Cerpen Isfi Syifa: Insting Cinta

22.52 Zian 0 Comments

“YA Rabb, jika sudah waktunya hamba menikah, berikanlah hamba jodoh bukan orang kampung sini.” Potongan doa ini adalah bagian dari rangkaian doa Fatimah dalam shalatnya di tiga perempat malamn. Gadis desa yang umurnya sudah berkepala tiga. Cantik yang ia miliki bukan karena tebalnya polesan alas bedak mahal atau make-up, senyum alaminyalah kecantikan  yang ia miliki. Kegiatan sehari-harinya adalah membantu mengajar di TPA madrasah diniyah yang dikelola oleh  Pak Jun.
Fajar mulai menyingsing. Sang surya mulai merayap. Di pagi yang cerah ini, Fatimah sengaja berhenti dari beberapa aktifitasnya, duduk di depan rumahnya. Asap dapur tampak mengepul dari rumah-rumah tetangganya. Matanya mengikuti jalan dan pikirannya yang rumit, terbang bersamanya kemudian karam di udara. Pikiran-pikirannya yang lain kembali muncul membuka lembar-lembar kesedihan. Menoreh kepedihan-kepedihan yang tertutup. Peristiwa dua tahun silam membuatnya sangat kecewa dengan pemuda yang ada di desanya.
Laki-laki lulusan Mesir, namanya Hasbi. Anak keluarga kaya di kampungnya. Dia datang dengan ayahnya untuk melamar Fatimah. Ayah Fatimah menerima lamaran itu tentu dengan persetujuannya. Kedua keluarga telah sepakat, entah alasan apa yang membuat Fatimah dengan mudah menerimanya, yang Fatimah tahu Hasbi adalah anak yang baik. Rencana pernikahan pun telah diputuskan mulai dari penetapan tanggal, pemesanan katering, penyewaan dekor, dan beberapa keperluan lain semuanya ditanggung oleh keluarga Hasbi. Waktu satu minggu telah lebih dari cukup untuk semua persiapan.

***


Penghulu sudah menjabat tangan ayahnya, Fatimah yang menunggu di kamar hatinya cemas, bertanya-tanya bagaimana proses akad nikah akan berlangsung. Tamu-tamunya kelihatan senang melihat bunga desa akhirnya akan melepas lajangnya walaupun ada juga yang sakit hati karena cintanya tak bernada merdu. Namun teriakan seorang wanita yang memanggil nama Hasbi mengejutkan setiap pasang mata yang hadir, semuanya tertuju pada seorang wanita bercadar yang menggendong bayi berjalan memasuki rumah.
“Hasbi, lihatlah dia mirip sekali denganmu,” kata wanita bercadar itu.
Suara riuh para undangan memuncak, semuanya bertanya-tanya, saling beradu pandang, tengok kanan kiri ingin mengetahui siapa wanita itu dan banyak pertanyaan-pertanyaan yang tersimpan di benak mereka masing-masing. Di dalam kamar, Fatimah menangis, lunglai, batinnya tertusuk, tertampar atau apalah namanya. Baginya gaun coklat emas bertabur manik-manik penuh kilauan yang ia kenakan waktu itu telah membelenggunya, cahaya mimpi-mimpi yang ada di khayalnya lenyap, rias pengantin yang telah dilaburkan pada pipinya luntur oleh air mata kecewa.
Sedangakan Hasbi bisu seribu bahasa, diam membatu, lalu bergegas pergi bersama wanita misterius itu tanpa berkata apapun. Ternyata Hasbi sudah mempunyai istri di Mesir sana. Karena sudah lima bulan tidak kembali, maka istrinya menyusul ke tanah air setelah ia melahirkan anak pertamanya.

***

Memang sudah dua tahun berselang, namun rasa kecewanya masih membekas, ditambah lagi kelakuan Farhan, preman pasar kampung yang mencoba berbuat tidak senonoh kepadanya.
Senja Rabu di pertengahan jalan setapak yang sunyi, ketika pulang dari pasar di kampung sebelah. Di depan Fatimah berjarak sekitar sepuluh meter Farhan berjalan terhuyung dan membawa botol minuman. Fatimah ketakutan, pikiran-pikiran negatif mulai memenuhi isi kepalanya dan perkiraannya pun benar. Saat berpapasan, tiba-tiba Farhan meraih tangan Fatimah yang mencoba berontak sampai-sampai barang-barang belanjaannya berserakan karena ingin melepaskan diri. Tapi syukulrah ia bisa melepaskan diri dari belenggu Farhan setelah balok kayu rambutan didaratkan ke kepala Farhan. Fatimah pun berlari sekuat tenaga. Sejak kejadian itu Fatimah sangat kecewa dengan pemuda-pemuda desanya, maka dia selalu berdoa semoga jodohnya bukan orang asli desanya.

***

Fatim duduk di bawah pohon rindang, di sekelilingnya aneka bunga bermekaran mengeluarkan semerbak keharuman. Sayup-sayup ia mendengar langkah kuda. Dari arah timur seorang pemuda berkuda, mengenakan baju ala kerajaan dan bersepatu hitam tinggi, menghampiri Fatimah dan memberikan apel merah sambil berkata “Aku adalah jodohmu.”
Lalu pangeran itu kembali menunggangi  kudanya.
“Hei, tunggu! Siapa namamu?” teriak Fatimah penasaran.
Tapi pangeran itu terus saja berlalu, semakin jauh hingga lenyap oleh kepulan asap tebal. Wajahnya tak tampak, hanya berupa cahaya putih menyejukan. Fatim menyadari buah apel yang ada di tangannya, dia ingin mencobanya, menggigitnya dan rasanya sangat lezat tidak seperti rasa apel biasanya, belum pernah ia rasakan sebelumnya. Belum habis buah apel di tangannya Fatimah merasakan tubuhnya bergoyang-goyang seperti ada guncangan hebat.
“Fatimah…bangun sudah siang,” ibunya menggoyang-goyang tubuh Fatimah.
“Astagfirullah,” ucap Fatimah singkat. Ternyata mimpi. Setelah shalat subuh tadi dia tertidur dengan mukena yang masih melekat di tubuhnya.

***

Pagi-pagi pasar sudah penuh dengan penjual dan pembeli. Desa ini memang hanya memiliki satu pasar, sehingga tak heran setiap pagi pasar ini selalu ramai. Ibunya menyuruhnya membelu berbagai keperluan dapur.
“Lebih baik aku membeli di sebelah sana,” batin Fatimah saat mengetahui kecap pesanan ibunya belum dibeli. Tiba-tiba mata Fatimah tertuju pada sebuah kios buah. Fatimah pun singgah dan sekantong buah apel merah kini ditentengnya.
“Maaf Nona, buah apel Anda terjatuh,”kata seorang pemuda kepada Fatimah.
“Terimakasih.”
“Sama-sama.” Pemuda itu menyunggingkan senyum lalu berlalu.
Beberapa saat Fatimah tenggelam oleh senyum pemuda asing tadi. Wajahnya bersih dan teduh. Beberapa menit kemudian, hatinya gelisah.
“Seperti aku kenal siapa dia,” ia bertanya dalam hati. Ia teringat mimpinya tadi malam, dan tanpa berpikir panjang Fatimah menggigit buah apel tadi. Rasa apel itu  pernah ia rasakan sebelumnya. Benarkah? Di mana? Dalam mimpi tadi malam! Mimpinya yang luar biasa, mimpi tadi malam yang ia kira hanya bunga tidur yang tak akan tumbuh tapi ternyata pagi ini sepertinya menjadi kenyataan. Hati Fatimah  bergejolak. Apakah ini dia?
“Hhhhmmmm…..rasanya enak sekali, sama dengan yang tadi malam,” kata Fatimah. Lalu untuk memastikan, dia ambil buah apel  yang lain tapi rasanya memang berbeda.
“Ya Rabb…..pertanda apa ini?”[]

Banjarmasin, 20 september 2011


Sumber:
Komunitas Penakita. 2012. Episode Luka. Banjarbaru: Mingguraya Press
Komunitas Penakita. 2014. Episode Luka. Banjarbaru: Penakita Publisher

0 komentar: