Cerpen Aliansyah Jumbawuya: Berbeda Itu Ternyata Luka

22.39 Zian 0 Comments

BRUUUK! Dhuummm!
Tiba-tiba gedung berlantai lima itu ambruk. Ujal yang sedang melihat-lihat pakaian di pusat perbelanjaan itu hanya bisa terpana. Ia terlambat untuk berlari. Semua terjadi begitu cepat. Saat puing-puing reruntuhan menimpa tubuhnya, Ujal cuma bisa pasrah. Bahkan sekadar  berteriak pun ia sudah tak sempat lagi. Hanya lenguhan kecil yang keluar dari mulutnya.
Sewaktu matanya terkantup rapat, Ujal serahkan sepenuhnya jiwa dan raga pada kehendak Sang Khalik. Ia tak berani berharap banyak  bakal selamat. Apalagi kemudian ia tak merasakan sakit apa-apa. Mungkin rohnya langsung melesat ke petala langit, meninggalkan jasadnya yang teronggok.
Namun, di tengah ketidakberdayaannya itu telinga Ujal dengan jelas menangkap suara-suara gaduh. Bunyi sirene ambulan dan teriakan-teriakan panik saling beradu, menciptakan kebisingan. Berarti aku belum mati, bisiknya lirih. Ia mencoba membuka kelopak matanya. Betul, ia masih hidup. Hanya saja kaki kirinya tertindih bongkahan beton. Ujal berusaha menarik, tapi tak bisa karena beban itu terlalu berat. Namun, ia tidak mau putus asa begitu saja. Dengan mengerahkan segenap tenaga, sekali lagi lelaki itu  menarik lebih kuat. Ups, berhasil!

Tapi, alangkah kagetnya Ujal. Meski ia sukses melepaskan diri dari himpitan reruntuhan itu, kaki kirinya tertinggal di sana. Copot sebatas pangkal paha. Sambil bersandar di tiang yang masih utuh, ia takjub memandangi anggota tubuhnya yang terlepas itu. Aneh, ia sama sekali tidak merasakan sakit apa-apa. Dan, tak ada darah setitik pun yang menetes.
Sekian lama ia tertegun. Bingung.
Ketika dua orang petugas penyelamat menemukannya, mereka tak kalah kagetnya. Salah satu di antaranya terlonjak mundur. Sedangkan yang lainnya lagi bahkan sampai terpekik. Mereka saling pandang, dengan mulut terganga. Melongo, seolah tak percaya.
Namun begitu sadar dari ketertegunan, mereka langsung mendekati Ujal.
“Apa yang bisa kami bantu?”
“Tolong ambilkan kaki saya itu.”
“Bagaimana dengan kondisi fisikmu? Apa tidak sebaiknya dibawa ke rumah sakit? ”
“Tidak usah.Saya sehat, kok,” kata Ujal tersenyum berusaha untuk meyakinkan.
“Benar?”
Ujal mengangguk mantap.
Kedua lelaki itu kemudian bergegas menyingkirkan timbunan batu, semen, kawat, kayu, dan pecahan marmer yang menindih potongan kaki Ujal. Dengan keringat berleleran dan nafas ngos-ngosan, mereka akhirnya berhasil juga. Lalu menyerahkan kaki tersebut pada Ujal.
Lelaki itu segera menerimanya dan memasang di bagian yang lepas tadi. Ajaib, seperti baut ketemu mur, langsung tersambung. Tanpa meninggalkan bekas luka atau codet sedikit pun. Kedua petugas penyelamat itu kembali dibuat pangling.
“Hebat! Hebat!” decak mereka kagum.
Ujal sendiri sebenarnya tak habis pikir dengan segala keganjilan tersebut. Seingatnya, ia tidak pernah meminum minyak bintang yang menurut kepercayaan masyarakat Kalimantan dapat menyatukan organ tubuh yang putus.  Ia juga tidak pernah belajar ilmu kesaktian atau ajian apapun. Ia sama seperti manusia biasa lainnya. Tetapi, kenapa keanehan itu terjadi padanya?
Saking panglingnya, Ujal lupa berterima kasih kepada kedua orang tadi. Ia segera melesat ke rumah dengan beribu tanda tanya yang melasak di rongga dada.

***

Kejadian yang sangat tidak lazim itu, tak pelak mengganggu pikiran Ujal. Berhari-hari ia diam termenung. Isterinya, Jumiati, yang menyangka dia masih shock  lantaran baru saja terbebas dari musibah yang menghebohkan itu, berusaha memaklumi. Ia tidak ingin mengusik Ujal dengan berbagai pertanyaan.
“Mungkin sebetulnya sudah lama  anggota tubuhku ini bisa dicopot dan disambung kembali? Sayang, aku baru mengetahuinya.  Barangkali lewat peristiwa itu Tuhan ingin menunjukkan kebesaran-Nya bahwa aku punya kekuatan luar biasa,” bisiknya.
Tetapi, Ujal masih sangsi. Jangan-jangan itu hanya bersifat temporal, tidak permanen. Kalau ia iseng mencoba dengan sengaja mencopot organ tubuhnya, jangan-jangan malah tidak bisa nyambung kembali. Bakal celaka dua belas! Alamat modar.
Sekian lama ia terjebak kebimbangan. Daripada terus-menerus menerka tanpa kesudahan, akhirnya ia memutuskan untuk mencoba. Supaya tidak terlalu berisiko, ia memilih kelengkingnya. Setelah menarik nafas dalam-dalam, tiba-tiba ia sentak sekuat tenaga. Plok! Jari itu copot. Sebagaimana sebelumnya, kali ini pun tidak berdarah. Tak ada rasa sakit yang menyertai.
Sejenak Ujal terpaku. Tapi, hitungan detik berikutnya ia sudah tersenyum. Apalagi setelah jarinya yang putus tadi diletakkan ke tempat asalnya  langsung dempet.  Ia melonjak-lonjak kegirangan, seperti orang yang baru meraih kemenangan.
“Yess!” katanya sambil mengepalkan tangan.
Sorot mata Ujal bertabur gemintang. Wajahnya penuh semburat.
Tiba-tiba sifat usilnya muncul. Dengan seenaknya dia mencopot hidungnya dan menempel di dinding. Ketika isterinya histeris melihat suaminya tak berhidung, dengan santai Ujal berucap: “Tenang, tidak ke mana-mana, kok. Itu kutaruh di situ buat gantungan baju.”
Rupanya, isterinya belum siap menerima lelucon itu. Wajah Jumi tampak pucat pasi. Puas mengerjai isterinya, Ujal kemudian  mengambil hidung itu dan meletakkan di tempat asalnya.
“Lho, kok bisa?” tanya Jumiati.
“Hebat, kan. Siapa dulu, Ujaaall…” sahutnya tak peduli dengan kebingungan isterinya.
Awalnya Jumi sering deg-degan melihat ulah suaminya itu. Tapi lama kelamaan ia jadi terbiasa, tak lagi panik melihat Ujal mempreteli anggota tubuhnya. Begitu pula dengan para tetangga dan warga sekitar, bisa menerima segala keanehan itu. Bahkan mereka merasa terhibur. Anak-anak, remaja, orang dewasa, kakek nenek, sering merubungi. Tidak jarang mereka yang meminta agar Ujal mencopot bagian tubuhnya.  Pria itu sendiri tak pernah keberatan, malah senang melakukannya. Ada kepuasan batin manakala melihat mereka menjerit-jerit histeris untuk kemudian ketawa terbahak-bahak. Ngeri bercampur lucu, ternyata memberi sensasi khusus yang sulit dijabarkan dengan kata-kata.
                 
***

Dalam waktu singkat sosok dan nama Ujal berkibar-kibar. Atraksinya senantiasa memukau banyak orang. Bahkan melihat potensinya yang luar biasa, Pak Lurah mendaulatnya sebagai kepala keamanan. Semenjak itu kampung menjadi aman. Tidak ada yang berani mengusik ketentraman warga.
Pernah suatu kali seorang preman bermaksud bikin onar. Ia berteriak-teriak menantang para pemuda setempat, sambil mengacung-acungkan golok. Rupanya dia pendatang yang mau menancapkan pengaruh.
Mendengar ada keributan, Ujal sigap mendatangi jagoan tengik itu.
“Ayo, cepat keluarkan senjatamu, kita bertarung habis-habisan!” koar orang itu.
Tapi, Ujal hanya tersenyum sinis.
Karuan pria berambut gondrong dengan tato bergambar buaya di lengan itu bertambah murka. Sikap dingin yang diperlihatkan Ujal kentara sekali seperti meremehkan dan mengejeknya.
Saat ia hendak mengayunkan golok, Ujal cepat menukas. “ Sabar! Tak usah emosi begitu. Ngapain menebas aku, cuma buang-buang tenaga. Ini biar kubantu, kamu mau bagian yang mana? Tangan, kaki, kuping, terserah silakan ambil,” katanya sambil mencopoti bagian-bagian tubuh tersebut dan melemparkannya.
Melihat itu, si preman langsung keder. Lututnya gemetar. Mulutnya ternganga. Matanya terbelalak. Keringat dingin merayapi sekujur tubuhnya.  Bahkan ia sempat terkencing-kencing di celana, sebelum akhirnya memutuskan kabur.
Warga bersorak-sorai mengelu-elukan Ujal. Lelaki itu telah menjadi pahlawan mereka. Ia semakin disegani dan dihormati. Kuyup oleh beruntun pujian.
“Kalau tidak ada kamu, mungkin kampung ini sudah lama lenyek, seperti batang padi yang diserbu badai turnodo,” kata Pak RT sambil berkali-kali menepuk pundaknya.
“Semua ini sudah jadi kewajiban saya sebagai warga,” sahutnya.
Ujal tak hanya terkenal di tingkat kelurahan, ia juga sering diajak bergabung oleh para aktivis untuk berdemo. Kehadirannya dalam berbagai aksi demonstrasi ternyata menyita perhatian tersendiri. Bagaimana, tidak? Ketika seorang politisi bercuap-cuap mengumbar janji perbaikan di tengah kerumunan massa, Ujal dengan tangkas menimpali: “Dari dulu kamu cuma banyak mulut, tapi mana buktinya. Ini saya kasih mulut satu lagi, siapa tahu kamu masih merasa kurang.”
Sambil berkata begitu, Ujal mencopot mulutnya dan melemparkannya ke orang itu. Karuan saja sang politisi itu kaget tiada terkira. Dengan wajah pucat pasi ia keluar dari kerumunan massa.
Begitu pula ketika anggota dewan kasak-kusuk minta tunjangan laptop dan blackberry di tengah kondisi masyarakat yang hidup serba prihatin, Ujal bersama-sama mahasiswa aktivis dan organisasi pemuda mendatangi kantor DPRD. Setelah sempat berdialog panjang lebar, Ujal pun nyeletuk: “Kalau kalian buta terhadap penderitaan rakyat kecil, kalau kalian tuli dengan tangisan mereka, nih saya kasih mata dan telinga supaya bisa melihat dan mendengar!”
Sejurus kemudian, Ujal mencopot telinga dan bola matanya. Lalu, dengan santai menaruhnya di meja sang ketua DPRD.
Aksi tersebut tak pelak membuat anggota legislatif terhenyak. Sebaliknya, kawan-kawan Ujal justru bertepuk tangan memberi aplaus atas keberaniannya itu.
                 
***

Ujal mungkin tetap pribadi yang rendah hati, hidup apa adanya dan tidak neko-neko. Hingga suatu kali, Maslan, sahabat karibnya membisiki:  “Kamu jangan mau terus-terusan dimanfaatkan orang lain. Ingat, dulu apa ada yang peduli saat kamu kejepit? Mereka seolah tutup mata dengan segala penderitaanmu. Sekarang saja, setelah tahu kamu punya kelebihan, baru semua mengelus-elus kamu.”
“Maksudmu?”
“Jangan biarkan dirimu diperalat. Kalau kamu seperti ini terus, selamanya bakal jadi kere. Kini saatnya kamu belajar menghargai dirimu sendiri. Pasang tarif. Kalau perlu taruh harga selangit.”
“Maksudnya?”
“Lho, jadi kamu belum ngerti juga dari tadi. Begini. Kamu itu kan punya kemampuan yang tidak dimiliki sembarang orang. Kenapa tidak kamu komersilkan? Selama ini cuma kamu gunakan buat iseng atau menolong orang lain. Kamu telah menyia-nyiakan anugerah teramat dahsyat tersebut. Sekarang saatnya kamu melejitkan potensimu itu. Besok kita berkeliling kota, bikin pertunjukan. Dedy Corbuzer dan Linbad pun pasti kalah, tidak ada apa-apanya dibanding kamu.  Lihat, mana berani mereka mencopot organ tubuh mereka. Kalaupun bisa, paling itu hanya teknik atau halusinasi. Sedangkan kamu, benar-benar natural, tanpa rekayasa. Makanya, aku jamin kita pasti akan mengantongi banyak uang. Apa kamu tidak ingin membahagiakan isterimu yang sudah puluhan tahun mendampingimu, tapi sampai kini tidak pernah segram pun kamu belikan perhiasan emas?”
Ujal terhenyak. Rentetan kalimat sobatnya seperti mengoyak-ngoyak timbunan karat di batok kepalanya.  Dada Ujal kembang kempis. Dipompa oleh semburan harapan baru.
Ternyata dugaan sobatnya tidak meleset. Atraksi Ujal mencopot kaki, tangan, hidung, telinga, dan leher mendapat sambutan hangat. Penonton merasa puas. Sebab, seumur-umur hidup mereka tidak pernah menyaksikan pertunjukan semacam itu. Karena itu, mereka tak segan-segan mengeluarkan kocek.
Lelaki yang tak sempat mengecap bangku kuliah itu mendadak menjadi orang kaya. Apalagi kemudian koran dan tivi jor-joran memberitakan kemampuan Ujal mencopot anggota tubuhnya dan menyambungnya kembali.
Dalam waktu relatif singkat ketenaran mengguyuri Ujal. Hidupnya berubah mapan dan bergelimang harta. Tapi, seiring dengan itu banyak pula orang yang merasa iri dengan kesuksesannya.
Rupanya nasib tak selalu berjalan mulus. Meski dalam atraksinya Ujal selalu mengingatkan kepada penonton agar tidak mencontoh adegan yang diperagakannya, tetap saja ada yang nekat untuk coba-coba. Akibatnya, tidak sedikit remaja dan anak-anak yang harus dilarikan ke rumah sakit.
Korban mulai berjatuhan. Pihak berwenang pun tak  tinggal diam. Ujal dipanggil dan dinterogasi.
“Meski berat hati, tapi kami harus mengatakan bahwa keberadaanmu ternyata sangat membahayakan keharmonisan masyarakat,” kata petugas itu masih sempat berbasa-basi. “Kamu memang terlahir sebagai orang yang berbeda. Sayangnya, kita semua di sini tidak siap untuk menerima itu. Maka, sebelum korban semakin banyak berjatuhan, kami minta dengan hormat agar kamu meninggalkan wilayah ini.”
Dengan sedih Ujal pergi, meninggalkan kampung halamannya.
Ketika ia hijrah ke daerah baru, cerita yang sama kembali terulang. Hanya versinya sedikit berbeda. Mula-mula ia disambut sebagai pahlawan karena berani berbeda, tapi setelah terjadi kegoncangan dan harus ada yang dipersalahkan, Ujal kembali terusir.
“Ternyata tak mudah menjadi orang yang berbeda di tengah berbagai upaya penyeragaman. Di sini, aku sering merasa terasing dan sendiri. Meski ragaku tak berdarah, tapi sesungguhnya hatiku terluka,”  keluh Ujal setengah putus asa.
Yang lebih menyakitkan, isterinya Jumiati, orang terakhir yang diharapkan bisa mengerti dirinya, justru menuntut cerai. Perempuan itu mengaku tak kuat lagi mendampingi Ujal, karena  hidup terus  berpindah-pindah.
“Inikah konsekuensi menjadi orang berbeda? Tercampak dari masyarakat bahkan keluarga sendiri,” gumam Ujal bagai tak henti-henti meruntuki nasibnya.[]


Sumber:
Komunitas Penakita. 2012. Episode Luka. Banjarbaru: Mingguraya Press
Komunitas Penakita. 2014. Episode Luka. Banjarbaru: Penakita Publisher

0 komentar: