Cerpen Hidayah: Dialog Hati
ENTAHLAH. Aku tidak mengerti. Kata itu terlalu asing bagiku. Namun barangkali memang begitulah caranya datang, selalu dengan alur yang membingungkan.Cerita ini akan kumulai pada sebuah siang yang cerah. Satu pesan baru tertambat di inbox-ku. Oh, senangnya! Seorang teman mengucapkan selamat ulang tahun, walau sebenarnya aku sama sekali tidak berharap. Aku selalu berusaha melupakan tanggal 14 jika telah memasuki bulan Oktober, tapi tetap saja ada yang mengingatkan. Sebagai wujud penghargaan, kuucapkan saja terima kasih kepada si pengirim pesan.
Kukira akan berakhir sampai di situ, ternyata tidak. Selalu ada pesan masuk dan seolah ada yang memotivasiku untuk membalasnya. Tak ingin berharap lebih dan tak ingin menerka terlalu jauh, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa dan wajar. Wajar saling berkirim dan berbalas pesan hingga larut malam. Wajar bila hal itu dilakukan setiap hari. Wajar bila selamat pagi diucapkan setiap pagi. Wajar bila ia protes jika aku lama atau bahkan sama sekali tidak membalas pesannya. Wajar bila ia marah melihatku bersama teman laki-laki. Dan hal-hal wajar lainnya yang awalnya kutanggapi dengan santai.
Beberapa bulan telah berlalu. Satu kata yang sebenarnya sama sekali tidak kuharapkan akhirnya terlontar juga dari mulutnya. Terang saja hal itu menjadi bahan tertawaanku di siang bolong. Jangankan menjawab ya atau tidak, aku malah bertanya apakah ia sedang tidak sadar atau mabuk? Uups, dia menjawab dingin. Tampaknya marah dan tidak suka dengan kalimatku tersebut.
***
Sama sekali tidak kusangka, teman sekelas yang menurutku sangat “dingin” dan bukan orang yang tepat untuk diajak kerja sama jika ada tugas kuliah ternyata sekarang menjadi teman akrabku. Teman yang siap 24 jam mendengarkan keluh kesahku, tentang apa pun.
Beberapa semester telah berlalu. Kami masih saja seperti dulu –sejak ia mengucapkan selamat ulang tahun yang ke-18—saling berkirim pesan. Walau aku sempat menolak untuk menjadi kekasihnya, tapi kami tetap berteman baik. Seolah tak pernah ada kalimat penolakan yang terlanjur mengukir kecewa di hatinya. Meski begitu, bukan berarti tak ada percekcokan antara aku dan dia. Aku sering kali melakukan sesuatu yang menurutnya salah. Padahal menurutku sama sekali bukan masalah. Perdebatan sering kali terjadi. Bahkan terlalu sering kami perang dingin. Menyisakan seribu kekesalan dan kegelisahan di benakku.
Apakah ini pertemanan yang wajar? Salahkah jika aku membalas pesan dari teman lelaki yang lain? Salahkah jika aku terlihat akrab dengan laki-laki lain daripada dengannya? Sedang aku tidak pernah protes dan sama sekali tak terusik jika dia bersama teman perempuan yang mana saja.
Aku semakin sakit hati jika dia menuduhku. Memvonisku sebagai tersangka yang patut dicaci.
Sebagai perempuan, tak ada salahnya menurutku merelakan beberapa bulir bening tertumpah. Karena dengan begitu, ada sedikit kelegaan yang kudapatkan. Jika masalahnya terlalu pelik, bulir bening yang harus kurelakan bukan lagi beberapa, melainkan banyak. Sangat banyak. Tak jarang aku tertidur atau sengaja memilih untuk tidur setelahnya. Ada lebih banyak kelegaan yang kudapatkan saat bangun kembali walau mata sembabku tampak jelas terlihat.
Hal seperti itu terjadi berkali-kali. Aku ingin sekali mengakhiri kesedihanku, kegelisahanku, dan ketidak-tenanganku. Aku ingin hidupku sedamai dan setentram dulu, sebelum aku mengenalnya. Hingga suatu hari, setelah aku pulang kuliah.
“Kenapa selalu seperti ini? Ayolah, sadar dong! Tidak mungkin kan setiap kali berselisih paham selalu mencari pelarian? Siapa sih dia? Kamu menyayanginya? Kamu jatuh cinta padanya? Tidak bisa menjawab kan?
Coba dengarkan hatimu, apa arti semua ini? Kenapa tidak pergi saja darinya? Teman yang lain banyak kan? Kamu tidak akan kesepian. Toh kamu sering menghindari percakapan yang terlalu bertele-tele dengan teman laki-laki. Lalu dengannya? Kenapa tidak bisa menghentikan obrolan? Merasa bersalah? Untuk apa? Dia menyayangimu kan? Iya kan? Lalu, apa karena itu kamu mempertahankannya? Karena kamu tidak ingin dia berhenti menyayangimu dan kamu sendiri akan belajar menyayanginya? Benar begitukah?” Isfy, temanku satu kos yang sangat hapal dengan sikapku ini langsung menyerocos dan melontarkan banyak pertanyaan ketika aku pulang dengan wajah murung, langsung membanting tubuh ke kasur, dan membenamkan mukaku ke dalam bantal.
Aku tetap diam.
“Hey, lihat aku! Sebelum mengenalnya, bukankah kamu memang terbiasa sendiri, ke mana-mana tidak dengan laki-laki tidak jelas? Lalu, apa yang kamu takutkan? Kesepian? Kamu bahkan bisa tertawa sangat lepas dengan teman-teman sejenismu yang lain. Apa itu kurang? Tidak bisakah menjadi dirimu yang dulu? Kamu yang tidak menghiraukan omongan laki-laki yang terkadang serius, menyenangkan, meyakinkan, menyebalkan, dan sejenisnya? Bukankah kamu bisa bahagia dengan caramu sendiri? Bisa tertawa, ceria, dan melangkah dengan caramu sendiri? Lantas, kenapa setelah berteman dengannya kamu seolah meninggalkan dirimu yang dulu?
Bagaimana kalau nanti dia pergi? Tidak menyapamu sejam, sehari, seminggu, sebulan, setahun, atau selamanya? Bagaimana, apa kamu juga akan tidur sejam, sehari, seminggu, setahun, atau selamanya? Hari ini, kamu memang bisa pulang saat pikiranmu terlalu buntu untuk meneruskan bacaanmu. Kamu bisa memejamkan mata dengan mudah walau untuk menghilangkan kesadaran begitu sulit. Tapi bagaimana dengan nanti saat perasaan itu tidak lagi bisa kamu kontrol? Mampukah kamu mengobatinya hanya dengan tidur? Apa yang bisa kamu lakukan sekarang?”
“Menunggunya.” Dengan ketus akhirnya kukeluarkan juga suaraku.
“Hanya menunggukah? Ok, kamu bisa menunggu. Tapi dengan suasana hati yang sangat kacau. Aku tidak ingin kamu seperti ini terus.” Nada bicaranya mulai menurun.
Aku pun duduk, tepat di hadapannya. “Aku juga tidak ingin. Tapi aku bisa apa? Suasana hati seperti ini terlalu sulit kuterjemahkan. Kamu tidak tahu seperti apa bahagiaku ketika percakapan kami telah mencair. Kamu tidak tahu seperti apa leganya hatiku ketika aku dan dia saling memaafkan. Kamu tidak tahu sebesar apa harapku, agar bahagia itu tak secepatnya hilang. Kamu tidak tahu dan kamu mungkin tidak akan bisa mengerti.”
“Ya, kamu benar. Aku memang tidak tahu. Dan kamu juga kan? Kamu tidak akan pernah bisa menggambarkan seperti apa bahagiamu itu, rasa legamu itu, dan besarnya harapmu itu, kan?” Dengan semangat Isfy terus menyanggah kalimatku.
“Jelas aku tak tahu dan takkan bisa!” Kata-kataku tetap ketus.
“Oke, oke… Aku tahu. Aku turut senang jika kamu bahagia, lega, dan punya harapan. Tapi aku takkan mau turut berduka ketika kamu lagi-lagi berbuat salah padanya, walau hanya kesalahan kecil. Aku tak menyangka, kamu sepeduli itu terhadapnya. Bisa-bisanya kamu lebih mementingkan perasaannya dibanding perasaanmu sendiri. Setiap saat kamu bisa meninggalkannya, jika kamu mau. Tapi kenapa tidak kamu lakukan? Masihkah kamu bisa menikmati kegundahan hatimu, saat ia tak juga menyapamu?” Kali ini kata-katanya mulai bernada prihatin.
Sejenak aku terdiam. Aku teramat ingin mengakhiri semua ini, menamatkan semua tangis dan sedih setiap kali berselisih dengan lelaki itu. Dan pertemanan ini pun kurasa sudah sangat tidak wajar. Namun tampaknya aku terlanjur menikmati kilauan warna yang terpancar sejak ia hadir di hari-hariku. Hingga semuanya menjadi sulit untuk kuhentikan.
Tidak ingin menjawab pertanyaan Isfy, aku malah balik bertanya, “Kenapa kamu tidak juga berhenti mendebatku? Bukannya menenangkanku, malah membuatku tambah pusing.”
“Hey, aku hanya ingin membuka jendela pikiranmu. Kamu tentu tidak mau seperti ini terus kan?” Kalimatnya dibarengi dengan semburat senyum, aku tahu sahabatku ini benar-benar tulus.
“Kamu tahu, aku ingin lepas dari perasaan seperti ini. Tapi dengan cara apa?”
Isfy dengan seirus menatapku. “Baiklah, coba resapi kalimat-kalimatku! Saat kalian diem-dieman kayak gini atau saat berselisih, cepat-cepatlah selesaikan dan minta maaf jika kamu terlanjur berbuat salah. Kamu pasti lega dan dia juga, mungkin. Hehe.. Setelah itu biarkan kamu menentukan sikapmu sendiri, tidak usahlah terlalu memikirkannya. Mulailah berteman secara normal, tidak usah merasa bersalah hanya karena tidak membalas pesannya. Kamu bisa kan memperlakukan dia sama seperti teman-teman yang lain, dengan biasa?” katanya tenang.
“Aku tahu dan aku sering berpikir seperti itu, tapi aku belum pernah berhasil melakukannya.” Aku menjawab lesu.
“Kenapa? Kamu menyayanginya…, atau mungkin kamu mencintainya?” Nada bicaranya meninggi kembali.
“Tidak, aku tidak tahu. Tapi untuk menganggapnya biasa juga sulit. Dan aku tidak tahu kenapa.”
Isfy menjauh dariku dan menatap ke luar jendela sambil berucap, “Hmm... susah dong kalau serba tidak tahu.”
Kutarik napas panjang dan setenang mungkin menjelaskan, “Aku sudah terlanjur mengenalnya, menerimanya hadir dalam kehidupanku sebagai seorang teman yang memberikan warna berbeda di hari-hariku. Aku sudah sangat terbiasa dengan sikapnya, walau awalnya aku sangat tidak suka.”
“Warna berbeda, kamu bilang?” Ia berbalik ke arahku dan melanjutkan, “Warna apa yang kamu maksud? Hitam? Yang kemudian membawa kelabu dan gelap dalam pikiranmu? Oke, aku tahu kamu telah lama menyesuaikan diri dengan sikapnya. Tapi tak bisakah kamu anggap itu sesuatu hal yang biasa, yang sebenarnya tak berarti apa-apa? Atau tak bisakah kamu melupakan semuanya? Anggap waktu itu tidak ada panggilan tak terjawab di layar hapemu, anggap tidak pernah ada ucapan selamat ulang tahun, dan tidak ada hal-hal berkesan lainnya. Aku hanya tidak ingin kamu lagi-lagi merasakan kegundahan dan kegelisahan yang sama. Aku tahu kamu sendiri pun sangat tidak menginginkan perasaan menyiksa itu.”
Aku menatapnya. “Semua yang kamu katakan barusan benar. Sangat benar. Tapi terlalu mudah di lidahmu. Sementara aku.... tak mudah untuk merealisasikannya. Sungguh, tak mudah. Perasaanku bermain di sini.”
“Kalau begitu jangan bawa perasaanmu. Hentikan permainannya. Tidak penting kamu memikirkan seseorang yang belum tentu bisa menyayangimu hingga kiamat nanti.”
Aku semakin terpacing untuk berpanjang lebar. “Aku tahu, semua belum pasti. Dan aku pun masih ragu dan takut untuk meminta pada Allah agar dia bisa bersamaku. Aku takut dia pergi setelah aku bisa membalas perasaannya, sama seperti kejadian beberapa tahun silam. Aku tak ingin hal itu terulang. Ketika percayaku sudah penuh 360 derajat, ketika yakinku sudah mencapai titik puncak, ketika kasih dan sayangku meluap-luap dan ketika bahagiaku terpancar bagai letupan-letupan kecil berwarna-warni, seseorang di masa lalu itu pergi. Lebih tepatnya aku yang menghindar, karena keadaan. Saat itulah aku merasa doaku sia-sia.
Tidak ada gunanya aku menunggu, berharap, dan menjaga hatiku bertahun-tahun, toh dia tidak lagi mengindahkanku. Saat itu aku benar-benar telah pupus. Tak lagi ingin berharap, pada siapapun. Yang datang kuanggap tak ada, tak berarti, dan kupikir satu persatu dari mereka juga akan pergi bersama waktu yang terus bergulir. Benar saja, mereka hanya sebentar meramaikan suasana hatiku, sebab aku tak meresapinya, tak menganggap ada yang istimewa. Kala itu, aku bahagia. Karena tak harus bersusah payah bersimpati apalagi mencintai. Aku begitu membenci diriku yang dulu begitu bodoh, berharap pada seseorang yang sebenarnya tak bisa diharapkan. Dan aku baru menyadarinya setelah melakukan ‘kesalahan terindah’ itu. Terlalu dalam memaknai cinta dari seseorang di masa lalu.”
“Ah, sudahlah. Tak usah bercerita panjang lebar tentang masa lalumu itu. Ini bukan kali pertama kamu bercerita tentang si pengobral janji itu. Tak bosankah kamu terus menceritakannya? Aku saja sudah sangat bosan mendengar ceritamu. Aku tegaskan sekali lagi, laki-laki itu sama. Tak bisa dipercaya sepenuhnya. Jika kamu mulai belajar menerima dia yang sekarang sebagai teman baikmu, maka apa kamu juga ingin berharap? Ingin menjadi orang bodoh lagikah nantinya? Menangis, meraung, meratap, merana, sedih, sengsara menyesali kepergiannya bersama orang lain. Itukah yang kamu inginkan?”
Duuh... kata-kata Isfy seolah menampilkan gambaran jelas di benakku tentang masa lalu itu. Mataku mulai berkaca-kaca. Dengan berat, aku menyambut kalimatnya.
“Tidak. Sekarang, aku hanya ingin kamu membantuku menghilangkan perasaan kalut ketika berselisih dengannya atau saat terjadi perang dingin antara kami. Sebab aku tidak tahan, aku sangat tersiksa dengan perasaan itu. Dan ini sangat aneh, tidak pernah kualami sebelumnya dalam hidupku.
“Seperti yang aku katakan sebelumnya, anggap tak pernah ada hal berkesan darinya untukmu.”
“Kalau itu, sudah kucoba. Tapi aku tidak pernah berhasil, ada sesuatu yang sangat kuat dalam diriku yang menolak semua itu. Menolak upayaku untuk melupakan semua yang terlanjur kujalani. Aku hanya akan bisa tenang ketika ia menyapaku lewat pesan pendeknya. Aneh, bukan? Tapi tolong sembuhkan aku dari candu ini. Aku takut, jika suatu hari tidak mendapatinya di layar hapeku, kekalutan itu akan menderaku. Dan jika benar-benar tidak mendapati sapanya dalam waktu lama, atau bahkan selamanya, aku akan stres. How pity I am!”
“Beristighfarlah! Aku benar-benar tak bisa mencerna masalahmu. Berdoalah yang terbaik untukmu, juga untuknya. Semoga kamu bisa menemukan seseorang yang bisa mengalihkan perhatianmu darinya, nanti.”
“Itulah yang tidak kuinginkan. Aku tidak ingin ada orang lain lagi.” Aku mengungkapkan hal terjujur ini, yang sepertinya sangat mengejutkan Isfy.
“Apa?”
“Ya, aku sudah sangat lelah bermain-main dengan perasaan. Dengan sesuatu yang terlalu sulit didefinisikan. Aku bosan jika selalu menyesuaikan diri dengan segelintir orang baru yang mencoba masuk lebih jauh ke dalam duniaku.”
Tanpa basa-basi Isfy kembali bertanya, “Apa kamu yakin dengannya?”
“Sebenarnya tidak. Tapi aku tak menolak untuk belajar meyakinkan diriku seperti dia yang begitu yakin padaku.”
“Hey, jalanmu masih sangat panjang. Kamu sanggup bertahan begitu lama?” Perlahan, Isfy kembali mendekatiku.
“Aku tahu jalanku panjang, jika memang dikasih umur panjang. Kalau dia bisa bertahan dengan segenap perasaannya, maka selama itu pula aku akan bertahan untuknya.”
“Apa kamu sedang tidak sadar?”
“Apa maksud pertanyaanmu? Apa aku kelihatan seperti orang mabuk?”
“Tidak, bukan itu maksudku. Tapi bukankah dia masih terlalu asing bagimu?”
“Entahlah, hanya saja aku sering merasa ada yang kurang bahkan sangat kurang saat tak mendapatinya beberapa jam saja di layar hapeku. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?”
“Berdoalah! Mintalah ketenangan dan kebesaran hati pada-Nya. Agar jika suatu saat dia tak lagi menyapamu, kamu bisa dengan lapang merelakannya. Kurasa aku sudah terlalu banyak ngomong, aku lelah. Biarkan aku istirahat. Oke?” Sekarang giliran Isfy yang merebahkan tubuhnya. Sepertinya ia tak lagi bersemangat mendengarkan kata-kataku yang tentu saja di luar dugaannya.
Sebelum ia benar-benar berada di alam bawah sadar, aku berucap,“Tapi, bolehkah aku juga meminta agar aku tidak kehilangannya? Bolehkah?”
Jangankan menjawab, Isfy malah menutup kupingnya dengan bantal. Tinggallah aku sendiri dengan kekalutanku. Kini hanya hatiku yang bisa diajak berdialog.
Apa yang bisa kau lakukan saat cinta terlahir dari rasa sakit, kecewa, dan air mata yang tertumpah? Apa yang akan kau lakukan saat orang yang kamu cintai memberikan kekecewaan sementara jiwamu ingin sekali lepas dari kesedihan? Cukupkah kilauan warna yang menurutmu indah dan bahagia yang hanya sesaat, menjadi dasar pijakan cintamu?[]
Sumber:
Komunitas Penakita. 2012. Episode Luka. Banjarbaru: Mingguraya Press
Komunitas Penakita. 2014. Episode Luka. Banjarbaru: Penakita Publisher
0 komentar: