“Emmm… Saya tidak tahu namanya, Pak. Tapi… dia sering ke sini, pak. Beberapa hari ini kami selalu ngobrol berdua.”
Ngobrol sama Eneng?”
“Iya, pak. Sama saya.”
“Apa tidak salah nih, Neng? Eneng kan biasanya cuma sendirian aja kalo ke sini.”
“Tapi beberapa hari ini saya di sini sama dia, Pak.”
“Tapi beneran, Neng. Bapak tidak melihat siapa-siapa yang ngobrol sama Neng. Bapak taunya Eneng cuma sendiri. Nangis di sini, ngobrol sambil ketawa-ketawa sendiri di pendopo.”
Nadia sontak terkejut mendengar ucapan bapak petugas kebersihan itu. Ia hanya bisa terdiam. Bingung bercampur shock.
“Tolong ya, Pak. Jangan mengada-ngada! Saya ini serius,” Nadia masih tak yakin dan berusaha membela diri.
“Buat apa atuh Neng bapak bohong. Malah bapak bener-bener bingung melihat Eneng ngobrol sambil ketawa-ketawa sendiri gitu.”
“Maaf ya, Pak. Itu sama saja Bapak mengatakan kalau saya ini gila. Saya ini masih waras, Pak!” Nadia mulai merasa jengkel.
“Ya sudahlah kalau Eneng masih keras kepala,” kata petugas kebersihan itu pasrah sambil meminggalkan Nadia.
Nadia hanya duduk terdiam di dermaga. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, tapi pikirannya masih terpaku pada ucapan petugas kebersihan tadi. Diambilnya kamera digital yang ada di dalam tas. Satu per satu diamatinya foto-foto yang ada di dalamnya. Semua foto adalah fotonya sendiri. Tanpa lelaki itu.
Nadia mengingat kembali semua kejadian yang dialaminya selama di taman bermain.
Bukankah semua foto ini aku yang memotretnya sendiri? Dan sesekali aku meminta tolong orang yang lewat untuk mengambil gambar, termasuk fotoku bersama badut-badut itu… Nadia hanya tertegun mengingat kejadian demi kejadian yang dialaminya kemarin.
Dipandangnya kotak berisi bakpao yang ada di sampingnya.
Bakpao… Bakpao kan kue kesukaanku…? Dan hari itu aku sendiri yang membelinya di gerai pedagang kue itu… Wajah Nadia terlihat pucat.
Gumiho? Bukankah itu drama Korea yang kutonton beberapa bulan lalu…? Dan Nenek selalu mengatakan kepadaku kalau kehujanan di musim kemarau itu akan membuat kita sakit… Wajah Nadia semakin pucat.
Dilihatnya luka yang terbalut di lengan kanannya. Ini… Aku sendiri yang telah membalutnya… Hari itu, aku menangis sendiri… Di sini…
Nadia tak mampu lagi untuk menahan air matanya. Ia menangis sejadi-jadinya. Perasaannya kini bercampur aduk antara takut, bingung, sedih, dan marah.
Apa mungkin dia hanya khayalanku saja? Ya Tuhan… apa yang terjadi dengan ku???
Tak hentinya Nadia menangis tersedu. Ia merasa sangat marah kepada dirinya sendiri. Kenapa ia harus mengalami semua hal ini. Air matanya tak berhenti mengalir. Ada banyak hal yang ditakutkannya.
Mungkinkah aku benar-benar sudah gila?!

***

Sudah satu jam lebih Nadia menangis tersedu. Kini air matanya sudah berhenti mengalir. Nadia terdiam memandang ke arah barat, menatap langit jingga dengan matahari yang mulai tenggelam. Kali ini ada banyak elang yang berterbangan di antara matahari yang sedikit demi sedikit mulai menghilang.
Ya Tuhan… Ampuni aku… Mungkin ini teguran dari-Mu karena aku tak pernah bersyukur atas hidupku dan aku selalu mengurung diri dalam kesendirian… Terima kasih karena Engkau telah mengirimkannya untukku. Walaupun ia hanya imajinasiku saja, tapi melalui itu semua aku akan memperbaiki hidupku.
Nadia berdiri dan berjalan ke ujung dermaga. Ditatapnya lagi langit barat lekat-lekat.
Lelaki tanpa nama… Terima kasih sudah datang ke dalam imajinasiku. Terima kasih sudah memberikanku kebahagiaan. Terima kasih karena sudah menyadarkanku. Terima kasih… Sangat-sangat terima kasih. Air matanya kembali menetes.
Aku berjanji aku akan membuka diriku terhadap orang-orang di sekitarku. Aku berjanji aku akan seperti itu selamanya. Aku berjanji aku tak akan pernah kembali menjadi Nadia yang pemurung dan penyendiri lagi seperti dulu. Aku berjanji, meskipun kita tidak akan pernah bertemu lagi. Nadia mengusap air matanya dan bergegas pulang.
“Mau pulang, Neng?” tanya petugas kebersihan tadi.
“Iya, pak,” jawab Nadia seadanya.
“Sudah ketemu sama orangnya, Neng?”
“Tidak, Pak. O ya, Pak. Bapak mau kue ini?” tawar Nadia sambil memberikan sekotak bakpao isi kacang hijau yang dari tadi dibawanya.
Petugas kebersihan itu hanya menerima bakpao pemberian Nadia tanpa sempat berkata apa-apa karena Nadia langsung pergi meninggalkannya. Bapak itu kemudian tersenyum sambil memandang Nadia dari belakang hingga menghilang dari pandangannya.[]


Sumber:
Komunitas Penakita. 2012. Episode Luka. Banjarbaru: Mingguraya Press
Komunitas Penakita. 2014. Episode Luka. Banjarbaru: Penakita Publisher

0 komentar: